“Hidungnya mancung Kak. Lihat dia ngempong,” kata Ririe pada Hessa saat mereka berada di ruang dokter memeriksa kehamilan Ririe yang sudah masuk tujuh bulan.
Hessa memandang keponakannya dengan gemas walau masih ada di dalam perut si bayi memang sedang menghisap ibu jarinya ( ngempong ) dan terlihat hidungnya mancung.
Sosok keponakannya semakin terlihat jelas dan gurat bahagia terlihat jelas di wajah adiknya. Sesungguhnya dia tak tega, tapi apa daya, nama besar ayahnya dipertaruhkan. Hessa hanya bisa tersenyum.
≈≈≈≈≈
“Bagaimana mungkin Kek? Aku masih belum selesai S2 dan lagi aku tidak pernah pacaran. Kenapa dibilang ini anak aku?” kata Anesh saat sang kakek datang membawa bayi lelaki merah dan mengatakan bayi itu adalah bayinya dan harus dirawat oleh tangannya sendiri.
“Itu anakmu! Anak kandungmu!” kata kakek Bian.
“Enggak mungkin Kek. Aku tidak pernah pacaran dan tidak mungkin melakukan hal buruk seperti itu. Jadi pasti ini bukan anak aku,” tolak Anesh. Dia perhatikan wajah imoet bayi merah yang terlelap pulas di keranjang bayi berbentuk tas. Jadi bisa di jinjing tanpa perlu dibopong.
“Sekarang kita bikin test DNA antara kamu dan dirinya. Kamu yang tunjuk berapa rumah sakit di sini, kamu urus sendiri test itu, kamu antar sendiri dan kamu urus sendiri, tidak menyuruh ajudanmu yang mungkin kamu curigai. Yang penting kamu harus tahu itu anak kamu. Kamu bisa cari baby sitter yang bisa mengawasi dia, tapi ingat baby sitter tidak boleh baby sitter yang masih muda. Kakek tidak ingin kamu jatuh cinta pada baby sitter tersebut karena terbiasa mengurus bayi itu berdua!”
Dirandra Gautama Ganendra atau TAMA. Itu nama yang Anesh berikan sebagai nama bayi yang ternyata benar anak kandungnya. Dari empat rumah sakit dan satu laboratorium besar yang dia datangi dia Australia ini, kenyataan bayi tersebut adalah anak kandungnya 100%.
Yang Anesh bingung siapa ibunya Tama? Sedang dia tak pernah pacaran dan tak pernah menyentuh seorang perempuan satu kali pun.
Anesh selalu bingung mengingat siapa perempuan tersebut. Tapi kadang kala dalam mimpinya dia ingat kejadian hampir satu tahun lalu tepatnya 9 bulan atau 10 bulan lalu mungkin, dia juga bingung, dia pernah datang ke acara wisuda yang diadakan temannya. Lalu tiba-tiba dia pusing dan lari masuk sebuah kamar yang sudah ada seorang perempuan.
Tapi Anesh tak bisa mengingat siapa perempuan tersebut. Dia hanya ingat bahwa tubuh perempuan itu khas bau tubuh yang tak pernah hilang sampai saat ini. Bukan bau parfum, beda dengan itu. Bukan bau parfum melainkan bau tubuh, itu yang membuat Anesh tak bisa lupa. Dan mimpi itu sering datang berulang kali.
“Apa dia ibu dari anakku? Tapi aku lupa siapa dia. Lebih tepatnya AKU TAK TAHU siapa dia,” kata Anesh sambil memandang wajah bayi Tama yang makin menggemaskan.
Dan mengapa dia bisa melepaskan bayi ini pada kakek? Apa kakek membayarnya?
Seperti ultimatum kakek Bian, Anesh mencari pengasuh perempuan setengah umur. Dia tak mau terlibat cinta lokasi atau seperti pepatah Jawa witing tresno jalaran soko kulino.
Dari bulan ke bulan perkembangan Tama semakin baik. Dia hanya punya seorang daddy dan seorang nanny setengah tua, dan grandpa, tak punya mommy.
≈≈≈≈≈
Hari ini ulang tahun Tama yang pertama, Bian dan Hessa datang. Acara masih dilakukan di Australia, enam bulan lagi mereka baru akan kembali ke Indonesia saat Anesh, Hessa, dan Ririe sudah lulus.
Ririe sudah tak mau lagi meneruskan S2 di Australia. Dia ingin kembali ke Indonesia saja, ingin membuka butik seperti impiannya. Padahal dulu dia berniat ambil S2 di Paris.
≈≈≈≈≈
Di sudut lain Ririe menangis sedih, mengingat tahun lalu dia melahirkan seorang bayi tampan yang fotonya selalu dia simpan. Dulu saat melahirkan dia memang minta Hessa membuat fotonya saat dia IMD, juga beberapa foto lain sebelum bayi dibersihkan dan dia disuntik saat dijahit. Sehabis itu dia tak pernah melihat baby itu lagi karena Hessa mengatakan bayinya meninggal.
≈≈≈≈≈
Wisuda Ririe dan Hessa beda tiga hari, kedua orang tua mereka datang. Ririe dan Hessa berdua sama-sama mengakhiri perkuliahan bulan ini dan minggu depan Ririe mau pun Hessa akan kembali ke Indonesia bersama kedua orang tua mereka.
“Apa benar Tya tidak bisa pulang ke Indonesia semester ini?” tanya Aruna pada Hessa saat mereka sedang sarapan.
“Dia di sini kan bukan kuliah. Mana mungkin dia bisa wisuda dan pulang?”
“Maksudmu dia bukan kuliah apa?” tanya ayahnya Hessa, yaitu pakde kandung Tya.
Hessa membuka file tentang Tya di laptopnya.
“Ayah lihat saja kalau mau tahu. Ini sengaja aku bikin satu file. Aku akan jadikan ini sebagai bukti bila dia macam-macam sama aku. Dia sering ngejebak aku, menjatuhkan aku di organisasi sini. Karena itu aku sengaja simpan file-file ini buat melawan Tya suatu saat,” kata Hessa dengan geram.
Aruna Pratama dan Hamid Prabaswara memperhatikan file itu dengan saksama mereka tak percaya melihatnya dan mereka juga baru tahu ternyata Hessa selama ini sangat membenci Tya.
“Ayah tidak bisa ngomong apa-apa karena biar bagaimanapun tante Hanni adalah adik kandung Ayah,” kata Hamid. Hanni Prabaswara, istri Pangestu Wajendra adalah adik kandung Hamid.
“Selama ini aku diam kok Yah. Selama ini aku mengalah karena tahu dia itu adik sepupuku. Tapi di Australia ini dia makin menjadi-jadi. Dia selalu mengatakan kejelekan nama Ririe, dia selalu sering menjebak Ririe menjadi bual-bualan orang. Aku capek.”
“Jadi sekarang tinggal bagaimana tante Hanni saja menyikapi. Apa percaya sama dia atau sama fakta yang aku beberkan. Aku bukan cuma punya foto atau video yang bisa dibilang editan, tapi aku bisa berikan 1000 orang saksi soal kelakuan Tya.”
“Aku sudah tidak mau lagi berurusan apa pun dengan dia. Kalau suatu saat dia menjelek-jelekkan namaku atau nama Ririe. Aku maju paling depan Yah,” kata Hessa yang kebetulan di Australia ambil kuliah hukum baik S1 mau pun S2 nya.
Sedang Ririe mengambil bidang interior desain khususnya dia sebenarnya desain pakaian bukan ruangan dia ingin membuka usaha butik sesuai dengan impiannya masa kecil.
“Aku cuma mau kasih tahu Ibu dan Ayah, kalau suatu waktu meledak suatu masalah, Ibu dan Ayah sudah tahu sejak awal bahwa aku meledak itu karena melawan! Bukan aku memulai,” kata Hessa.