Bab 55
Di rumah Darren, sudah satu Minggu lebih sejak kejadian itu. Beberapa karyawan datang ke kediaman Indra. Mereka ingin bertanya bagaimana kejelasan nasib mereka. Pasalnya sudah selama itu juga, Indra tidak menampakkan diri di kantor.
Mereka hanya khawatir dengan hak para karyawan yang bulan depan entah bagaimana akhirnya.
"Maaf, Nyonya. Tapi bolehkah saya bertemu dengan pak Indra? Banyak buruh yang bergantung padanya. Tidak hanya puluhan bahkan ratusan. Jika sampai terlunta-lunta, bagaimana nanti nasib kami?" seru Romi, salah satu orang kepercayaan Indra.
Orang yang selalu, membantu lelaki tua itu dalam segala hal urusan pekerjaan. Dia bertanya secara baik-baik, karena dia sangat tahu betul apa yang sedang terjadi.
"Maafkan, saya. Suami saya tidak mau makan, tidak minum selama satu Minggu. Dia juga tidak keluar kamar," lirih Almira, air matanya tiba-tiba menetes begitu saja.
Ini sangat sulit di percaya. Bahwa apakah kehidupannya yang serba ada nantinya akan sirna hanya dalam waktu sebulan?
Selama satu Minggu saja, para pemegang saham sudah satu persatu pergi. Tidak ada orang yang ingin rugi. Sekalipun mereka sudah kaya, semua akan semakin memperkaya diri mereka.
Tidak ingin terlibat dalam utang piutang apapun. Lebih baik membayar denda dan mendapatkan ladang baru, ketimbang harus mengandalkan satu lahan tetapi akhirnya jebol.
"Boleh saya menengok beliau?" Romi berkata dengan nada halus. Dia masih simpati, laki-laki itu tahu bahwa Indra bukan orang jahat. Dia royal kepada para karyawannya. Bahkan orang-orang yang terdesak dan meminjam uang selalu Indra berikan.
Almira mengangguk pelan. Dia bangkit dan membawa Romi dan dua rekan lainnya untuk menemui suaminya. Pria itu memiringkan tubuhnya di atas bed, dan menghadap jendela.
Dia sangat menyukai pemandangan luar semenjak hari pertama pemberitaan itu menyebar.
"Hanya itu yang selalu dia lakukan. Saya harap kalian mau bersabar, hingga waktunya tiba. Saya janji bulan depan kalian akan tetap mendapatkan hak kalian," tukas Almira.
Dia tidak tahu apakah yang dia katakan benar atau tidak. Pastinya, dia hanya ingin menenangkan mereka agar situasi tidak semakin kacau. Sekalipun dia tahu apa yang akan dia ucapkan menambah beban pikirannya.
"Saya harap ucapan itu benar, bukan hanya sekedar untuk menenangkan kami. Saya pamit undur diri, Nyonya. Semoga Pak Indra segera membaik."
Setelah berpamitan, ketiga orang yang hanya mengintip Indra dari ambang pintu itu keluar. Sementara Almira ia mendekati suaminya. Duduk di bibir ranjang dan menatap pria yang bahkan dia tidak tidur saat ini. Seharusnya dia bisa menemui para karyawannya bukan? Namun, dia tidak melakukannya.
"Pa, kamu dengar apa yang mereka katakan kan? Sekarang aku benar-benar tidak tahu harus berbuat apa? Kita hanya mengandalkan stasiun itu sebagai mata pencaharian kita. Sumber rezeki kita, sekarang itu sudah tidak menghasilkan lagi. Kita masih memiliki banyak tanggung jawab." Almira menggenggam tangan suaminya dengan erat.
"Gaji mereka, pajak, hutang bank untuk pelunasan tahun ini, aku tidak bisa berpikir apa yang akan kita lakukan? Apa yang akan kita berikan? Aku berharap rumah ini tetap milik kita. Aku tidak mau seperti drama-drama di televisi yang jatuh miskin dan jadi gelandangan. Setidaknya kita harus tetap punya rumah, Pa," sambung Almira.
Dia tidak materialistis, tetapi berpikir realistis. Dia mau menjalani kehidupan sederhana. Namun, dia harus tetap memiliki tempat tinggal. Setidaknya beban dalam hidupnya tidak dihabiskan untuk biaya sewa rumah yang harganya melejit di kota itu.
"Papa harus bangkit. Kita pasti bisa melewati semua ini. Aku mau berjuang lagi dari awal. Asalkan, Papa mau berbicara dan kita berjuang lagi." Almira terus meyakinkan suaminya. Dia tidak akan meninggalkan pria itu.
Agam— kamu memang kurang ajar! Seharusnya kamu dan mamamu yang menderita, bukan kami, batin Almira.
Dia benci dengan keponakannya sendiri. Bahkan dia lupa pernah mengatakan kalau dia juga ibu bagi Agam. Mungkin cinta dan harta sudah menutup matanya. Bohong jika dia tidak materialistis. Bedanya saat ini adalah, dia sama sekali tidak berkeinginan untuk pergi dari sisi suaminya dalam keadaan apapun.
"Apa yang harus aku lakukan? Sampai bulan depan bahkan tidak ada satupun seorang yang menyewa jasa kita. Stasiun kita sudah dinyatakan bangkrut. Sudah tidak bisa diakses dari mana pun. Teknologi canggih yang kita buat sudah diputus, Ma," terang Indra.
Akhirnya pria itu membuka mulutnya. Namun kenyataan itu membuat hati Almira ambles.
"Lalu kita harus bagaimana, Pa? Jangan sampai Darren berhenti kuliah. Dia sudah stress dengan dirinya sendiri, lalu sekarang harus menanggung semua ini? Darren tidak pantas, Pa. Dia anak yang baik, berprestasi, masa depannya cerah. Tinggal satu tahun lagi," ungkap Almira. Ia menatap suaminya dengan intens matanya basah karena terus menangis. Sudah sejak kejadian demi kejadian datang, Almira lebih sering menangis.
"Kita harus jual semuanya, Ma. Hasil penjualan kita buat bayar para karyawan. Lalu kita bisa tinggal di rumah kecil. Kita beli rumah di desa, di pinggiran yang lebih murah. Biarkan, Darren berjuang di kota. Kita harus lepaskan dia. Bukan kita tidak tanggung jawab, tetapi membiasakan Darren mandiri. Aku yakin dia mampu," lirih Indra.
Almira menangis. Dia tidak pernah jauh dari sang anak. Dia tidak pernah membiarkan anaknya sendirian. Di mana pun ibu, sudah pasti tidak mau jauh dari anaknya.
Almira takut jika Darren sakit, siapa yang akan merawat, jika terjadi sesuatu dengan pria itu, siapa yang mau menemaninya?
"Pa?" rintih Almira.
"Maafkan, papa kok, Ma. Tapi jika kita mau bebas dan tenang hanya itu yang bisa kita perbuat. Maaf, untuk semua yang terjadi," sesal Indra.
Almira bergeleng, "bukan papa yang seharusnya minta maaf, tapi dia. Mereka yang seharusnya meminta maaf kepada kita," geram Almira.
Dia memeluk sang suami. Menangis terisak dan sesekali meremas dadanya yang terasa sesak.
"Maafkan, aku, Ma. Maaf," lirih Indra. Dalam pelukan Suaminya wanita itu bergeleng. Dia tidak terima Indra merasa bersalah.
Almira masih menganggap bahwa cinta itu tidak bisa di paksakan, dan apa yang terjadi dengan dirinya dan suaminya adalah takdir. Sehingga apa yang di lakukan Agam pada mereka terkesan perbuatan kriminal. Padahal Agam bahkan sama sekali tidak melakukan kecurangan apapun.
Hanya sebuah penolakan penawaran kerja sama, bukankah itu termasuk hak asasi setiap manusia. Mau menerima atau tidak tergantung Agam bukan?
"Kita lakukan sekarang, Pa. Aku tetap akan ada di sampingmu. Kita berjuang lagi, apakah kita harus katakan pada Darren? Tapi, aku tidak yakin saat ini. Dia sedang terpuruk, Pa. Dia menyakiti dirinya tadi," tutur Almira.
"Benarkah? Maafkan aku yang sudah mengabaikan kalian. Bahkan aku tidak tahu apa yang sudah kalian lewati selama ini."
Indra memeluk sang istri. Mencium pucuk kepala Almira. Kemudian mereka pun bangkit dan menemui Darren.
Lelaki itu tertidur di kamarnya dengan pulas, dan bekas luka sayatan di lengannya.
Indra membelai rambut anaknya dan mencium keningnya. Rasa sayang Indra pada lelaki itu sangat besar. Hanya dialah satu-satunya harapan untuknya. Masa Darren seharusnya cerah dan tidak mengalami semua ini.
Sungguh penyesalan baru datang saat ini. Benarkah Indra bahkan melupakan anak pertamanya? Pria yang selalu dia lukai semenjak kecil dan menjadikan Agam seperti monster saat ini?