“Jadi apabila ada sesuatu terjadi tanyakan dulu pada aku. Aku tahu tante Hanni itu adik kandung Ayah, tapi nama baik Ayah juga tergantung dari tingkah laku Ayah menghadapi kelakuan keponakan Ayah itu.”
“Bagaimana Ayah akan bisa dipandang orang dengan baik bila keponakannya di sini jual diri? Ayah masih bisa bilang itu bukan linknya Bapak, tapi tanggung jawab penuh om Pangestu Wajendra. Bapak sama anak sama-sama rusaknya kan?”
Sementara Ririe hanya bisa diam. Dia juga sangat membenci Tya.
“Dia juga penyalur nar-koba di sini,” jelas Hessa selanjutnya.
Aruna tak bisa ngomong karena itu keponakan kandung suaminya dan memang beberapa kali banyak orang bicara soal Tya. Sejak SMP dan SMA Tya terkenal dengan kenakalannya, juga kecurangannya. Sejak SMP Tya itu memang tak pernah mau kalah dan selalu dimanja oleh Hanni dan Pangestu. Itu sebabnya Tya menjadi anak yang arogan dan tak pernah mau bisa dinasehati.
Sebagai ibu, Aruna tentu tahu kesalahan Hanni mendidik putrinya karena merasa Tya itu anak satu-satunya, sehingga terlalu dimanja. Itu selalu alasan Hanni bila ditegur oleh semua saudaranya termasuk Aruna. mereka selalu dianggap tak mengerti kondisi Tya yang anak tunggal, padahal sepupu yang lain juga banyak yang anak tunggal.
≈≈≈≈≈
“Ibu, Ayah, kenalkan ini kakek Bian Ganendra, aku pulang ke Indonesia akan langsung bekerja di perusahaan kakek Bian,” Hessa memperkenalkan Novembrian Ganendra. Tentu saja sebagai gubernur Hamid Prabaswara tahu siapa Novembrian Ganendra, konglomerat nomor satu di Indonesia. Dia tak menyangka anaknya akan langsung bekerja di salah satu perusahaan beliau.
“Terima kasih Kakek eh Bapak bersedia menampung anak saya,” kata Hamid Prabaswara.
“Dia kader terbaik di Australia, tidak elok bila dia dibiarkan mencari pekerjaan. Sebelum diambil orang, saya rekrut lebih dulu. Satu tahun lalu dia sudah bekerja pada saya kok. Walau jarak jauh tapi dia selalu menghandle semua persoalan di semua kantor saya di Indonesia dengan baik.”
“Jadi nanti dia tidak pegang satu kantor tetapi memegang semua kantor saya. Dia akan saya buatkan satu lembaga hukum untuk 11 perusahaan yang saya miliki. Jadi semuanya dia handle dalam satu divisi khusus yaitu divisi hukum Ganendra group, yang akan dipegang oleh Hessa,” kata kakek Bian.
Tentu saja Hamid dan Aruna tak percaya Hessa sudah kerja satu tahun sebelum kelulusannya di perusahaan multinasional besar Ganendra Group.
“Mana adikmu?” tanya kakek Bian.
“Dia pasti sedang berkumpul dengan teman-temannya Kek. Sekarang kan bukan jadwal wisudanya, dia pasti cari anak Indonesia yang juga akan pulang,” jawab Hessa.
“Sudah lama sekali Kakek tidak melihat dia. Terakhir Kakek melihat dia enam bulan lalu saat kedatangan Kakek ke sini, ketika cicit Kakek ulang tahun,” kata Bian.
Aruna dan Hamid tak tahu kalau cicit kakek Bian nanti akan sering bersinggungan dengan hidup mereka.
Tahun lalu Bian melihat Ririe sedang merenung di taman, dengan tart kecil seukuran telapak tangan. Bian tahu Ririe sedang mengingat bayi yang dia tahu sudah meninggal, saat itu ulang tahun Tama. Setiap ke Australia memang kakek Bian akan menyempatkan diri melihat Ririe dari jauh.
≈≈≈≈≈
“Tidak!”
“Tidak!”
“Tidak!” teriak Ririe siang ini.
Aruna yang mendengar teriakan itu langsung berlari ke kamar putrinya. Ririe dan Hessa sudah dua minggu berada di Indonesia.
Tiga hari istirahat Hessa langsung masuk kerja. Sedang mulai minggu lalu Ririe mulai membangun butik yang dia inginkan. Dia mencari lingkungan yang nyaman di Bintaro suatu kawasan elit yang sudah masuk wilayah Banten perbatasan dengan Jekardah Selatan.
“Ada apa Dek? Ada apa? Kamu mimpi buruk?” tanya Aruna pada putrinya. Dia mengguncang lengan Ririe agar terbangun. Ririe rupanya mimpi di siang hari.
Ririe memang mimpi buruk. Dia ingat kejadian hampir dua tahun lalu, saat dia habis melahirkan. Kala itu suster memberinya suntikan dengan alasan ingin menjahit bagian intimnya sehabis melahirkan. Rupanya suntikan yang diberikan adalah suntikan bius total sehingga dia tidak merasakan apa pun sampai pindah ke ruang rawat.
”Mana bayiku Kak? Pasti dia ganteng. Tadi suaranya sangat keras dan waktu di foto bersamaku wajahnya masih belum bersih karena masih ada darah,” kata Ririe ketika dia sudah sadar.
Hessa hanya diam saat itu, membuat Ririe bingung.
“Maaf Dek, maaf!”
“Kenapa Kak?” tanya Ririe.
“Bayimu tiba-tiba sesak nafas dan tidak selamat. Dia meninggal!” ucap Hessa lirih.
“Tidak! Tidak!” Itu yang dilakukan Ririe kala itu. Hessa berupaya memeluk dan membuatnya nyaman dan suster menyuntiknya agar tenang.
Oleh sebab itu seringkali mimpi itu akan datang kembali bila dia terlalu lelah atau terlalu memikirkan anaknya tersebut. Anak yang dia sayang sejak dia tahu kehadirannya di perut.
Ririe ingat saat habis melahirkan pun anak tersebut sehat, sangat kuat tangisnya dan mereka sempat berfoto berdua sebelum dibawa oleh suster untuk dibersihkan.
Ririe sempat memeluk saat sebelum dibersihkan dan bayi tersebut sangat ganteng serta sehat makanya Ririe tak percaya ketika dikatakan bayinya sudah meninggal.
Sampai mereka pulang ke Indonesia pun Hessa tak pernah mau mengantarkan Ririe ke makam bayinya.
Sebelum pulang ke Indonesia maksudnya Ririe ingin tahu makam bayinya. Tapi Hessa bilang makamnya tidak ada karena masih bayi dan tidak dimakamkan. Entahlah pokoknya segala macam alasan Hessa katakan agar Ririe tidak mencari makam bayinya.
“Kamu mimpi buruk apa?” tanya Aruna.
“Enggak Bu, aku enggak apa-apa. Mungkin karena terlalu lelah,” jawab Ririe.
“Kamu satu minggu ini sudah kerja jungkir balik, tidak ada alasan pokoknya kamu hari Sabtu dan Minggu ini benar-benar istirahat tidak boleh capek,” perintah Aruna.
“Iya Bu, aku mengerti,” jawab Ririe.
“Ke mana kak Hessa Bu?”
“Habis sholatJumat kakakmu menemani Ayah bertemu dengan para partai pendukung untuk pemilu. Untung dia mudah mengatur waktu dengan jadwal kerja kantornya.”
“Oh begitu.”
≈≈≈≈≈
”Tadi kata sopir mereka ke taman kota,” jawab Aruna, ketika Hessa menanyakan di mana adiknya sore ini. Hari ini hampir dua tahun usia anak Ririe. Memang seperti perintah Aruna kemarin, hari ini Sabtu Ririe tak bekerja, barusan dia izin ingin keluar, Aruna menyuruh sopir mengikuti dengan motor, takut putrinya kenapaa-kenapa.
“Kenapa kamu tidak langsung hubungi dia saja?”
“Enggak Bu, aku cuma ingin tahu posisinya. Aku mau bikin kejutan saja kok buat dia,” kata Hessa.
“Kamu bukan sedang sibuk dengan urusan Ayah?” tanya Aruna, karena tadi Hessa mengawal suaminya sebab dia sedang menunggu kedatangan mertuanya.
“Iya ini masih di tempat pertemuan dengan orang-orang partai, aku cuma tanya Ibu itu saja kok,” kata Hessa lagi lalu memberi salam dan memutus sambungan pembicaraan.
≈≈≈≈≈
“Dia ada di taman kota,” kata Hessa pada seseorang yang dia hubungi melalui ponsel, lalu telepon langsung dia masukkan saku dan kembali ke keriuhan pertemuan dengan orang-orang partai.
≈≈≈≈≈