Bab 47
Di sisi lain, kediaman Indra sudah sepeti tidak berpenghuni sejak beberapa hari lalu. Sejak kejadian demi kejadian, pemberitaan yang membuat seluruh keluarga itu malu.
Hanya Darren yang berani keluar, itupun karena terpaksa karena dia harus berkuliah. Di kampus pun dia tidak luput dari ejekan para teman-teman perempuannya. Bahkan para teman lelakinya pun seakan ikut serta nyiyir dengan kehidupannya.
Dengan teganya mereka melukai hati Darren. Begitu mudahnya mereka melupakan kebaikan lelaki itu saat semua masih baik-baik saja. Mereka tahu bagaimana royalnya Darren dulu. Bagaimana dia sangat baik kepada semua orang di sana.
Namun, hanya karena satu berita yang menyebar luas. Semuanya seakan lenyap dan hilang begitu saja. Semua ikut terbawa oleh angin. Andai kebaikan itu terlihat dan melekat dalam tubuh mereka yang bisa menerimanya. Pastilah hal ini tidak akan terjadi.
Darren yang sejak pukul setengah sembilan sudah tiba di rumah terus berusaha menghubungi kekasihnya. Benarkah di saat kondisinya sedang terpuruk. Aileen tidak menjawab panggilan darinya.
Semua memang kesalahannya, tetapi, ini terjadi karena Darren benar-benar tertekan dan seakan tersingkir oleh kehadiran Agam. Lelaki yang juga menyingkirkan kehidupannya yang sempurna dan tiba-tiba menjadi tidak ada apa-apanya saat ini.
Darren dan Agam sangat berbanding jauh. Di usia Agam yang seumuran Darren dulu. Dia sudah bekerja keras setiap hari. Sepulang dari kampus selalu ke kantor sang ibu untuk bekerja.
Namun, Darren sepulang dari kampus hanya akan mengikuti seminar dan juga acara-acara yang masih bersifat sebagai pembimbing. Darren tidak berani terjun secara langsung ke dalam bidang yang akan dia geluti, sampai kemampuannya terasah dengan benar.
Akan tetapi, Agam. Dia bahkan tidak memiliki ilmu dasar untuk masuk ke perusahaan sang ibu. Dia belajar sembari bertindak. Sembari berjalan hingga dia menguasai bidang itu saat ini.
Kedua anak yang berbeda sekalian satu darah sang ayah. Mereka tetap berbeda. Namun, keduanya juga memiliki sikap dan sifat yang berbeda.
Kini Darren berbaring dengan lesu di atas bed kamarnya. Terus menggenggam ponselnya. Berharap Aileen mengirim pesan padanya.
"Kamu memberikan aku kesempatan kedua. Tapi, kamu mengabaikanku saat ini, Leen," rintih Darren.
Sungguh, pikirannya buntu dan sesak di sana. Darren hanya ingin semuanya segera usai. Dia tidak bisa melihat semuanya berantakan seperti ini. Ibunya yang terus menangisi kondisi sang ayah. Juga dirinya yang memikirkan kondisi sang ibu juga semua penilaian orang di luar sana.
"Aileen! Kamu hanya memberikan harapan palsu! Aku benci denganmu! Aku benci!" teriaknya. Dia melemparkan ponselnya ke dinding. Terpental dan jatuh ke lantai hingga hancur menjadi beberapa keping.
Darren emosi, dia marah dan mengepalkan tangannya. Ia bertekat untuk menemuinya di rumah. Namun, ia pun berpikir jika sampai dia kerumah Aileen, dan orang tuanya tahu bahwa mereka bertengkar pasti orang tua Aileen mengira bahwa Darren tidak bisa menjaga Aileen dengan baik.
Darren tidak mau itu sampai terjadi. Lelaki itu tetap ingin menjalin hubungan dengan Aileen sampai kapanpun. Dia harus menjadi pemilik dan pemenang hati gadis itu sampai akhir.
"A!! Ini gila! Ini membuatku, gila!" Darren terus berteriak layaknya orang yang depresi berat.
*
Rumah Agam. Dua orang yang masih duduk berhadapan dengan secangkir cokelat yang bisa menghangatkan tubuh mereka.
"Boleh aku berkata jujur?" Aileen menatap Agam. Dia menyahut dan meminta Agam untuk mengatakan apa yang ingin dia ungkapkan.
"Sebelum kamu masuk ke kamarmu tadi siang. Aku mendengar pertengkaran kalian. Aku tahu kalau kamu memiliki hubungan dengan lelaki itu. Kamu tahu siapa yang aku maksud." Agam menatap Aileen. Dengan intens, dan tidak berpaling sedikitpun.
Membuat jantung Aileen seakan ingin keluar dan lepas dari saraf-sarafnya.
Aileen mendengar dengan baik. Dan juga tidak memalingkan wajahnya. Menyelami luasnya sorot mata Agam yang begitu menusuk jantungnya. Terasa sakit, tetapi Aileen memilih untuk tetap terus menatapnya.
"Aku ingin merebutmu dari dia. Sebagai wujud balas dendamku pada mereka. Aku menciummu karena aku tahu dia belum melakukannya. Aku berniat buruk padamu karena aku membenci dia dan semua yang berhubungan dengannya."
Mata Aileen sekarang berkaca-kaca. Kini rasa sakit itu kian menguasai dirinya. Namun, Aileen belum mau membuka suara. Dan tidak ingin memalingkan tatapannya.
"Semuanya dengan kepura-puraan. Sikap baik dan manis yang kamu anggap bintang itu hanya sebuah sandiwara."
Kini Aileen tidak sanggup menahan air matanya yang mulai menetes secara perlahan. Agam terus menatapnya.
Tangan Aileen bergetar. Sungguh kenyataan ini jauh lebih menyakitkan ketimbang pertengkarannya dengan Darren. Ucapan Agam dan semua penuturannya membuat Aileen merasa sesak dalam dadanya.
Satu kata yang tidak ingin dia percaya. Sandiwara' dia berharap bahwa semua perlakuan yang baru saja dia dapat itu nyata. Bukan salah satu dari rencana balas dendam.
"Apa aku menyakitimu? Aku sudah katakan bahwa aku iblis. Kamu salah menganggap aku bintang. Kamu tidak tahu siapa aku. Aku adalah lelaki jahat yang tidak punya hati," timpal Agam lagi dan lagi.
Seakan sangat berniat untuk menghancurkan kepercayaan dan juga perasaan Aileen. Sungai di permukaan pipi Aileen semakin deras dan tidak terhentikan. Dia mencengkram cangkirnya, dengan kuat.
"Jauhi aku. Aku yang memintamu datang, maka, aku juga yang akan memintamu untuk pergi. Maukah kamu melakukannya?"
Aileen bergeleng. Dia terus menggenggam erat cangkirnya hingga— ya, cangkir itu pecah dalam genggaman tangan Aileen.
Pecahan cangkir keramik itu terus menusuk telapak tangan Aileen hingga berdarah-darah.
Namun Aileen seakan tidak merasakan kesakitan apapun. Dia hanya terus menatap Agam tanpa berkedip dengan air mata yang terus berjatuhan.
Agam, mencekal tangan Aileen. Berusaha untuk menghentikan pendarahan kecil itu. Dia merobek bajunya dan menekan dengan dalam luka Aileen.
Gadis itu sangat marah, gadis itu ingin menampar dan juga mencabik lelaki yang kini di hadapannya. Tidakkah dia tahu bahwa selama ini Aileen juga berusaha untuk tetap bisa dekat dengan lelaki itu.
Dia mengagumi dalam diam. Dia menyukai dalam diam tanpa Aileen sadari. Hingga malam ini dia yakin bahwa dia telah jatuh cinta pada sosok iblis yang ada didepannya. Dia jatuh cinta dengan lelaki yang mempermainkan kehadirannya.
Setelah rasa nyaman itu datang. Haruskah pergi begitu saja? Bahkan Aileen belum mendapatkan hati pria itu. Dia baru akan mencobanya. Dia baru menarik dan mengulur agar lelaki itu sadar. Agar Aileen juga tahu apakah Agam mengharapkannya atau tidak.
Namun, kenyataan selalu saja pahit, dari pada khayalan. Kenyataan selalu saja membuat luka yang perih. Ketimbang sebuah angan-angan yang bisa disetel sesuai dengan keinginan.
"Apa kamu gila?!" hardik Agam. Dia telah selesai membalut luka Aileen. Namun Aileen, seakan terhenti di satu titik di mana Agam mengatakan sandiwara'.
"Hei! Aileen! Kamu baik-baik saja? Hei!" Agam menggoyangkan tubuh gadis itu dengan kencang.
Tatapan kosong Aileen tertuju pada Agam yang terus memanggil namanya.
"Kamu mencemaskanku? Ini yang kamu namakan sandiwara? Ini yang kamu sebut dengan rekayasa? Aku bodoh, aku memang gila sudah jatuh cinta pada lelaki sepertimu. Bodoh, sungguh aku sangat bodoh."
Aileen tersenyum kecut. Dia keki dengan kehidupannya. Ada lelaki yang sangat mencintainya di belakang. Namun dia mengejar lelaki yang ada didepannya dan terus meninggalkan dia dengan langkah lebarnya.
"Seharusnya aku tahu, bahwa Darren jauh lebih hangat darimu. Tapi, apa kamu tahu bahwa cinta tidak bisa memilih dengan siapa dan pada siapa dia ingin di cintai? Agar kamu tahu sekalian. Bahwa aku jatuh cinta padamu dan itu salah. Ini yang mau kamu dengar kan? Kamu mau membuatku terluka karena aku bagian dari mereka? Kamu sukses, terima kasih untuk sejumput rasa yang pernah hadir ini."
Aileen bangkit dan menuju kamar tamu. Tidak mungkin dia pergi saat ini dengan baju minim lagi, dan dalam guyuran hujan lagi. Dia akan kembali ketika fajar menjelang.
Hatinya sakit, sungguh perih dan teramat sakit. Remuk dan tidak tergambarkan lagi. Begitu menyakitkan mencintai seseorang yang tidak pernah mencintai balik.
Agam terdiam. Sudah tepatkah pilihannya? Benarkah dia mendekati Aileen karena balas dendam?
Jika benar, lalu kenapa ada rasa nyaman ketika berada di samping gadis itu. Lalu kenapa dia panik dan cemas akan kondisi Aileen, tadi ketika berada di halte, juga baru saja ketika Aileen terluka. Banyak kesempatan yang sudah Agam lewati dengan kecemasannya memikirkan gadis itu.
Benarkah semua ini hanya sandiwara? Atau Agam yang tidak pernah bisa membedakan mana itu cinta dan sebuah ambisi.
Lelaki itu terdiam cukup lama. Dia menatap pintu kamar Aileen yang tertutup rapat. Berharap gadis itu mau kembali keluar dan menemaninya.
Bukankah itu hal yang mustahil. dia sudah melukai Aileen lalu masih berharap gadis itu simpati pada dirinya? Agam yang sangat egois.
Pria itu tidak beranjak dari kursi, semalaman dia berada di sana. Hingga kumandang adzan subuh terdengar. Aileen sudah keluar dari kamarnya. Dia tidak menoleh ke arah di mana Agam terduduk saat ini. Dengan mata sayu dan lelah. Dua hari dia tidak tidur. Dia hanya terlelap sebentar kala berada di rumah Aileen.
Aileen kembali karena sudah mendapatkan bajunya kembali. Dia sempat menyapa Murti. Kemudian dia kembali ke kamar.
Agam terus menatap ke mana langkah kaki Aileen pergi. Setiap gerakannya tidak luput dari pandangannya.
Tidak lama kemudian dia keluar dan sudah rapi dengan baju yang sama. Saat malam ia kenakan. Aileen pamit pada Murti. Senyumnya sangat manis.
Gadis yang sangat hebat. Mampu tersenyum walau hatinya penuh dengan luka.
Dia melewati Agam yang terus menatapnya. Kakinya ingin berlari mengejar dan kembali menahannya. Namun, hatinya terus menahan dirinya agar tetap duduk ditempat.
Aileen pergi, keluar dari rumah megah itu. Berjalan sendirian di tegah fajar. Dia akan memesan ojek online. Begitu ponselnya di hidupkan semua pesan dari Darren, semua panggilan dari pria itu masuk.
Tidak terhingga berapa banyak yang dia terima. Namun, itu sangat banyak.
Sampai—