Aileen menarik dirinya. Melerai pelukannya dan menatap wajah Agam dengan mendongak. Tinggi mereka memang terpaut cukup jauh. Namun, itulah pasangan yang serasi bukan?
"Maksudnya, dia akan menderita? Kehilangan segalanya?" gumam Aileen. Perlahan air matanya menguar.
Aileen tidak bisa bayangkan bagaimana sakit dan kecewanya Darren. Dia tidak tahu apa yang dirasakan Darren saat ini jika sampai hal itu terjadi.
"Percayalah, bahwa ini bukan rencanaku. Aku membuat iklan karena aku melihat potensi darimu. Dan ingin berkerja sama denganmu. Aku bahkan tidak tahu jika hasilnya bakal seperti ini. Layaknya satu tepuk tiga nyamuk mati.". Agam berkata dengan ciri khasnya.
Sungguh, lelaki itu tidak bisa merayu dan berbicara dengan lembut. Sekalipun maksudnya adalah dia tidak melakukan itu dengan sengaja.
"Kamu melakukannya karena dendam, bukan karena menolongku. Bukankah sedari awal memang itu niatmu. Mendekati aku untuk melukai Darren? Lalu sekarang kamu benar-benar menghancurkan mereka? Agam! Apa yang ada dalam isi kepalamu? Jika om Indra tidak punya hati, setidaknya kamu tidak membalasnya dengan keji seperti ini! Dia punya keluarga, punya istri dan—"
Agam geram, lagi-lagi mereka semua membela Indra dan wanita pengkhianat itu.
"Cukup! Cukup kamu bicara seperti itu! Aku bahkan tidak pernah mau mendengar namanya lagi! Dia bukan siapa-siapa bagiku. Aku tidak peduli jika dia hancur! Aku tidak peduli bahkan jika dia mati! Terserah kamu menilaiku seperti apa! Kamu bilang seperti itu karena kamu tidak pernah mengalami dan melewati apa yang aku rasakan, selama ini! Aku menderita karena mereka! Mamaku, lumpuh karena mereka! Buka matamu sendiri, bukan aku!"
Agam kembali marah, dia meninggalkan toko Aileen dan pergi. Aileen bergeleng, dia salah bicara kah? Tidak, bukan Aileen yang salah, tetapi cara pandang dia dan menjelaskan sikap Agam pada lelaki itu bukan seperti itu caranya.
Agam butuh kasih sayang lebih, Agam butuh perhatian lebih. Karena dia sangat kekurangan cinta dan kasih sayang.
"Agam! Agam tunggu!"
Namun, teriakan itu hanya sia-sia, lelaki itu sudah pergi dan melajukan mobilnya dengan sangat kencang. Aileen takut terjadi sesuatu dengan pria itu. Akan tetapi dia tidak bisa melakukan apapun saat ini. Dia tidak bisa meninggalkan tokonya.
"Agam, maaf. Astaga, apa yang harus aku lakukan?" Aileen memijit pelipisnya. Dia benar-benar cemas dan khawatir jika terjadi sesuatu dengan kekasihnya.
Aileen terus menghubungi ponsel Agam. Namun, tidak satupun panggilannya terjawab. Aileen terus menggigiti kukunya, dia panik dan ingin tahu apa yang dilakukan pria itu saat ini.
"Agam, angkat. Kamu tahu kan, maksud aku tidak seperti itu. Aku bahkan tidak membela Om Indra. Aku ada di pihakmu. Tapi cara ini benar-benar salah," lirihnya.
Alhasil, seharian Aileen kembali murung. Melayani para customer dengan senyum yang dipaksakan. Hilang lagi keceriaan yang baru dia dapatkan.
Cinta memang gila. Merubah mood seseorang dengan cepat.
Pukul tiga sore, Dewi sudah tiba di rumah. Sebelum memasuki halaman rumahnya. Dia justru mampir ke toko, menemui anaknya.
"Nak," sapa Dewi. Wanita itu melihat Aileen yang murung di meja kasir dan melipat kedua tangannya lalu menumpukan dagunya diatas telapak tangannya. Matanya terus melirik ponsel yang ia sandarkan di vas bunga yang ada di depannya.
"Aileen, kamu kenapa?" Bahkan gadis itu tidak mendengar sapaan pertama sang ibu.
"Ibu, sudah pulang? Kebetulan, Aileen mau keluar sebentar, ya. Aileen akan kembali sebelum malam. Ayana sudah balik, Aileen akan minta dia bantu ibu beresin toko, ya," ucap Aileen.
Bukannya menjawab pertanyaan sang ibu, tetapi gadis itu justru membicarakan hal lain.
"Kamu mau ke mana, Nak?" tanya Dewi.
"Penting, Bu. Sebentar, aja kok," sahut Aileen.
"Iya tahu sebentar, lama juga boleh. Tapi ke mana?" Dewi hanya ingin tahu ke mana anaknya akan pergi. Dia juga tidak mau terjadi apapun dengan anaknya.
"Ketemu, ayang." Cengirnya, menutupi kegelisahan dalam hatinya dia sudah cukup membuat cemas seisi rumah sejak kemarin, kali ini Aileen ingin menenangkan perasaan sang ibu.
Dewi bergeleng dan tidak lagi bertanya, Aileen mencium punggung tangan Dewi dan pergi dari toko. Mengendarai motor kesayangan yang juga menyebalkan baginya.
Aileen melaju menuju rumah Agam, dia yakin pria itu akan kembali ke rumah. Dia akan berbicara pada lelaki itu. Tidak mau masalahnya semakin membesar. Masalah besar harus jadi kecil. Masalah kecil harus ditiadakan jika ingin tetap bersama.
Dua puluh menit kemudian, gadis itu sudah tiba di rumah Alma. Dia mengetuk pintu dan juga membunyikan bel. Aileen tidak sabar, agar pemilik rumah itu segera membuka pintunya.
"Aileen?" sapa Alma ketika mendapati Aileen yang terlihat terburu-buru dan wajah yang berkeringat.
Aileen mengusap wajahnya dengan pakaian miliknya. Dia terlihat kikuk saat mendapati Alma yang membuka pintu.
"Tan— Tante. Maaf, saya berisik dan tidak sabar tadi mengetuk pintunya," sesal Aileen.
"Tidak apa-apa, ayo masuk," ajak Alma. Dia menarik tangan Aileen dan kemudian memutar lagi rodanya.
"Biar Aileen bantu, Tante," tawar Aileen. Alma tersenyum, dia tidak menolak bantuan dari gadis itu.
"Ada apa, nak? Kelihatannya panik banget?" Alma memecah keheningan.
"Kita ke sana saja, kita minum es sertu di sana," imbuh Alma. Dia juga meminta bantuan Murti untuk membuatkan dua es serut.
Alma mengajak Aileen duduk di taman samping dapurnya. Melihat beberapa tanaman dan juga kolam ikan kecil di sana.
Keduanya duduk, Aileen duduk di hadapan Alma. Karena kursi itu berada di depan kursi roda Alma. Wanita paruh baya itu memegang tangan Aileen. Menatap wajah gadis itu dengan lembut, tatapan teduh itu membuat Aileen bergetar.
Aileen bisa merasakan perhatian yang besar dari Alma. Wajar bukan jika Agam mengerahkan segala usahanya untuk menuntut keadilan akan ibunya yang sudah menderita sepuluh tahun lebih.
"Aileen— Aileen cari Agam, Tante. Dia ada?" Meski gugup, Aileen berhasil menuntaskan pertanyaannya.
"Oh, dia. Bocah itu sudah pergi sejak siang tadi. Katanya mau ketemu sama kamu, ada bisnis sama kamu, dia bilang. Jadi nggak ketemu?" Alma justru berbalik tanya.
"Ah— ke— ketemu, kok." Aileen sungguh terlihat bodoh saat ini. Dia sungguh grogi berhadapan dengan Alma.
"Jangan takut gitu dong, Tante tidak marah, sama Aileen. Bahkan Tante akan sangat marah jika Agam menyakiti Aileen. Jadi kalau ketemu kok— kalian bertengkar lagi?"tebak Alma.
"Lagi?" Aileen justru mengulang kata itu. Dia berpikir apakah Alma mengetahui hubungan mereka? Aileen sungguh sangat malu saat ini.
"Kalian bertengkar? Katakan pada Tante. Apa Agam kasar sama kamu?" Secepat kilat Aileen bergeleng.
"Enggak, enggak, Tan. Agam tuh baik, sumpah baik banget. Kami memang sedang salah paham aja, sih," tutur Aileen.
Murti datang dengan dua es serut yang diminta oleh majikannya. Alma memberikan satu untuk Aileen.
Mereka bercengkrama cukup lama. Alma menceritakan banyak hal tentang Agam. Mengatakan bahwa sebenarnya pria itu sangat baik. Rendah hati, tetapi karena masa lalu, dia menjadi kasar, dan kaku seperti saat ini.
"Agam itu—"