34. Janji

2604 Kata
Bel pulang sekolah berdentang keras. Dina tersenyum lega dan segera mengemasi buku-bukunya. Setelah ini dia berencana untuk langsung menyusul Rianti ke kelasnya, karena mereka akan pulang bersama. Tapi saat keluar dari kelas, Dina terkejut karena ternyata Bagas sudah menantinya. Tatapan mereka beradu. Keadaan terasa canggung, tapi kemudian Bagas melambaikan tangannya. “Hai!” Dina meneguk ludah. Perlahan Bagas melangkah mendekatinya. Saat itu juga Dina langsung menekurkan kepala. Dia masih takut jika Bagas tetap marah padanya. “Aku antar kamu pulang, ya,” ucap Bagas kemudian. Dina membelalak. “T-tapi….” “Aku tahu. Ke rumahnya Rianti, kan?” Eh. Dina lebih terkejut lagi. “Tapi sebelum aku antar pulang… kita bicara dulu ya, Din.” pinta Bagas. Dina mengangguk setuju. “Oke.” Akhirnya sepasang kekasih yang sedang berkonflik itu berpindah ke sebuah taman yang lengang. Taman itu terletak tidak jauh dari sekolah mereka. Taman yang biasanya selalu menjadi spot favorit Dina dan Bagas. Mereka bahkan nyaris menyempatkan waktu setiap harinya untuk sekedar singgah. Dina mendesah pelan. Saat ini dia sedang duduk di sebuah kursi kayu. Tepat di samping sebuah pohon cemara yang rindang. Rasanya sudah lama sekali dia tidak duduk di sana. Sementara Bagas sedang pergi ke minimarket di seberang jalan sana. Dina kemudian mengembuskan napas panjang. Dia merasa lega karena kahirnya Bagas sudah melunak dan kembali mengajaknya bicara. Sepertinya Rianti berhasil. Dina memang tahu jika Rianti sudah mengajak Bagas bicara tadi pagi. Tatapan Dina pun tertuju pada sosok Bagas yang sedang berlari menyeberangi jalanan. Lelaki itu membawa es krim di kedua tangannya. Dina tersenyum. Bagas sudah kembali seperti sedia kala. “Kamu yang rasa stroberi, kan?” Dina mengangguk dan mengambilnya. “Ini!” Keduanya lalu duduk berdampingan menikmati es krim kesukaan mereka. Dina selalu memilih rasa stroberi. Sedangkan Bagas selalu menyukai rasa vanilla. Keduanya menjilati es krim itu. Terlihat bak pemandangan yang indah. Sepasang anak SMA dengan seragam putih abu-abu mereka duduk di bangku taman seraya menikmati es krim. Visual keduanya juga terlihat serasi. “Enak?” tanya Bagas. Dina mengangguk. Dia masih merasa canggung untuk terlalu banyak berbicara. Pun demikian dengan Bagas. Dia sudah merenungi segalanya. Rasanya sikap yang ia tampilkan kepada Dina beberapa hari belakangan ini memang terkesan sangat berlebihan. Terlebih sekarang Bagas mengetahui bahwa Dina sedang bermasalah dengan mamanya. Keheningan menyebar sangat lama. Dina dan Bagas sama-sama lirik- meliring dan sama-sama mengalihkan pandangan ketika tatapan mata mereka bertemu. Hingga kemudian… “MAAFKAN AKU!” Keduanya berkata seirama. Eh. Bagas dan Dina sama-sama mematung, lalu kompak tersenyum. “Maafin aku karena sudah bersikap berlebihan sama kamu,” ucap Bagas tulus. Dina tersenyum pelan. “Aku yang seharusnya minta maaf sama kamu.” “Sudahlah… tidak perlu dibahas lagi. Sekarang aku ingin tahu kenapa kamu sampai kabur dari rumah. Itu lebih penting sekarang ini.” Dina menatap sendu. Ia pun kemudian menceritakan semuanya kepada sang kekasih. Semua kejadian itu membuat Bagas jengkel terhadap mamanya Dina. “Jadi untuk sementara waktu kamu akan tinggal di rumah Rianti dulu?” “Iya.” “Kalau ada apa-apa hubungi aku saja,” tukas Bagas lagi. Dina mengangguk. “Iya.” “Terus… apa kamu masih punya uang saku?” tanya Bagas. Dina terdiam. Diamnya itu sudah memberikan jawaban untuk Bagas. Lelaki itu langsung mengeluarkan dompetnya, menarik tiga lembar uang seratus ribu rupiah dan memberikannya kepada Dina. “Eh… ini apa?” tanya Dina seraya mendorong tangan tangan Bagas yang menyodorkan uang. “Udah pegang aja dulu! Kali aja kamu membutuhkan sesuatu,” tutur Bagas. Dina meneguk ludah. Rasanya sedikit memalukan, tapi kenyataan membuatnya harus menepikan rasa gengsi. Dina memang sudah tidak memegang sepeser pun uang di tangannya. Dia memang membutuhkan uang itu. “N-nanti aku akan membayarnya kembali,” ucap Dina. “Iya-iya… yang penting pegang dulu. Minimal kamu ada megang uang di kantong.” “Hmmm.” Dina tertegun. Kedua bola matanya kini terasa panas. Bagas menelengkan wajahnya, lalu bertanya lembut. “Kenapa?” Pertanyaan itu justru membuat tangis Dina meledak. Bagas menarik kepala Dina dan menyandarkan kepala itu di pundaknya. Dina kembali terisak. Bagaimana pun juga dia masih bersedih atas apa yang sudah terjadi. Ibarat kata, sekarang ini Dina terlunta-lunta tanpa kejelasan bagaimana nasib kedepannya. “Semua akan baik-baik saja. Aku akan selalu ada untuk kamu,” pungkas Bagas. Perkataan Bagas membuat Dina merasa bersalah lagi. “Maafin aku… maafin aku karena sudah mengecewakan kamu kemarin.” “Yang terpenting kamu sudah menyadarinya.” “Maafin aku, Bagas,” lirih Dina lagi. Bagas mengangguk. “Iya. Aku udah maafin kamu kok. Kamu maafin aku juga ya.” Dina mengangguk. “Tapi inget… kamu nggak boleh mengulanginya lagi. Kamu nggak boleh deket-deket dengan lelaki lain. Siapa pun itu. Aku seperti itu karena sayang sama kamu. Aku cemburu melihat kamu dekat dengan lelaki lain. Aku langsung merasa cemas dan takut sekiranya kamu akan pergi meninggalkan aku,” ujar Bagas dengan mata sayu. Dina menatapnya, lalu tersenyum. “Aku tidak akan pergi.” “Benarkah?” “Iya.” “Apa kamu mau berjanji untuk itu?” tanya Bagas. “Iya. Aku berjanji nggak akan pernah ninggalin kamu.” Ada semacam perasaan lega yang menjalar di hati Bagas. Seiring dengan itu bibirnya tersenyum. Dia meyakini janji Dina. Dia percaya Dina tidak akan pernah meninggalkannya. Sebuah janji yang sekiranya terdengar biasa saja dilontarkan oleh mereka yang sedang memadu kasih. Tapi Bagas mengartikannya lebih jauh. Menganggap janji Dina itu layaknya sumpah yang tidak akan pernah bisa dilanggarnya lagi. Seperti janji Dina. Bagas ingin mereka BERSAMA SELAMANYA. Bagas kemudian menyeka sisa air mata di wajah Dina dengan telapak tangannya. Pertemuan itu pun mengakhiri masa pertengkaran keduanya. Setelah itu Bagas juga mengajak Dina berputar-putar sebentar dengan motornya, baru kemudian mengantar Dina pulang ke rumah Rianti. Suara deru motor di halaman itu pun membuat Rianti menghambur. Dia mengintip dari balik kaca dan tersenyum senang melihat Dina yang pulang diantar oleh Bagas. Rianti bergegas menyusul keduanya. “Lo nggak masuk dulu!” Rianti tersenyum. “Nggak deh. Gue harus buru-buru. Mau latihan futsal soalnya,” jawab Bagas. Rianti mengangguk tanda mengerti. Bagas pun beralih menatap Dina kembali. “Aku balik dulu ya, Din… Rianti, gue balik dulu!” “Nah, gitu dong. Damai itu lebih keren,” pungkas Rianti Bagas hanya memasang wajah datar. Ia memasang helm-nya kembali dan kemudian melaju pergi. Setelahnya Rianti langsung menatap Dina dengan mata menyipit. “Cie… cie… yang udah baikan,” goda Rianti. Dina tersenyum malu. “Semua berkat kamu. Aku bener-bener nggak tahu lagi gimana caranya harus berterima kasih sama kamu. You are my angel. Kamu itu udah seperti malaikat penyelamat di semua situasi. “Dih lebay banget deh.” “Aku serius. Kadang aku berpikir… gimana cara membalas semua kebaikan kamu ini,” tutur Dina sungguh-sungguh. Senyum di wajah Rianti surut. Berganti dengan tatapan yang serius. “Nanti… lo bisa membalas semua kebaikan itu nanti.” Dina tertawa. “Nanti kapan?” Dina menganggap itu sebagai candaan. Tapi Rianti sama sekali tidak bercanda. “Nanti… nanti akan tiba saatnya untuk lo ngebales semua itu.” Suasana hati Dina pun menjadi lebih tenang. Saat ini dia sedang mengerjakan pekerjaan rumahnya di ruang tamu Rianti. Sementara sahabatnya itu malah tidur siang. Ibu Rianti pergi kondangan setelah selesai berjualan. Rumah Rianti itu terasa sangat nyaman dan tenang. Dina benar-benar merasa seperti berada di rumahnya sendiri. Dia bisa menghela napas dengan bebas di sana. Dina selesai mengerjakan satu tugas dan ia kemudian berniat mengerjakan tugas yang lainnya. Dia bergegas ke kamar Rianti untuk mengambil buku di dalam ransel. Dina sibuk merogoh isi ransel itu dan mengeluarkan setiap buku yang berhasil dijangkaunya. Namun… Buku yang dia cari itu tidak bertemu juga. “Kenapa bukunya nggak ada, sih?” bisiknya. Dina yang gusar akhirnya menumpahkan semua isi ransel hingga barang-barangnya berceceran di lantai. Dia memeriksa tumpukan buku yang banyak itu satu persatu. Tapi ternyata… Buku yang dia butuhkan tidak bersua juga. Dina menatap bingung, tapi kemudian dia teringat dan menepuk jidatnya. “OH TUHAN…!” Dina ingat bahwa tempo hari dia menghapal pelajaran di buku itu. Tapi tiba-iba hujan turun. Dia bergegas ke atap untuk mengangkat jemuran. Dina membawa buku itu ke sana dan meletakkannya di atas sebuah kursi yang diteduhi oleh atap di atasnya. “Astaga… iya benar. Buku itu ada di sana,” lirihnya. Dina menatap panik. Dia benar-benar membutuhkan buku itu. Dia melirih jarum jam yang kini menunjukkan pukul setengah empat sore. Jam seperti ini Tio masih di kantornya dan sang mama biasanya menemani Varrel di tempat les. “Ya, sepertinya aku bisa mengambilnya,” lirih Dina. Dia menatap Rianti yang sudah terkapar di kasur, masih memakai baju seragamnya. Dina tidak mau mengganggu tidur siang bestie-nya itu. Alhasil Dina memutuskan untuk pergi sendirian saja. Dina merapikan rambutnya sebentar, lalu kemudian mengangguk samar. “Oke. Ayo kita ambil buku itu.” ** Sementara itu di rumahnya Dion merasa bosan. Ia sudah mengirim belasan, bahkan puluhan pesan kepada Asep. Bertanya apakah Asep sudah melihat Dina atau belum. Dion sangat kesal karena Asep hanya membaca pesan itu, tapi tidak membalasnya. Asep bahkan juga mengabaikan panggilan telepon dari Dion. “Dia mulai berani ya!” Dion mengembuskan napas gusar. Dion masih tidak tenang. Dia juga sudah mengirimi banyak pesan lagi ke DM i********: Dina. Berharap gadis itu membaca pesannya. Tak dibalas pun tidak masalah. Setidaknya jika Dina membaca pesan itu, menandakan bahwa dia masih bernyawa. Dion yang tidak tenang akhirnya memutuskan untuk pergi berkunjung ke rumah Asep. Dia ingin memantau situasinya secara langsung. “Ya, aku akan datang ke sana.” Dan kemudian… Dina sudah tiba di rumahnya. Dia memakai hodie warna hitam kedodoran milik Rianti dan juga memakai masker berwarna senada untuk menutupi wajahnya. Kelakuan Dina saat ini terlihat seperti seorang maling yang akan beraksi. Awalnya dia hanya berjalan di depan rumah itu seraya melihat situasinya. Dina memastikan bahwa rumah itu kosong. Tanda-tandanya sangat mudah. Pertama mobil Tio tidak ada di halaman. Kedua pintu rumah itu selalu terbuka jika sang mama berada di rumah. Dina melangkah bolak balik di depan rumah itu sekitar tiga kali. Setelah merasa benar-benar yakin jika rumah itu kosong… barulah ia mendekat. Dia hanya perlu naik ke atap melalui tangga di samping rumah. Semua terdengar mudah. Tapi kemudian Dina terkesiap karen melihat gembok yang melekat di pintu pagar. Deg. “K-kenapa pagarnya dikunci?” pekik Dina. Dina menatap panik. Pagar itu cukup tinggi dan dia tidak bisa memanjatnya. Kakinya masih terasa sakit pasca hampir terjatuh dari atap. Dia masih merasa ngilu ketika melompat atau berlari kencang. Bagaimana pun juga dia harus mendapatkan buku itu untuk pelajaran besok di sekolah. Di tengah kepanikan itu, tiba-tiba Dina merasakan kehadiran seseorang di belakangnya. Glek. Dina meneguk ludah dan langsung menahan napas. Apa mungkin orang itu adalah mamanya? Dina berbalik pelan dan tersentak. “K-kamu…!” Dion hanya menatap nanar. Entah kenapa Dina merasa tatapan mata Dion terlihat seakan lelaki itu marah kepadanya. Seakan mata itu sedang berbicara dan memaki Dina. Dan kenyataannya memang begitu. Dion sedang bersusah payah untuk menahan diri agar tidak memaki Dina. Dia kesal. Dia marah karena Dina sudah mengganggu pikirannya sejak semalam. Dion terlihat mengepalkan tangannya kuat-kuat. “K-kenapa kamu melihat aku seperti itu?” tanya Dina. Dion tersadar dan langsung mengatur raut wajah sedatar mungkin. “Apa yang lo lakuin di luar sini?” Dion bertanya seolah-olah dia tidak tahu apa-apa. Dina agaknya enggan untuk menjawab. Tapi ia juga tidak bisa bersikap terlalu culas dan mengacuhkan orang yang jelas-jelas sedang berada di hadapannya. “A-aku sedang belajar di rumah teman, tapi ada buku yang tertinggal,” jawab Dina. “Terus kenapa lo masih di sini?” “Ternyata mama keluar dan gerbangnya dikunci.” Dion tersenyum simpul. Ia jelas tahu bahwa Dina berbohong. “Bukannya itu berarti udah jelas kalo lo nggak bisa masuk ke rumah?” “Bukunya ada di luar kok. Di atap sana!” tunjuk Dina. Dion menatap Dina yang kini terlihat gelisah. Dia terus saja memerhatikan keadaan sekitarnya. Takut jika sang mama atau Tio muncul secara tiba-tiba. Dina menjadi gugup. “Hehehe. Ya udah deh. Nanti aja.” gadis itu berbalik hendak pergi. “Tunggu di sini!” pungkas Dion kemudian. Eh. Dina berbalik dan melotoot saat Dion sudah memanjat pagar dan kemudian melompat. Dia sudah tiba di balik pagar, lalu menunjuk ke arah tangga beton di samping rumah. “Naik ke sana, kan?” “I-iya.” Dion mengangguk dan bergegas. “Bukunya dengan sampul warna merah!” pekik Dina. Dion menoleh lagi, lalu mengangguk. Dina lalu menanti dengan perasaan yang kini campur aduk. Dia meringis pelan. Padahal dia sudah bertekad untuk tidak lagi berurusan dengan lelaki itu. Tapi kenapa Dion selalu ada di saat-saat genting? Kenapa lelaki itu selalu muncul tatkala Dina membutuhkan pertolongan. Dina mengembuskan napas panjang seraya menyapu wajahnya dengan telapak tangan. “Sudahlah. Ini hanya bantuan biasa saja. Lagi pula aku tidak memintanya. Dia sendiri yang berinisiatif untuk membantu. Iya, kan?” Dina berceloteh sendiri. Tak lama berselang Dion tampak menuruni tangga. Bola mata Dina pun membulat melihat buku bersampulkan warna merah di genggaman cowok itu. Dina tersenyum senang. Ternyata ia bisa mengambil buku itu. Dion kembali melompati pagar. Dina langsung mendekat dengan antusias. Bermaksud langsung mengambil buku tersebut dari tangan Dion. “Makasih ya, udah bantu ambilin bu--” Kalimat Dina terhenti saat Dion menarik kembali buku itu dan mengangkatnya tinggi di udara. Deg. Dina terkejut, tapi kemudian dia kembali tersenyum gugup. “Haha. K-kenapa? Ayo sinu bukunya. A-aku masih sedang belajar kelompok. Temen-temen yang lain pasti masih nungguin aku sekarang ini.” Dion tidak menjawab. Dia malah menyurukkan buku itu ke balik punggungnya. “Tidak bisa,” jawab Dion kemudian. Dina melotot. “Heh. Kenapa malah nggak bisa?” “Karena lo kebiasaan seperti ini. Paling kalo gue kasihin bukunya, lo cuma bilang makasih dan setelah itu ngacir. Iya, kan? Dan setelahnya kalo pun kita ketemu… lo akan bersikap seperti nggak mengenal gue lagi.” Dina merinding. Apa saat ini Dion sedang membaca isi pikirannya? Kenapa Dion mengetahui persis isi kepala Dina? “A-apaan sih. Kenapa kamu berkata seperti itu.” Dina coba mengelak, meski detak jantungnya kini mulai berpacu. “A-ayo sini bukunya!” Dion menggeleng. “Nggak. Mungkin ini terdengar jahat. Tapi kali ini gue nggak mau sekedar ucapan terima kasih dari lo. Gue pengen minta imbalan yang jelas.” “Imbalan yang jelas?” Dion mengangguk. “Iya.” “K-kamu mau apa, sih? Tolong jangan seperti ini,” pinta Dina. “Gue laper!” Dina mengernyit. “Terus kenapa kalau kamu laper?” “Traktir gue makan. Setelah itu baru gue kasih bukunya.” Dion tersenyum penuh kemenangan. “HEH…!!!” Dina menatap kaget. “T-tapi….” “Tapi apa lagi? Lo mau ngeles dan nyari alasan buat nolak?” “B-bukan begitu.” Dina tampak berpikir sangat keras mencari alasan untuk menolak permintaan Dion. “Aku nggak punya uang!” Ya, itu adalah alasan paling memalukan, tapi dirasa cukup efektif untuk mengakhiri drama kali ini. Dion mengembuskan napas kasar. Menyadari bahwa ternyata Dina benar-benar ingin membangun batas yang jelas antara mereka. “Kalo gitu biar gue yang bayar.” Dina menatap bingung. “K-kalo gitu artinya bukan ditraktir dong.” “Pokoknya buku ini baru akan gue kasih kalo lo makan dulu bareng gue.” Aneh. Cowok yang satu itu benar-benar aneh sekali dan membuat Dina kehabisan kata-kata. Dina masih berusaha mengelak. Tapi kemudian dia melihat sosok sang mama yang berjalan di ujung sana bersama adiknya Varrel. Dina terkesiap. Dion juga menoleh dan menyadarinya. “Ayo sini bukunya!” Dina masih coba memaksa. Dion menggeleng. “Kalo nggak itu ya, nggak!” Dina semakin panik. Sang mama sudah semakin dekat. Karena tidak ada pilihan lain, akhirnya dia mengangguk setuju agar mereka segera pergi dari sana. “Oke… ayo kita cari tempat makannya,” pungkas Dina kemudian.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN