Bab 59: Transfusi Darah

1104 Kata
Sastro dan juga Dewi bergegas bersiap ke rumah sakit setelah mendapatkan telepon dari Agam. Mereka sangat cemas, terlebih Agam tidak mau memberitahukan kondisi Aileen saat ini. Orang tua mana yang tidak cemas mendengar berita kecelakaan tentang anaknya. Ayana terpaksa harus tetap berada di rumah. Hanya ada satu motor di rumah. Jika naik kendaraan umum. Maka akan memakan waktu yang cukup lama, belum lagi drama kemacetan yang ada di ibu kota. Begitu tiba di rumah sakit, keduanya mencari dengan tergopoh-gopoh di mana keberadaan Agam dan anaknya. "Agam, bagaimana Aileen? Di mana dia? Kamu nggak bisa jaga dia! Dasar laki-laki tidak becus!" kesal Sastro. Dia lelaki yang keras kepala, dan mudah marah. Apa lagi menyangkut anak-anaknya sudah pasti dia sangat sensitif. Sastro dan Dewi hanya memiliki dua anak perempuan yang harus di jaga dengan baik. Tidak ingin salah satu dari mereka terluka atau mengalami kesulitan. Dia adalah ayah yang sangat menyayangi kedua anaknya. Sekalipun, tidak pernah dia tampakkan. "Pak, sudah. Agam sudah bawa Aileen ke sini kan? Marah tidak akan menyelesaikan masalahnya," tutur Dewi. Agam hanya terdiam, dia tidak akan menjawab apapun. Biarkan Indra yang menjelaskan semuanya. Biarkan pria itu yang mengatakan bahwa semua ini terjadi karena ulahnya. Dendam— lagi-lagi itu yang mendorong Agam untuk menjadi lelaki dingin. Dia tidak akan memaafkan siapapun orangnya yang telah menyebabkan dua wanita yang begitu dia cintai terluka. Sudah hampir dua jam lebih, para staf medis menangani Aileen. Namun, belum juga menemukan tanda-tanda akan usainya tindakan. Agam tetap duduk dengan tenang, sementara Sastro dan juga Dewi saling menguatkan satu sama lain. Sorot mata Agam tidak lepas dari ujung sepatunya. Memasang telinga dan anak matanya untuk mendengar dan melihat kalau-kalau pintu dua bagian itu terbuka. Krak! Benar saja pintu itu terbuka, dan segera dengan cepat lelaki itu mendekati siapapun yang keluar dari ruangan. "Keluarga pasien?" Wanita itu menatap Agam. Namun lelaki itu kembali menunduk, karena dia hanya kekasih saat ini. Agam menatap kedua sejoli yang sedari tadi cemas dengan wajah yang tegang. "Saya, ibunya, sus. Ada apa dengan anak saya? Bagaimana kondisinya?" sergah Dewi. "Pasien butuh transfusi darah O, anda memilikinya?" Dewi menatap sang suami. Darah Aileen sama dengan ayahnya. "Saya, sus. Saya, ambil sebanyak yang di butuhkan anak saya," ungkapnya. "Bapak sedang sehat? Tidak mengonsumsi obat apapun?" Suster harus memastikan bahwa pendonor memiliki kesehatan yang terjamin. Sastro juga bukan perokok aktif. "Tidak, Sus. Tidak, cepat, segera!" pungkas Sastro. Pria itu pun pergi bersama dengan perawat tersebut. Ke sebuah ruangan yang lain. Sementara Dewi, dia mengikuti suaminya dan meninggalkan Agam. Lelaki itu tetap di tempat. Tidak bergeser barang sedetikpun. Dia terus berdoa dan berharap bahwa kekasihnya baik-baik saja. Dia berharap bahwa, Aileen segera membuka matanya. Mata hitam bak langit malam itu. Agam merindukannya, rindu ketika mereka terus bertengkar dan kembali baik. Rindu ketika menatap mata itu, rindu ketika Agam memeluknya. Dia menyesal karena telah marah dan membiarkan gadis itu pulang sendirian. Seharusnya Agam bisa menahan emosi dan mengesampingkan egonya. Namun, Agam tetaplah Agam, dia akan tetap keras kepala hingga akhir hidupnya. Karena itu sudah menjadi watak yang diberikan Tuhan untuk lelaki itu. Setelah melewati banyak rangkaian, tepat tiga jam. Akhirnya Aileen keluar, bersama dengan ranjang yang beroda dan tiang infus. Ia akan di pindahkan ke ruang perawatan. Agam, terbelalak melihatnya dan segera bangkit. Dia mengekor ayah dan ibu Aileen. Sungguh, lelaki itu bahkan tidak peduli dengan dirinya. Haus, lapar, lelah atau pening tidak dirasa. Sampai di ruangan yang sederhana, tidak ada fasilitas apapun kecuali kamar mandi dan AC. Agam tahu mereka adalah keluarga sederhana dengan segala kerja kerasnya. Bukan itu yang menjadi masalah, karena bagi lelaki itu, dia bisa dekat dengan kekasihnya saja sudah cukup. Ada satu kursi dan itu ditempati oleh Sastro. Sementara Dewi, dia duduk di bibir ranjang anaknya. Dewi menyenggol lengan suaminya. Memintanya untuk melihat ke arah Agam. Dia memang terlihat menyedihkan saat ini. Sastro yang menatapnya pun mendekati pria itu. Dia sudah jauh lebih baik sekarang, karena Aileen sudah tidak lagi kritis, dokter pastikan tidak ada luka serius pada gadis itu. "Nak, maafkan bapak. Terima kasih sudah bawa Aileen ke rumah sakit tepat waktu," ucap Sastro. Meminta maaf bukan merendahkan seseorang kan? Itu adalah sikap seharusnya jika telah berbuat kesalahan, dan manusia memang seharusnya sadar akan kesalahannya. "Tidak masalah," jawab Agam dengan dingin. Dia belum tenang jika belum melihat Aileen sadar. "Kamu boleh istirahat dulu, nak. Mengganti baju ataupun makan," imbuh Sastro. "Saya tidak lapar, tidak juga ingin ganti pakaian. Saya akan tetap di sini sampai dia sadar," katanya. Sastro pun kehabisan kata-kata. Dia menatap istrinya dan wanita itu mengangguk. "Duduklah, bapak akan pulang. Bapak tidak bisa lama-lama berdiri. Jadi bapak akan pulang. Kabari kalau ada apa-apa, ya." Pria itu memilih untuk pulang. Setidaknya ada Dewi juga yang menjaga. Ayana juga tidak bisa sendirian di rumah, gadis itu penakut dan pasti cengeng. Setelah kepergian Sastro, justru Agam memberikan kursi itu pada, Dewi. Dia meminta wanita itu untuk duduk di sana. Agar Aileen tidak terusik. Sungguh perhatian yang luar biasa bukan? Sementara dia bersandar di dinding tepat di samping ranjang Aileen. Dia menatap wajah Aileen dengan intens tanpa mau memalingkan wajahnya. Tanpa mau, mengedipkan matanya jika dia bisa. Hingga malam tiba Agam dan Dewi tetap di sana. Mereka tidak melakukan kontak pembicaraan apapun. Agam lebih memilih diam dan tetap menunggu Aileen sadar. Dengan bersandar di dinding. Entah bagaimana keadaan kakinya. Apakah dia tidak pegal dan lelah? Dewi pun tertidur. Sementara Agam, dia masih stay di sana melihat dua wanita yang memejamkan matanya. Ponselnya berdering. Agam melihatnya dan kemudian mematikannya. Namun sebelum itu dia mengirim pesan pada sang ibu bahwa dia baik-baik saja. Agam tidak ingin suara ponsel membangunkan Aileen. Tidak lama, Aileen mulai mengerjapkan matanya. Dia mencari kenyamanan karena cahaya lampu membuat dirinya silau. Agam kemudian berdiri di depan ranjang dan tepat di bawah kaki Aileen. Menghalau cahaya dengan tangannya yang terangkat. Dia tinggi, tidak sulit untuknya jika hanya melakukan itu. "Agam?" lirih Aileen. "Senang melihatmu, lagi. Jangan tidur terus, aku ingin melihat matamu," tukas Agam. Aileen tersenyum tipis, wajahnya banyak luka juga memucat. Memar dan juga lebam. Aileen terlihat buruk, tetapi tidak di mata Agam. Dewi yang mendengar keduanya bercengkrama pun terbangun. Dia begitu senang melihat anaknya membuka mata. "Nak? Aileen, astaga. Kamu buat ibu takut. Bagaimana keadaanmu, apa yang sakit?" Pertanyaan yang begitu banyak, untuk Aileen. Gadis itu bergeleng lemah. Setelah cukup lama Agam berdiri di sana dan Aileen mulai terbiasa dengan sinar itu, dia pun menyingkir dan kembali berdiri di tempatnya semula. "Aileen, baik, kok, Bu. Agam, menolong Ai, kan," lirihnya. Dewi mengangguk lalu menatap Agam dengan senyum tipisnya. "Iya, dia memang lelaki yang baik. Kamu mau minum?" Aileen mengangguk. Dia sangat haus tenggorokannya sangat kering. Karena selama tiga jam dia tidak sadarkan diri.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN