Sembari menikmati segarnya udara sore di rumah Agam, Aileen mendengar semua kisah ketika Agam kecil itu membuat dunia sang ibu begitu indah.
Alma mengatakan bahwa Agam adalah malaikat kecil. Dia adalah kebahagiaan yang nyata untuk Alma saat itu.
Kehidupan rumah tangganya yang lempeng, dingin, hambar terasa jauh lebih berwarna ketika Agam lahir. Alma selalu memberikan banyak waktu untuk bocah itu. Bahkan ketika bayi, Alma sendirilah yang mengurus Agam.
Segala kebutuhan Agam, sang ibu yang mengurusnya. Kelahiran Agam, juga membawa banyak rejeki bagi ibu dan ayahnya.
Indra yang memulai bisnisnya dari kecil dengan perlahan mulai mendapatkan partner yang luar bisa setelah kelahiran Agam.
"Namun, ternyata lelaki, jauh lebih berbahaya ketika dia memiliki segalanya. Mungkin Agam pernah bercerita tentang semua itu," lirih Alma. Wajahnya terlihat begitu sendu, sedih dan penuh dengan kekecewaan.
Alma berpikir layaknya wanita lain, bahwa ujian terbesar lelaki adalah ketika mereka kaya raya. Itulah yang terjadi dengan Indra, dulu
Aileen lebih memilih menutupinya. Tidak mau, bahwa apa yang Alma anggap itu adalah aibnya terbongkar. Alma selalu menyalahkan dirinya atas peselingkuh suaminya dengan sang adik.
Mengira bahwa dia tidak becus mengurus suami. Mengira bahwa dia tidak pandai berdandan dan tidak terlihat cantik di depan suami, sehingga lelaki itu lebih tertarik dengan adik kandungnya sendiri.
"Agam tidak pernah bercerita apapun, dia hanya bercerita bahwa, dia sangat mencintai mamanya. Apapun akan dia lakukan untuk membahagiakan Tante," tutur Aileen.
Alma mengangguk, dia menyeka air matanya. Aileen pun menggenggam tangan Alma. Memberikan dukungan dan seakan mengatakan bahwa Alma tidaklah sendiri.
"Benar, nak. Agam memang pria seperti itu. Aileen, jadikan dia sepeti lelaki normal pada umumnya. Tersenyum, bergaul, jalan-jalan makan malam, ajarkan dia menjadi lelaki yang baik. Dia anak yang baik, dan aku mau dia menjadi semakin baik. Kalau Tante sudah tidak ada, jaga dia, ya," rintih Alma.
"Tante? Jangan bicara seperti itu." Aileen berjongkok dan memeluk Alma.
"Tante harus sembuh, Tante harus melihat bagaimana Agam menjadi seperti lelaki yang Tante mau. Lelaki baik, dan romantis. Lihat saja, jika sudah tiba waktunya dia bahkan akan menjadi bucin sejati," hibur Aileen.
Dia tahu, saat ini hatinya bahkan juga sedih mendengar cerita dari Alma. Namun, Aileen tidak mau terlihat buruk di depan ibu kekasihnya. Dia harus terlihat seperti wanita yang kuat.
Karena untuk mencetak Agam menjadi seperti yang diinginkan Alma, Aileen harus menjadi wanita yang hebat.
"Aileen akan sering datang ke sini. Aileen akan bawa Tante jalan-jalan, terus bisa temani Tante terapi. Aileen janji akan membuat Tante sembuh dan bisa kembali berjalan. Berdiri di samping Agam ketika pengambilan foto pernikahan Agam," tutur Aileen.
"Siapa calon mama?" tanya Alma.
Aileen tersenyum kecut. Dia tidak berharap jauh, karena menjalani hubungan dengan Agam tidaklah mudah. Harus banyak mengalah dan bersabar. Apakah Aileen sesabar itu? Apakah Aileen bisa selalu mengalah? Sedangkan dengan Darren saja baru sehari mereka sudah putus.
"Dia! Gadis bar-bar sinting yang terus berteriak padaku."
Tiba-tiba suara Agam terdengar. Dia muncul dari ambang pintu dan mendekati sang ibu. Memeluk tubuh Alma dari belakang. Mencium pipi sang ibu, dan duduk di bangku di mana Aileen duduk sebelumnya.
Gadis itu sudah menyingkir ketika Agam memeluk Alma. Agam menatapnya dengan sinis. Entah itu tatapan apa, yang pasti sangat menyebalkan jika Aileen melihatnya.
"Serius kamu mau menikah dengan dia? Agam, kamu tidak bercandaan kan?"
Agam mengangguk. Sepertinya dia sangat yakin, entah itu kebenaran, atau hanya sebagai penghibur hati sang ibu. Akan tetapi Aileen sangat tidak percaya dengan ucapan lelaki itu. Dia penuh dengan teka-teki yang tidak bisa Aileen pecahkan. Terakhir kali Aileen percaya dia terluka.
Kemudian memaafkan dan jadian, tapi, kemudian dia kembali di buat naik darah oleh lelaki itu.
Gadis itu menatap wajah Agam dengan serius, seakan meminta jawaban dan ada maksud apa dengan anggukannya itu. Bukankah mereka barusan bertengkar dengan hebat?
"Ehm— mama senang sekali dengarnya. Mama beri waktu kalian untuk berbicara. Jangan bertengkar lagi," seru Alma. Dia pun memutar rodanya dan menjauh dari dua sejoli yang baru dipertemukan lagi.
Agam bangkit dari duduknya dan berdiri di dekat Aileen, dengan kedua tangan yang berada disaku celanaya. Mereka menatap apapun yang ada di depan.
Tidak saling pandang juga tidak saling bicara. Aileen kembali ciut ketika harus berdekatan lagi dengan Agam. Sungguh, pria itu seperti sebuah lakban yang menutup mulut ember gadis ini.
"Kenapa kamu tidak katakan jika aku membuka semuanya?"
Suara itu memecah kekakuan di antara mereka. Aileen menoleh dan menatap Agam. Binar matanya tidak bisa dibohongi bahwa sekalipun Aileen kesal dengan Agam, tetapi dia begitu memuja pria itu. Begitu mempercayakan perasaannya pada pria yang keras kepala di sisinya.
"Karena aku tidak ingin Tante Alma kian hancur, dengan mengetahui kebenaran bahwa suaminya telah menganiaya anaknya sendiri. Darah dagingnya sendiri, sudah pasti dia akan sangat kecewa, dan entah— aku tidak tahu apa yang akan terjadi. Aku hanya menjaga Tante Alma agar tetap baik-baik saja," ujar Aileen.
Dia berkata dengan jujur, bahwa tidak ingin terjadi sesuatu yang membahayakan Alma, ibu dari kekasihnya tersebut.
"Mama tidak akan kenapa-kenapa. Jika dia tahu, dia akan membenci lelaki itu, lalu dia akan mendukung, aku. Kenapa kamu lakukan itu?" Agam kembali menusukkan pandangannya pada netra milik Aileen.
Sungguh, sekalipun dia marah, tetapi dia tidak bisa menyakiti gadis yang telah memporak-porandakan hatinya. Agam benar-benar merasa tidak berdaya. Akan tetapi, niat dan tekatnya sudah bulat, tidak ingin kehadiran Aileen menghancurkan segala yang telah dia rencanakan sejak dulu.
"Agam, aku minta maaf tentang kejadian di toko tadi. Untuk saat ini, biarkan Tante Alma dengan segala perasaannya. Dia akan tahu nanti. Tapi percayalah, apapun itu, aku mendukungmu. Tapi, jangan hancurkan mereka. Agam, di sana ada nyawa yang sama sekali tidak mengetahui keberadaanmu. Sama sekali tidak tahu menahu tentang masa lalu dari orang tuanya atau dirimu. Beri dia kesempatan," lirih Aileen, dengan menggenggam tangan pria itu.
Agam mengembuskan napasnya dengan kasar dan melepaskan tangan Aileen dari tangannya. Dia menyingkir, dari hadapan gadis itu.
"Agam! Agam, kita bisa duduk dan bicarakan ini kan? Agam!" teriak Aileen, terus memanggil lelaki itu.
Namun, Agam tidak menghiraukannya. Dia malas dan jengah dengan pembicaraan yang sama. Agam ingin membahas hal lain. Itu adalah urusannya sendiri. Tidak ingin gadis itu ikut campur atau bahkan sampai melarang dan menghentikan langkahnya.
"Ck! Aku diabaikan— di rumahnya? Yang benar saja," gumam Aileen.
Dia terduduk di kursi sebelumnya. Aileen tidak bisa berpikir lagi. Salahkah jika dia melindungi Darren? Dia sahabatnya. Sekalipun mereka baru saja bertengkar dengan hebat, tetapi Aileen tetaplah Aileen yang sangat menyayangi pria itu, sebagai teman.
Gadis itu memutuskan untuk pergi dari rumah Agam. Dia berpamitan dengan Murti dan juga Alma. Tanpa memberitahu Agam, karena sudah pasti dia tidak akan mau menemui Aileen untuk saat ini.