Sampai di rumah. Darren mengamuk, dia membanting semua barang di kamarnya. Ruangan itu sudah tidak lagi berbentuk. Bantal keluar isinya dan pecahan kaca juga berserakan. Semua sprei dan buku-buku berceceran.
Dia hancur, tidak suka dan tidak terima dengan keputusan Aileen saat ini. Namun dia juga tidak bisa memaksa gadis itu untuk tetap berada di sisinya.
Mungkin memang benar, mereka hanya ditakdirkan sebagai sahabat. Dengan begitu, Darren bisa tetap dekat dengan Aileen setiap saat bukan?
Almira yang mendengar kekacauan di kamar anaknya segera membuka pintu ruangan itu. Syukur Darren tidak menguncinya. Sang ibu sangat terkejut. Hatinya sudah sakit melihat suaminya mengurung diri di kamar selama ini.
Kini di tambah dengan Darren yang stress dengan masalah pribadinya. Sungguhkah ini keluarga Almira saat ini? Dulu, mereka diliputi dengan banyak kebahagiaan cinta dan kasih sayang lalu kenapa semuanya seakan pergi begitu saja. Terlalu cepat dan singkat kebersamaan ini terlewat.
"Darren, ada apa ini, nak? Kamu kenapa?!" Almira histeris. Tentu saja dia kaget. Darren tidak pernah sehancur ini.
Sama halnya dengan Aileen, bahkan dia juga tidak pernah sekalipun mengurung diri di kamar selama ini.
Kini semuanya seakan jauh berbeda ketika cinta itu datang. Hubungan yang rumit yang tidak bisa dijelaskan oleh akal sehat.
Darren begitu menginginkan Aileen. Namun, gadis itu justru mengejar lelaki lain, sedihnya laki-laki itu bahkan telah menyakiti hati Aileen.
Namun, bukankah semuanya berakhir. Agam telah menerima Aileen. Mereka akan bersama. Menjalani suatu hubungan yang tidak hanya sebatas teman.
Rasa sakit yang di dapat oleh Darren mungkin akan teramat perih. Namun, cinta tidak bisa dipaksa. Cinta memiliki jalan untuk kembali. Cinta tahu mana yang harus dipertahankan dan juga dilepaskan.
Buta? Memang cinta itu buta, akan tetapi hati selalu merasakan kuat dan juga tulusnya sebuah perasaan.
"Sadar, Darren! Kamu kenapa? Jangan buat Mama, semakin kacau," isakan tangis Almira sangat memilukan.
Dia mencoba menahan lengan Darren yang terus mencari benda-benda untuk dia buang. Bahkan menyakiti dirinya sendiri.
Almira menangis, dia memeluk anaknya yang jauh lebih tinggi dan lebih besar dari dirinya. Almira sama sekali tidak menginginkan hal buruk terjadi dengan anaknya.
Dia sangat menyayangi dan mencintai keluarganya. Mungkin ini karma. Mungkin takdir Tuhan sudah datang. Bahwa apa yang didapat dari mengambil hak orang lain, pasti akan kembali pada pemiliknya.
Bukankah Almira mengambil kebahagiaan milik kakaknya? Bukankah dia adalah wanita yang sangat jahat. Seharusnya kakak beradik memiliki ikatan batin yang kuat. Terlebih mereka kembar.
Namun itu tidak berlaku untuk Almira. Yang seakan mengeraskan hatinya karena cinta butanya pada suami sang kakak.
Begitupun dengan Indra yang seakan tidak puas dengan satu wanita yang jauh lebih baik dari istrinya sekarang. Penyesalan tidak akan merubah takdir mereka saat ini.
Terlebih dendam Agam, tidak terhenti walau sang ibu dan juga Aileen berusaha untuk mencegahnya.
"Darren!"
Almira menampar anaknya. Karena lelaki itu sama sekali tidak menghiraukan ucapan dari sang ibu. Almira kian menangis. Dia menyesal melukai Darren.
Namun, jika tidak seperti itu. Darren akan tetap melukai dirinya dengan menyayat lengannya dan membenturkan kepalanya pada dinding di samping jendela kamar itu.
"Cukup, nak. Cukup! Jangan sakiti dirimu. Mama dan papa masih menyayangimu. Jika masalahnya hanya karena cinta. Masih banyak di luar sana yang mencintaimu. Masih banyak di luar sana yang menginginkanmu. Mama mohon jangan seperti ini," pinta Almira.
Gadis itu sampai merosot dan bersujud di kaki anaknya. Darren pun sadar dan terduduk. Dia memeluk sang ibu. Menangis bersama, seakan semuanya sudah berakhir.
Mereka seperti tidak ada harapan lagi untuk melanjutkan hidup. Perusahaan yang kian hari kian jeblok. Tidak ada pemasukan dari pihak lain yang menyewa jasanya.
Satu persatu pemilik saham pun mencabut perjanjiannya. Sudah pasti mereka akan menanamkan kembali modal dan menjalankan uangnya di tempat yang menjanjikan.
Masa kejayaan Indra mungkin memang sudah saatnya berakhir. Dia harus menebus harga yang layak untuk sebuah pengkhianatan dan juga telah menelantarkan anak dan istrinya bertahun-tahun lamanya.
*
Keesokan paginya di kantor Agam. Ashraf di buat sibuk dengan semua laporan yang berdatangan. Tentang iklan yang telah merajai ranah pemberitaan.
Mereka sangat takjub dengan pemikiran tentang menawarkan produk dengan menyewa jasa model. Mereka berpikir bahwa itu semua karena A'Tree's menyewanya dengan biaya yang mahal.
Beberapa perusahaan ingin tertular hoki dari A'Tree's, ingin menyewa jasa atau ingin mengetahui perusahaan mana yang menaungi bagian periklanan milik Agam tersebut.
Sejak kedatangannya, Ashraf sama sekali tidak berhenti menerima laporan dari berbagai perusahaan. Karena memang betul penjualan produk yang dipasarkan Agam meningkat drastis. Ketimbang dengan iklan yang ditayangkan di televisi beberapa waktu yang lalu.
Ratusan bahkan ribuan ponsel buatan A'Tree's laku terjual setiap harinya. Mereka berusaha untuk meluncurkan produk-produk yang kian membaik, dan sesuai jamannya. Anak-anak muda yang selalu ingin tampil modis dengan berbagai gaya.
"Tuan, saya kewalahan. Maaf, anda di mana? Ke kantor atau tidak?" lirih Ashraf ketika menghubungi Agam.
Tidak seharusnya dia mengeluh di tengah rejeki yang berdatangan. Seharusnya Ashraf merasa senang. Namun yang membuat lelaki itu bingung adalah, karena Agam memintanya untuk tutup mulut tentang siapa dan bagaimana Agam menghasilkan iklan yang epik hanya dengan modal kamera saja.
Mungkin memasang iklan di papan besar pinggir jalan sudah banyak yang tahu. Akan tetapi cara Agam benar-benar unik. Terlebih model yang dia pilih mampu membuat mereka terpana. Andai saja jika mereka tahu bahwa model itu bahkan tidak setinggi model profesional.
"Aku tidak ingin pergi. Aku mengantuk, ijinkan aku tidur Ashraf. Menyebalkan sekali, aku hanya ingin tidur. Kenapa kamu letoy hari ini!" geram Agam.
"Maaf, Tuan. Lalu saya harus menjawab apa?" Ashraf benar-benar bingung. Ini bukan bagiannya.
Karena yang mengurus periklanan bukan dirinya. Dan pihak pengurus pun angkat tangan karena banyaknya pertanyaan yang diajukan.
"Abaikan! Gitu aja susah. Jika mereka mau, mereka akan segera membuat janji dengan kita. Bilang sama mereka apapun yang mereka ingin, apa yang ingin dipasarkan kirim saja. Kita meng-endorse barang mereka, tapi aku memiliki cara sendiri untuk melakukannya. Jadi mereka tinggal terima jadi. Tapi, jika mereka hanya bertanya tanpa bertindak. Abaikan! Jangan ganggu aku lagi!"
Agam segera mematikan ponselnya setelah menggertak di akhir kalimatnya. Lelaki diseberang sampai terkejut. Ashraf tidak heran dengan sikap Agam. Dia sudah mengenal bocah itu sejak bayi. Bahkan dia sudah menganggap Agam sebagai anaknya.
Namun, Ashraf sama sekali tidak dianggap sebagai ayahnya. Miris memang nasib lelaki itu. Namun, bukan itu tujuannya. Dia hanya ingin bekerja karena selama ini Alma sudah sangat baik kepada seluruh keluarganya. Terlebih ibu dan ayahnya yang menempati vila mereka.