Senja dengan cahaya jingga yang indah. Di mana matahari akan meninggalkan tahtanya dan bulan yang akan menggantikannya.
Di rumah Darren. Semuanya seakan kembali seperti sedia kala. Namun, sampai sore ini, Darren bahkan belum membuka matanya, Almira mencoba untuk membangunkannya karena makan malam bersama akan segera berlangsung.
"Nak, bangun, sudah sore. Segera mandi, ya. Papa sudah menunggu," lirih Almira. Dia menggerakkan tubuh Darren.
Namun, pria itu tidak juga kunjung bangun. Almira menyibak selimutnya, agar pria itu kedinginan, lalu terbangun.
"A! Papa! Pa!" teriakan Almira langsung pecah, disertai dengan tangisannya.
Dia melihat banyak darah di di ranjang anaknya. Almira syok dan tidak bisa menahan dirinya. Dia tidak tahu apa yang akan terjadi dengan anaknya jika tidak segera diketahui tadi.
Indra dengan cepat berlarian menuju kamar anaknya. Ekspresi wajah Indra pun tidak jauh beda dari sang istri. Bukankah siang tadi dia Malih melihat Darren baik-baik saja dan tidur dengan nyenyak.
Lalu kenapa sekarang pria itu seperti ini saat ini. Indra segera meminta pertolongan pada sopir dan juga satpam untung mengangkat tubuh Darren. Laki-laki itu harus segera dilarikan ke rumah sakit.
Almira tetap menangis, dan terus menangis. Wanita itu tidak pernah bisa bayangkan jika terjadi sesuatu dengan anaknya. Almira tidak akan memaafkan Aileen jika sampai itu terjadi.
"Cepat, pak! Lama banget! Anak saya harus segera mendapatkan pertolongan!" cerca Almira pada sopirnya.
"Tenang, Ma. Kita harus tetap tenang," timpal Indra. Dia pun panik, tetapi tidak seharusnya dia membuat keadaan semakin panik.
Mengemudi perlu konsentrasi, jika tidak mereka yang akan celaka.
*
Di sisi lain, Aileen juga sudah mengemudikan motornya yang besar di jalanan. Pikirannya masih kacau karena Agam tidak mau menemuinya lagi.
Sedikit ada penyesalan dalam dirinya karena dia telah datang ke rumah pria itu. Seharusnya dia tidak datang, agar tidak kembali kecewa. Aileen belum sepenuhnya memahami pria itu kan?
Namun, tanpa gadis itu sadari, Agam telah membuntutinya sejak ia keluar dari rumahnya. Agam tidak akan biarkan gadis itu kembali kerumah sendirian.
Di perempatan jalan, Aileen sudah seperti pembalap yang berada di belakang garis pertama. Dia bisa melihat laju kendaraan dari arah kiri.
Semua kendaraan berlomba untuk melaju dengan cepat agar segera tiba di rumah. Aktivitas seharian membuat semua umat ingin segera tiba di rumah dan beristirahat.
Begitu lampu hijau menyala, Aileen segera melajukan motornya. Dia juga sudah lelah, ia ingin berendam untuk waktu yang lama.
Namun— sisi kiri jalan yang seharusnya mendapatkan lampu merah dan berhenti satu mobil melaju begitu kencangnya.
Aileen yang sudah diliputi dengan kekalutan di pikirannya pun tidak menyangka bahwa pengendara mobil itu melanggar rambu-rambu lalu lintas.
Brak!
"A!" teriakan Aileen pun meraung. Seperti serigala yang kesakitan, dan meminta pertolongan.
"Aileen!" pekik Agam yang berada tidak jauh jaraknya dengan gadis itu. Dia memberhentikan motornya begitu saja, dan segera berlari menolong kekasihnya.
Semua orang berhenti dan berkerumun. Melihat kondisi Aileen. Dia yang berada di garis depan dan di sisi paling kiri, sudah pasti kendaraan dari kiri yang menerobos akan langsung menghantam tubuhnya.
Belum lagi pemotor lain yang terlibat di lokasi kejadian itu. Mobil pelaku itu berhenti, sang sopir menolong mereka. Satu persatu.
Namun, tubuh Aileen lemas tergeletak di atas aspal yang masih panas karena seharian tertimpa teriknya matahari.
Gadis itu merintih, bibir, hidung dan tangan serta kakinya mengeluarkan darah dari luka yang serius itu.
"Aileen, bertahanlah, kita ke rumah sakit sekarang," ujar Agam.
Gadis itu berusaha untuk membuka mulutnya. Akan tetapi rasa sakit yang dia derita membuatnya tidak bisa mengeluarkan kata-kata apapun. Dia hanya bisa menatap kekasihnya dengan lelehan air mata.
Dengan menggendong tubuh Aileen, pria itu mendekati sang sopir yang tengah mencoba memberikan penjelasan bahwa dia akan bertanggung jawab, agar mereka segera membawa para korban ke rumah sakit dan dia harus segera pergi. Namun, beberapa warga mencegahnya karena takut jika lelaki itu kabur.
"Bawa aku bersamamu! Aku akan mengawasimu," tukas Agam dan menghentikan perdebatan mereka.
"Tap— tapi, tuan, saya—" pria itu tidak bisa berkata-kata, dia sudah diserang dan dia tidak bisa membawa siapapun saat ini.
"Cepat! Jika terjadi sesuatu dengan kekasihku, kamu akan membusuk dipenjara!" teriak Agam. Dia sangat marah saat ini.
Bodohnya kenapa dia tidak membawa mobil tadi, dan justru menggunakan motor untuk mengintai Aileen. Andai saja, Agam tidak mengikutinya tadi, sudah pasti dia tidak akan tahu kondisi Aileen saat ini.
"Ba— baik, Tuan." Lelaki itu membawa Agam untuk mendekati mobilnya. Namun, betapa terkejutnya dia bahwa mobil itu adalah milik, Indra.
Tadinya, dia sudah memasuki bangku depan, tetapi mendengar raungan tangisan Almira, dan juga kepanikan Indra, Agam mengurungkan niatnya.
"Aku akan balas kalian semua! b******k!" Agam menendang pintu mobil itu, dan kembali keluar. Dia mencoba menghentikan mobil-mobil.
Sudah pasti banyak yang simpati dan mau berhenti, petugas polisi berdatangan. Dia juga membantu Agam untuk menghentikan mobil sebagai tumpangan.
"Aileen bertahanlah, sayang. Kumohon," rintih Agam. Dia terus memeluk tubuh Aileen. Menciumi kening Aileen yang penuh dengan darah.
Mata gadis itu sudah terpejam, dia sudah tidak sadarkan diri. Mata Agam, memerah, dia masih terbayang ketika kejadian di mana mobil itu menabrak Aileen.
Begitu tahu siapa orangnya, kebencian Agam, kian membara. Tidak peduli apa yang terjadi dengan keluarga itu, tidak peduli betapa sulit masalah yang akan menimpa mereka, Agam sudah kembali mengibarkan dua bendera perang pada Indra.
Satu untuk ibunya, dan satu untuk Aileen yang saat ini masih berjuang untuk tetap hidup.
Begitu tiba di rumah sakit. Pria itu segera berlari dengan tetap membawanya tubuh Aileen. Dia bahkan mencari brankar kosong sendiri. Mulutnya terus mengatakan pada gadis itu agar tetap bertahan.
"Suster! Cepat! Kenapa kalian hanya menonton! Bodoh!" umpat Agam.
Tidak peduli siapapun itu, karena mereka layak mendapatkannya. Sudah tahu keadaan darurat ada didepan matanya, tetapi semuanya hanya membisu.
Roda yang menggelinding membawa tubuh Aileen menuju ruangan gawat darurat. Aileen harus segera mendapatkan pertolongan dengan cepat.
Tidak lama dari itu, Indra pun berteriak-teriak meminta tolong. Lelaki itu juga kepanikan. Namun, Agam— lelaki itu sama sekali tidak peduli. Dia menebalkan telinganya.
Masa bodo dengan lelaki itu. Saat ini, dia hanya fokus dengan Aileen, dan hanya dia.
"Ini barang-barang pasien," kata, suster yang bertugas membantu jalan pengobatan Aileen, memberikan barang-barang milik gadis itu.
Agam, menerima satu tas kecil dengan ponsel di dalamnya. Kelancangan sangat diperlukan saat ini. Agam harus memberitahu keluarga Aileen.
"Ai, bertahanlah kumohon, please, aku janji tidak akan meninggalkanmu, lagi. Tidak pernah," gumam Agam.
Dia duduk dengan menopang kepalanya. Tidak seperti kebanyakan orang yang selalu mondar-mandir ketika panik.