Bab 22: Mengagumi

1072 Kata
Bab 22 Selanjutnya, perjalanan malam ini terasa begitu sangat lama ketimbang keberangkatan mereka sebelumnya. Aileen terlelap dengan nyamannya. Kepalanya berada di sandaran jok mobil tersebut. Sesekali dia terantuk karena jalanan yang sedikit kacau. "Dasar!" gerutu Agam. Ketika mobil sampai di depan toko Aileen. Agam berusaha untuk membangunkan gadis itu, dengan mentoel lengannya, tetapi Aileen tidak bergerak sama sekali. "Pingsan? Jangan-jangan mati!" gumamnya. "Woy! Bangun!" teriak Agam. Namun, Aileen justru mengangkat kakinya dan meringkuk menghadap ke pintu. "Eh— malah begitu! Merepotkan," lirihnya. Pria itu keluar dari mobil. Mendekati pintu toko dan mengetuknya. Dia mengira bahwa toko itu adalah rumah Aileen. Berulang kali dia mengetuknya, padahal jelas terlihat bahwa lampu di sana semua padam. Hanya terlihat lampu hias yang ada di teras. Sastro yang baru pulang pun melihat Agam. Dia menghentikan motornya di halaman rumahnya. Sebelum membuka pagar rendah itu. Ia menghampiri Agam, bertanya ada apa gerangan, sehingga dia harus mengetuk pintu toko yang sudah tutup. Tatapan Agam, sinis. Dia tidak menyukai lelaki paruh baya yang seusia dengan Indra. Dia menganggap bahwa lelaki seperti itu sama saja. Sekalipun logat bicara Sastro sangat berbeda. Namun, kebencian Agam pada Indra seakan menuntut dirinya untuk tidak terlalu percaya atau bersikap baik pada pria lain kecuali Ashraf. "Siapa kamu?" tanyanya. Tidak ada sopan-sopannya sama sekali. Sastro menatap Agam dengan seksama. Sempat berpikir bahwa Agam adalah brandal tengil yang mau mencuri. Namun, tiba-tiba Dewi dan Ayana keluar dari rumah. Mereka menjelaskan siapa Agam, dan Sastro pun seakan merubah cara pandangnya pada Agam. Lelaki itu mengucapkan terima kasih, tetapi Agam hanya diam mematung tanpa menjawab apapun. "Dia tidur, aku ingin segera kembali ke rumah," tuturnya. "Dia?" Secara bersamaan Sastro dan juga Dewi kebingungan. Dewi lupa bahwa anaknya tadi ikut bersama Agam. "Oh— iya, kak. Serahkan sama, Ay." Ayana pun membuka pintu mobil, dia tidak tahu bahwa kakaknya tidur dengan mengandalkan pintu sebagai penahan tubuhnya. Alhasil gadis itu terjatuh, layaknya buah nangka yang terjatuh. "Akh! Gila! Sakit!" keluhnya. Aileen menggerutu dan seketika tersadar. Tubuhnya sudah lelah semakin bertambah sakit. Sementara Ayana dia menutup mulutnya dan terbelalak. Dewi terpekik dari kejauhan. Agam hanya mengerutkan dahinya dan memejamkan sebelah matanya. Seakan mengatakan bahwa 'ah— itu pasti sangat sakit' Andai dia bisa tertawa layaknya Ayana yang menahan tawa itu, pasti wajahnya bisa lebih rileks dan juga terlihat begitu berlipat ketampanannya. Akan tetapi sayang, dia tidak bisa menarik kedua sudut bibir itu. "Ayana! Kira-kira ngapa! Mau bunuh gue?! Dasar, adik lucnut!" sungut Aileen. Dia pun bergegas masuk kedalam rumahnya. Sampai lupa mengucapkan terima kasih pada Agam. Sampai di ambang pintu, dia berbalik kembali dan mendekati Agam. "Terima kasih, sudah mau mengantarku pulang. Lain kali, bangunkan aku, kalau aku tertidur. Jangan suruh Ayana!" cercanya dengan wajah yang menyebalkan. Mengkilap karena keringat dan juga kusut karena seharian belum mandi. Agam hanya menggedikkan bahunya. Kemudian dia kembali ke dalam mobil. Dewi dan juga Sastro bergeleng. Melihat tingkah anak muda jaman sekarang. "Bu, apa lelaki itu memang seperti itu?" Dewi menggeleng, dia juga tidak tahu. Karena dia juga batu mengenalnya dan bertemu dengan Agam kedua kalinya bukan? "Misterius, jangan sampai Aileen berteman dengannya," ujar Sastro. Mereka kembali ke rumah, dan bersiap diri untuk makan malam bersama. Dewi mendengarkan setiap ucapan suaminya, tetapi dia tidak suka jika pertemanan anaknya dibatasi. "Jangan begitu, pak. Kalau tidak ada, dia. Aileen pasti masih menangis. Ada banyak faktor yang membuat seorang lelaki menjadi kaku dan dingin. Biarkan saja, Aileen memilih sendiri siapa yang layak dan tidak layak untuk menjadi temannya. Bapak masih belum percaya dengan anak bapak itu?" Dewi, membantu melepaskan baju suaminya. Menyiapkan baju baru untuk ganti dan juga air hangat di kamar mandi. "Terserah ibu, saja. Bapak hanya tidak mau, kalau lelaki seperti itu bisa-bisa mencelakai anak kita." Dewi menggeleng, seakan dia yakin bahwa penampilan tidak semuanya cocok dengan kriteria atau kepribadian seseorang. "Sudah, jangan pikirkan lagi. Belum tentu mereka bertemu lagi, kan. Sekarang bapak mandi, dan segera susul ibu di dapur, ya. Ayana sudah lapar, katanya," tutur Dewi. * Mereka hanya makan bertiga, sementara Aileen, gadis itu, melanjutkan tidurnya kembali. Tanpa berganti baju ataupun makan, atau mandi. Tubuhnya seperti digebuk tiga Hulk, Thor, dan semua pemain Avengers. Bahkan tidurpun asal-asalan yang penting tubuhnya berada tepat diatas ranjang. Tidak peduli dengan kaki yang menggantung dan juga sendal jepit yang terjatuh dengan sendirinya. Aileen, tidak memikirkan apapun kecuali istirahat. Lalu kembali berkerja esok hari. Lebih berhati-hati dan tidak akan melakukan kecerobohan lagi. Sementara di tempat lain. Agam baru saja masuk kedalam rumah. Alma sudah sangat cemas menantikannya. Tidak biasanya Agam pergi dan kembali dengan sangat lama layaknya malam ini. "Nak?! Kamu dari mana saja? Mama khawatir." Alma mendekati anaknya dan juga mengecek semua tubuh anaknya sampai Agam berputar, karena tangan sang ibu yang lincah memutar tubuh pria itu. "Agam, baik, Ma. Hanya saja tadi ada sesuatu terjadi. Tapi bukan apa-apa. Mama, tenang saja, toh Agam masih utuh juga," jawabnya dengan enteng. "Agam! Ya, tahu, kamu masih utuh. Jangan diulangi lagi, kalau pulang telat itu selalu kasih kabar ke Mama, biar Mama, nggak kek orang gila mondar mandir sama Bu Murti." Agam memberikan boks kue itu pada Murti dan dia pun melenggang pergi. "Agam nggak nyuruh Mama mondar mandir kan?" teriaknya sembari menaiki anak tangga. Alma menggeleng pelan, dia benar-benar keki dengan sikap acuh sang anak. Namun, biar bagaimanapun Agam adalah putra satu-satunya yang sangat dia sayangi. Melebihi dari dirinya menyayangi Indra atau dirinya sendiri. Alma akan melakukan apapun untuk Agam, begitu juga sebaliknya dengan Agam. Mereka saling melengkapi dan juga saling memperhatikan satu sama lain. Di kamar Agam, lelaki itu duduk di sofa dan mengecek jadwal untuk esok hari. Dia ada kunjungan lagi di kampus. Kali ini dia harus benar-benar bertemu dengan orang yang dia cari. Agam tidak mau lagi menunggu lebih lama. Dia akan membalas dan membuat Indra membayar rasa sakit selama puluhan tahun yang dirasakan oleh ibunya. Pria itu, menutup kembali tabletnya dan berganti menscrol akun sosial medianya. Tanpa sengaja dia melihat iklan di aman Aileen lah yang menjadi modelnya di sana. Bukan iklan top akan tetapi itu adalah salah satu brand yang menyewa jasa Aileen. Agam menatapnya berulang kali bahkan memutarnya berkali-kali. Entah kenapa dia suka menatap wajah Aileen. Sekalipun dia kecil, imut, pendek dan menyebalkan. Namun, melihat wajahnya gadis itu terlihat sangat manis. Bulu matanya indah dan juga matanya yang selalu membuat Agam terpesona. Seperti langit malam, dan rambut yang juga tidak kalah hitam. Agam menarik satu sudut bibirnya. Entah sadar atau tidak tapi jelas terlihat bahwa satu sudut bibirnya terangkat. Apakah dia mulai mengagumi Aileen?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN