Bab 53: Gelo

1060 Kata
Setelah kepergian Agam, Aileen masuk ke dalam rumah. Wajahnya sudah tidak lagi tertekuk dan lusuh. Akan tetapi senyum menghiasi bibirnya dan wajahnya, terlihat kembali ceria. Dia melenggang dan meninggalkan sunggingan senyum untuk ketiga anggota keluarganya. Dewi dan Sastro hanya bisa bergeleng dan menahan tawa. Dalam batin mereka, tingkah anak muda selalu ada-ada saja yang menggelitik hati mereka. Namun, biar bagaimanapun, seorang orang tua, akan tetap senang jika anaknya bahagia. Akan hancur jika anaknya sedih dan terpuruk. "Si Aileen, emang bener-bener," gerutu Ayana. Adik yang tidak pernah mau memanggil kakaknya dengan panggilan yang benar. "Biarkan kakakmu bahagia, Aya. Kamu tahu sendiri bagaimana dia berjuang selama ini. Berusaha keras untuk mewujudkan mimpi, sampai dia lupa bagaimana caranya beristirahat dan mengeluh. Kini biarkan dia merasakan kebahagiaan yang dia mau," tutur Dewi pada anak bontotnya. "Ck, ibu mah, gitu. Iya sih, kasihan pas waktu dia mengurung diri. Tapi aneh tahu, Bu. Tiba-tiba keluar dan cengar-cengir, kesambet kali dia," cercanya. "Hus, kamu itu kalau ngomong selalu asal-asalan. Udah cepat makan dan belajar sana, dua Minggu lagi ujian kan?" Ayana mengangguk, dia pun menyelesaikan makannya dan siap untuk bertempur dengan lembar demi lembar buku di kamarnya. Sementara Aileen. Gadis itu sibuk membersihkan dirinya. Giginya bergemeletuk karena menahan rasa dingin dalam tubuhnya. Namun, dia sungguh bahagia, mungkin memang cinta itu bisa membuat luka dan juga mendatangkan kebahagiaan. Usai itu ia pun mengganti bajunya dan siap menteror lelaki yang baru saja membuat hatinya hancur sekaligus berbunga-bunga. Aileen merebahkan tubuhnya di atas ranjang dan mulai mengetik pesan. Baru beberapa menit mereka berpisah, rindu sudah menggelayuti nalurinya. [ Woy, udah nyampek rumah? ] Satu pesan terkirim, tetapi tidak juga kunjung ada jawaban. Satu menit, dua menit sampai setengah jam pesan itu terabaikan. Kalau ponselnya rusak tidak mungkin kan? Ini normal, ada contreng lima, kemana dia? Batinnya. Mulai berpikir layaknya ABG labil yang baru jatuh cinta. Aileen melihat jam di dinding kamarnya. "Baru juga jam sepuluh, nggak mungkin dia tidur kan?" Aileen masih menggerutu. Dia memilih untuk menelepon pria itu, tetapi sampai puluhan panggilan pun tidak ada jawaban. "Ish, menyebalkan! Kemana dia? Awas aja ketemu, gua cites!" geramnya. Akhirnya, ia pun memutuskan untuk tidur. Tidak mau hanya menunggu pesan terbalas sampai dia mengabaikan jam malamnya. Enak aja, dia asik-asik ngorok, gua suruh melek! Gadis itu masih tidak bisa tenang. Mencoba memejamkan matanya yang malam ini terasa sulit. Namun, tidak sesulit kemarin. Hingga matanya mulai berat, dan dia juga lelah mengomel. Secara perlahan Aileen mulai kehilangan kesadarannya dan terbuai dengan rasa nyaman dan hangat pelukan selimutnya. * Keesokan paginya, ketika membuka mata. Benda pertama yang di cari oleh Aileen adalah ponsel. Dia kembali kecewa karena tidak satu pun pesan yang di balas oleh Agam. "Waaa! Sial nih lakik! Agam! A!" teriaknya. Sampai-sampai Dewi tergopoh-gopoh masuk tanpa mengetuk pintu kamar anak pertamanya itu. Bahkan spatula ikut masuk ke dalam kamar Aileen. Juga tangan yang belum di cuci berlumuran cabai. Menyambut Aileen pagi ini. "Kenapa, nak?! Kamu tidak apa-apa?!" cemas Dewi. "A! Ibu— ibu! Apa ini?!" "Wa! Maaf-maaf, kamu ngagetin ibu. Buruan cuci!" Mereka panik karena tangan Dewi yang masih kotor bekas cabai itu harus menyentuh tangan dan wajah anaknya, bermaksud untuk membelai Aileen. Dewi sedang membuat pepes super pedas, kesukaan Ayana. Request bocah itu semalam, dia ingin membawanya ke sekolah sebagai bekal. Namun, sekarang kacau karena teriakan Aileen yang tiba-tiba. Dewi kembali keluar, mencuci tangan dan meletakkan spatulanya di tempat yang benar. Kemudian dia kembali ke kamar Aileen. Gadis itu masih berada di kamar mandi dengan ocehannya yang khas. Layaknya Aileen yang selalu ceria setiap harinya. Namun selalu menggerutu jika apa-apa tidak pas dengan keinginan dan kemauannya. "Aileen! Buka, kamu kenapa? Nggak kesambet penunggu kamar mandi kan?!" "A!" Gadis itu kembali berteriak dan segera keluar dari bilik kecil di kamarnya itu. "Kamu kenapa, sih?! Dari tadi teriak-teriak terus. Ntar Bapak marah, ibu lagi yang disalahin," ungkap Dewi. "Nggak mungkin lah, Ayah marah. Lagian, yak. Ibu kenapa sih ngagetin Aileen. Pake nakut-nakutin Aileen di kamar mandi segala," terangnya dengan wajah yang cemberut. "Yang ada kamu yang bikin ibu jantungan. Pagi-pagi teriak-teriak panggil anak orang. Panas! Awas di ulang lagi, ibu akan kawinin kamu!" Setelah berkata demikian, dia pun meninggalkan anaknya yang melotot ke arahnya. Dewi menahan tawanya dengan sekuat tenaga. Dulu ketika Dewi di ancam hal serupa oleh sang ibu, dia sangat ketakutan karena dia masih sangat muda waktu itu. Mungkin seumuran Aileen. Dewi tidak mau menikah muda. Karena tahu, bahwa menikah itu tidak semudah yang di bayangkan. Tidak semua isinya itu cinta dan kebahagiaan. Namun, Aileen — "Waa! Mau! Mau! Yuk dah gass!" sergahnya. Gadis itu mengejar ibunya dan Dewi pun menepuk dahinya. Dia benar-benar keki dengan jalan pikiran anak muda jaman sekarang. Wanita paruh baya itu menghela napasnya dengan perlahan. Lebih baik Aileen segila ini dari pada mengurung dirinya di kamar kemarin. Dewi terus meyakinkan dirinya bahwa kini Aileen memang sudah kembali menjadi dirinya sendiri. Tidak kesambet atau kemasukan Jin-jin di kamar mandi. "Ayo, Bu! Aileen sudah ada calon, orang gila yang berdiri di rumah kita kemarin. Yuk! Gass, Aileen ganti baju yak?" Dewi mencengkeram tangan anak gadisnya dan sangat geram dengan kelakuan tidak waras bocah itu. "Aileen!" Dewi memanggil anaknya dengan gigi yang mengatup. Seperti sebuah penekanan agar bocah itu sadar. "Kamu itu waras atau tidak? Dasar— astaga, Tuhan. Aku bisa-bisa gila jika meladeni setiap masalah anak muda. Kamu kira nikah itu mudah? Kamu kira wanita yang harus datang ke rumah lelaki?! Aileen— ish! Kugetok juga kepala ini anak," celetuk Dewi. Dia bergeleng dan melepaskan tangan anaknya. "Bu, siapa bilang Aileen mau nikah! Ibu bilang kawin kan? Kawin itu beda ama nikah. Kalau kawin itu lebih menjurus ke anu— hubungan seksual, jadi tanp—" Dewi sudah mendelik dan matanya, ketika mendengar ucapan sang anak, dan pikirannya sudah mulai menangkap apa yang akan dikatakan gadis itu. Dewi benar-benar terbelalak dengan pemikiran m***m anak pertamanya. "Aileen!" teriak Dewi, tetapi itu bukan sebuah teriakan kemarahan. Namun, benar-benar tidak habis pikir dengan jalan pikiran anaknya. Dia mengambil lagi spatulanya dan mengangkatnya hendak memukul Aileen. "A! Kabur! Mak Dewi, marah," ejeknya. Dengan tawa yang menggelegar dia berlarian masuk kembali ke kamarnya. Segera menutup pintu dan masih menyisakan senyuman di wajahnya. Dia sendiri juga tidak tahu keberanian dari mana mengatakan hal itu pada sang ibu. Di dapur Dewi mengelus dadanya. "Astaga itu bocah, jangan-jangan Ayana benar, Aileen memang kesambet. Gusti, jaga anak saya. Jangan sampai dia gila. Apa lagi minta kawin," gumamnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN