Bab 48
Selama ini, seumur hidup Aileen. Gadis itu tidak pernah merasakan jatuh cinta, bahkan hanya tertarik dengan lelaki saja dia tidak bisa merasakan keseriusan itu. Pertama kali melihat perubahan dari Darren, gadis itu hanya merasa kagum.
Sebuah perjalanan panjang yang ternyata bisa merubah lelaki itu, juga merubah Aileen. Menjadi lebih peka terhadap perasaannya sendiri. Termasuk dengan menyukai atau bahkan mencintai seorang lelaki yang baru pertama kali dia temui.
Bukan hanya kagum, atau sekedar tertarik. Namun, benar-benar menyukai dan jatuh cinta. Akan tetapi, ternyata cintanya telah salah. Aileen memilih lelaki yang salah. Ketika Darren datang dengan ribuan kasih sayang dan juga perhatiannya. Dia justru memilih lelaki lain.
Bahkan memaksa dirinya untuk menerima Darren menjadi pasangannya saja sangat sulit untuk Aileen lakukan. Gadis itu tidak bisa berpaling dari sosok Agam yang dingin, kasar dan juga cuek. Tidak tahu apa yang dia lihat dari lelaki itu. Namun, semua perasaan yang dia miliki sudah ia limpahkan pada lelaki itu.
Sekalipun dia belum sepenuhnya memiliki kesempatan dekat dengan pria tersebut. Akan tetapi Aileen, sudah menutup semua pintu hatinya untuk lelaki lain sejak dia menyadari bahwa perasaannya selama ini adalah cinta.
Pagi buta hari ini, Aileen benar-benar di buat kecewa olehnya. Dengan berderai air mata dan segudang luka yang dia dapatkan semalam. Ia terus berjalan, menjauh dari rumah itu, dengan kaki kosong. Dia memilih untuk melepakan heels yang ia kenakan. Menunggu ojek yang telah dia pesan, tanpa menoleh kebelakang dan berharap kejadian layaknya malam kemarin terjadi.
Namun, Aileen yakin bahwa Agam tidak akan mengejarnya saat ini. Sandiwara, hanya itu yang dapat dia ingat. Satu kata yang merenggut tidur malamnya. Aileen sama sekali tidak bisa memejamkan matanya. Dia bahkan menangis sepanjang malam, kala mengingat semua perlakuan manis yang pernah dia dapat sebelumnya.
Perhatian, dan kedekatan yang sangat singkat. Harus hancur karena dendamnya di masa lalu. Jika saja Aileen adalah wanita yang kuat. Tentu dia akan berbohong dan mengatakan bahwa dia akan mendukungnya agar bisa selalu bersama dengan lelaki itu.
Namun, rasa cinta Aileen sangat tulus. Dia tidak ingin lelaki itu memilih langkah yang akhirnya membuat penyesalan di akhir nanti. Aileen sangat tahu, rasanya menyesal itu sakit. Dia juga tahu bahwa apa yang sudah kita pilih tidak bisa kita kembalikan atau ulang lagi. Karena saat ini dia menyesal.
Satu penyesalan yang membuat dia hampir gila. Menerima Darren menjadi kekasihnya. Itulah yang kini, menjadi sebuah hal yang tidak dapat dia rubah. Mungkin mereka bisa memutuskan hubungan itu. Namun, rasa benci akan menggantikannya. Mereka juga tidak akan kembali menjadi sahabat sperti dulu lagi. Aileen sangat yakin itu.
Beberapa saat menunggu, ojek itu datang. Motor matic berwarna hitam berhenti tepat di depan Aileen. Membuka helmnya dan menyapa gadis itu dengan senyumnya. Namun, Aileen sama sekali tidak bisa menarik sudut bibirnya dengan lues. Dia tersenyum hanya sebagai formalitas saja.
“Nona Aileen kan?” gadis itu mengangguk. Lelaki itu memberikan helm pada Aileen, dan Aileen pun naik. Setelah itu, sopir motor itu melajukan kendaraannya.
Di belakang, Agam berusaha untuk memanggil wanita itu. Akan tetapi sudah terlambat. Aileen sudah pergi meninggalkan lelaki itu. Agam bergegas untuk kembali dan mengeluarkan motornya. Sialnya ban motonya kempes.
Ia kesal dan menendang rodanya. Kemudian dia pun mengeluarkan mobil miliknya. Masih sangat pagi untuk lelaki itu marah. Menyesal? Mungkin Agam punya alasan kenapa dia ingin mengejar Aileen.
Sang ibu keluar ketika mendengar kegaduhan di luar. Namun, mobil laki-laki itu sudah keluar dari halaman rumahnya. Alma di buat kebingungan oleh anaknya sendiri. Mereka baru saja berbaikan, dan kini anaknya marah tanpa diketahui penyebabnya oleh sang ibu.
“Bu, Agam kenapa, ya?” tukas Alma pada Murti. Dia telah menggelindingkan rodanya menuju dapur.
“Mungkin marahan sama Nona Aileen, Nyah. Terus ngejar Nona Aileen,” jawab Murti yang sibuk mengupas bumbu-bumbu.
“Aileen? Dia di sini? Kapan?” Murti membalikkan badan dan duduk di sebelah sang majikan. Dia tidak tahu kalau bahkan majikannya tidak mengetahui perihal Aileen yang menginap.
“Nyonya tidak tahu? Soalnya tadi pagi, subuh-subuh nona Aileen itu ambil baju, terus masuk kamar. Lalu pergi gitu. Pamit sama ibu,” terangnya.
Alma mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah katapun. Namun, senyum misterius terlihat di wajahnya. Kemudian, dia bergeleng. Usai itu, ia pun pergi, ke dalam kamarnya mencoba untuk menghubungi anaknya.
Di sisi lain, Aileen sudah tiba di rumahnya. Dia langsung masuk begitu melihat pagar rumah dan juga pintu yang tidak dikunci.
“Aileen? Kamu dari mana, astaga. Bikin ibu cemas, aja,” sergah sang ibu yang melihat anaknya kusut, layu, dan kucel layanya baju yang baru di keringkan.
Aileen hanya tersenyum dengan memperlihatkan deretan giginya, memeluk sang ibu, kemudian melepaskannya dan langsung masuk ke kamar, tanpa menjawab petanyaan dari sang ibu. Dewi mengekor dan berusaha untuk mengetuk pintu, agar gadis itu mau keluar.
“Sudah, ah, Bu. Mungkin dia Lelah, atau berantem dengan Darren. Anak muda kan gitu kalau pacaran, berantem, terus nanti juga baikan,” tutur Sastro.
“Tapi, ibu khawatir, Pak. Dia terlihat pucat sekali, terus lemes, gitu.” Sastro berusaha menenangkan istrinya. Mengatakan bahwa anaknya baik-baik saja.
“Nanti siang aja, di coba lagi. Ini masih pagi, tidak enak kalau kedengaran tetangga, ibu teriak-teriak,” tuturnya.
Dewi pun mengalah, dia kembali melanjutkan pekerjaannya dengan sesekali menatap pintu kamar anaknya. Tidak lama dengan itu, pintu rumah itu sudah terketuk. Dewi, mengernyitkan alisnya. Siapa yang bertamu sepagi ini, bahkan belum genap pukul enam pagi.
Wanita itu berjalan menuju arah pintu dan membukanya. Dia terkejut Agam sudah berdiri di depan pintu dengan deru napas yang sangat berat. Padahal jelas di sana terparkir mobil milik lelaki itu.
“Agam? Kenapa, nak? Tumben pagi-pagi sudah datang,” sapa Dewi dengan tanda tanya yang besar diatas kepalanya.
“Tante, Aileen ada? Boleh saya bertemu dengannya?” Dewi menoleh ke arah ruang tengahnya bermaksud untuk melihat pintu kamar Aileen yang bahkan tidak terlihat dari tempatnya berdiri saat ini.
“Ada, dia baru pulang, tapi kayanya dia balik tidur, deh. Mau Tante bangunin?” Agam lesu, bahunya menurun dengan raut wajah kecewa juga penuh penyesalan.
“Tidak perlu Tante, saya datang lagi nanti siang. Saya permisi,” pamit Agam. Dewi kian keheranan dengan pria itu. Sudah datang dengan tergesa-gesa, bahkan seperti lari marathon, begitu tiba malah balik arah.
Dewi hanya bisa bergeleng, dia kembali ke dapur untuk melanjutkan aktivitasnya. Membuat sarapan untuk Ayana dan juga bekal makan siang untuk gadis itu.
“Siapa, Bu?” sahut sastro yang sibuk membersihkan kacamatanya. Dengan membaca koran sembari menemani istrinya memasak.
“Agam, Pak. Anak kita kenapa, ya, Pak? Aku takut mereka berantem,” ujar dewi, dia duduk di depan suaminya. Terpaut dengan meja makan yang ada di sana.
“Berantem sama siapa? Kata kamu Agam yang datang, anak kita kan tidak ada apa-apa sama dia,” tukasnya. Melirik istrinya lalu kembali fokus dengan koran yang ada ditangannya.
“Ish, Bapak. Bagaimana kalau mereka bertiga ada hubungannya. Lagian, bapak tiap hari baca koran emang nggak tahu tranding topik sejak kemarin?” sungut Dewi yang di buat kesal pagi-pagi. Karena lelaki selalu berpikir pendek.
Tidak menerawang jauh dan menyangkut pautkan satu dengan yang lain. Lelaki paruh baya itu pun menggaruk kepalanya. “Tidak ada hubungannya dengan Aileen, bu. Itu masalah Agam dan juga ayahnya Darren. Udah, ah, jangan urus urusan orang lain. Mending cepetan masak, bapak lapar. Mau berangkat bareng Ayana,” perintahnya.
Membuat Dewi kian jengkel, meski begitu wanita itu juga menurut. Tidak akan selesai berdebat dengan lelaki semacam Ayah dari Aileen dan juga Ayana. Pembicaraan itu hanya akan berputar-putar seperti bianglala.
Pukul tujuh pagi, rumah Aileen sudah sangat sepi. Dewi membuka tokonya. Ayana ke sekolah dan sang ayah yang juga harus membuka toko toserbanya. Aileen berada di rumah sendirian. Dia mengunci diri di kamar. Bahkan saat sarapan gadis itu juga tidak keluar.
Ketika sang ibu akan pergi ke toko pun, Aileen sama sekali tidak menjawab panggilan sang ibu. Dewi pikir bahwa anakya tidur. Namun yang sebenarnya terjadi Aileen, dia….