Bab 21: Dewa Penolong

1035 Kata
Bab 21 Pukul lima sore, Aileen kembali. Perasaan yang tidak karuan, pikiran buntu. Ingin marah, dan berteriak sekencang yang dia bisa. Aileen kembali dengan taksi online yang sama. Dia membayar biaya yang telah disepakati. Kemudian kembali menurunkan kotak-kotak yang berisi lemon cake. Setengah mati Aileen berjuang dari sebelum fajar hingga sore hari. Namun, semua itu membuat dirinya gila. Dewi menatap sang anak dengan keheranan, begitu juga dengan kotak yang ada ditangannya. Bolak balik, dia mengambil dari bagasi. Sebelum Dewi bertanya dia pun membantu menurunkan semua kue tersebut. Wajah Aileen lemas, kusut, tidak bersemangat dan bahkan dia menahan siluet di matanya. Aileen seperti kehabisan napas, sesak, dan berat. Seakan tidak ada rongga apapun di dadanya. Semuanya terasa menimpa dirinya. Setelah semuanya turun, Aileen melipat tangannya di atas meja dan menyembunyikan wajahnya. Dia terisak di sana. Tanpa bisa berkata apa-apa pada sang ibu. "Ai? Kenapa nangis? Apa terjadi sesuatu?" Dewi mengelus pundak Aileen, juga meraba lengannya, agar gadis itu tenang. "Dia— dia jahat, Bu," lirih Aileen. Gadis itu berhamburan kedalam pelukan sang ibu. Dia tidak peduli jika Ayana mengatakan dirinya cengeng, atau ada customer yang datang lalu mengatakan bahwa dia anak manja, atau tidak bisa jauh dari ketek sang ibu. Aileen tidak peduli, dia butuh bahu untuk bersandar. Hari ini dia berjuang sampai melupakan semuanya. Merelakan hari libur, mengabaikan pesanan dan pelanggan yang lain demi satu orang tetapi— * Aileen sangat senang, dia berada di taksi sembari mencari alamat sang pemesan. Banyak yang mengomentari postingannya yang barusan dia upload. Ucapan selamat dan juga support berdatangan untuknya. Sang sopir pun juga berputar-putar mencari alamat yang ada di map. Alamat itu juga yang dituliskan Aileen berdasarkan lokasi yang dikirim padanya. Namun sampai satu jam berkeliling, keduanya tidak menemukan alamat jelasnya. Hanya ada lapangan dengan rumput, semak belukar. Mungkin tanah kosong yang ditinggalkan bertahun-tahun lamanya. Saat itu juga, Aileen mencoba untuk menelepon pemesan. Namun, nomor yang dituju sudah tidak lagi bisa dihubungi. Aileen, sudah gemetaran, tangannya Tremor, keringat dingin bermunculan. Akan tetapi dia berusaha untuk tetap tenang dan berusaha menghubungi nomor tersebut. Selama ini, tidak pernah ada orang yang mempermainkan dirinya seperti ini. Maka dari itu, Aileen selalu memberikan kepercayaan penuh. Bahkan tidak meminta uang muka. Ini adalah kali pertama dia mengalami hak yang membuat semangatnya tiba-tiba menghilang, kecewa, sedih, dan juga hancur. Semua bahan yang dia gunakan menggunakan uang pribadinya. Meskipun itu dari toko kedua orang tuanya. Namun, usaha tetaplah usaha, harus mengeluarkan modal, modal yang berputar. Lalu bagaimana jika kejadiannya seperti ini. Semua orang pasti akan sangat sedih dan tidak memiliki keinginan untuk menerima pesanan dalam jumlah besar jika ada salah satu oknum tidak bertanggung jawab. * "Sabar, nak. Tenang. Kita akan mendapatkan gantinya. Jangan ditangisi, ya." Dewi berusaha untuk menenangkan anaknya. Meskipun sangat berat untuknya. Dia sangat kasihan dengan Aileen. Bahkan gadis itu tidak istirahat barang sejenak. Perjuangan yang sangat nyata hari ini oleh Aileen. "Ini sudah sore, Bu. Mana ada yang mau beli kuenya? Ini banyak! Kalau pun ada, buat apa mereka membeli sebanyak ini?" Aileen masih tetap berada di dalam dekapan sang ibu. Kekalutan yang dialaminya membuat mereka semua tidak tahu, bahwa ada seseorang yang datang. Bunyi lonceng pun seakan tidak mereka sadari. Orang itu, mendengar semua pembicaraan dan cerita Aileen. Namun, tidak ada respon apapun di wajahnya. Prihatin? Tidak juga. Dia kasihan, tetapi tidak bisa memberikN ekspresi wajahnya. Ia pun mendekati meja kasir. "Saya mau membelinya. Bawa semuanya ke bagasi mobil saya," ucapnya dengan dingin. Ketiga orang itu menoleh. Benar, Ayana, Aileen dan juga Dewi. Secara bersamaan menatap lelaki yang ada di balik etalase. Mereka berdiri dan mendekatinya. Namun, etalase itu menjadi pembatas ketiganya. "Serius?" Aileen "Yang benar, nak?" Dewi "Betulan, Kak?" Ayana Kompak, mereka tidak percaya dengan apa yang diucapkan oleh pria tersebut. "Hem— sebaiknya cepat, sebelum adzan berkumandang. Kamu, bantu aku nanti," perintahnya, di pun pergi kembali keluar toko untuk membuka bagasi mobilnya. Aileen, bersitatap dengan adik dan ibunya. Dia masih tidak percaya, bahwa Tuhan memberikan ganti secepat ini. Kemudian dengan cepat kotak-kotak kue itu kembali masuk ke dalam mobil. Mungkin jika para kotak itu bisa berbicara, mereka akan mengeluh lelah karena harus di gotong kesana kemari. Setelah dua puluh kue itu berhasil keluar, lelaki itu membayarnya. Aileen tersenyum dengan sumringah. Dia mengantongi uang itu, dan ikut serta kedalam mobil sang penyelamat hidupnya. Siapa dia? Agam, ya, Agam Alderald, lelaki yang dingin dan juga kaku. Mungkin dia belum menemukan air untuk membasahi kanebo dihatinya. Agam, melakukan mobilnya kesebuah masjid besar. Bertepatan hari ini adalah hari Kamis, tentu banyak dari kaum muslim yang berpuasa bukan? Dia akan membawa semua kue itu, dan membaginya di sana. Atau memberikannya pada takmir masjid sehingga semua jamaah bisa merasakan kuenya. Setelah tiba, Aileen dengan wajahnya yang masih kucel pun kembali membantu menurunkan kue itu. Lelah, tapi dia tidak mau lagi mengeluh. Hari ini hampir berakhir. Dia sudah berhasil, dia tidak akan hanyut dalam kesedihan sesaat itu. Beberapa orang membantunya sampai semua kue itu habis. Hanya tersisa satu kue, dan itu akan Agam berikan pada sang ibu. Karena tujuannya datang adalah untuk itu. Ibunya selalu membeli kue itu, seperti tidak ada bosan-bosannya. Mereka berterima kasih pada Agam juga Aileen. Mendoakan bahwa mereka selalu hidup bahagia dan dalam lindungan-Nya. Berharap agar mereka selalu menjadi keluarga yang bahagia. Aileen, mencebik dengan mengulum senyum. Namun, Agam, lelaki itu hanya diam dengan wajah yang biasa saja. Setelah itu, mereka kembali ke mobil. "Ngapain ikut naik?" sergah Agam, dengan raut wajah yang terlihat sangat garang. "Pulang, aku kan datang sama kamu, jadi harus pulang bareng juga kan?" jawabnya dengan kikuk. "Nggak! Turun! Enak aja, rumahku dekat, dan tokomu jauh! Turun!" usir Agam. "Ayolah, please. Aku akan bayar nanti, dengan— kue lagi," kikih Aileen. Dia justru tertawa, Karen harus membayangkan dia membuat kue lagi setelah seharian berkutat di dapur. Agam tidak menjawab, dia pun mulai menghidupkan mesin mobilnya dan melesat. Membiarkan Aileen tetap pada kursinya. Saking lelahnya, gadis itu tertidur. Benar, Aileen sangat lelah, pikiran, raganya baru saja mendapatkan serangan yang tidak terduga. Bahkan sampai malam dia juga belum sempat untuk mandi. Namun, rasa lelahnya kini terbayarkan. Berkat kehadiran Agam yang bak dewa penolong untuknya. Meskipun dia sangat menyebalkan dan juga sangar. Namun, satu perbuatannya akan selalu Aileen ingat. Bahwa dia pernah menjadi pahlawan untuk usahanya. Yaitu hari ini. Selanjutnya...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN