Bab 7: Pesona Agam

1075 Kata
Bab 7: Aileen dan Ayana berpamitan pulang ketika usai dengan makan siang yang luar biasa nikmat itu. Tidak hanya itu, Indra dan Almira memberinya banyak oleh-oleh. Buah-buahan, juga lemon yang sehat untuk membuat kue yang sangat enak. Lemon cake kesukaan Indra. Semua tangan mereka penuh dengan oleh-oleh, hingga keduanya cekikikan di tengah jalan karena tingkah konyol mereka. Mengantar kue serasa merampok rumah orang kaya yang tidak lain adalah rumah sahabatnya sendiri. Aileen dan Darren, rasanya baru kemarin mereka tumbuh menjadi remaja yang hanya bermain-main dan kelayapan tidak jelas. Saling merangkul bahu satu sama lain jika tengah nongkrong, bahkan bolos sekolah bersama pun pernah mereka lakukan. Namun, Darren yang selalu menolak, tetapi bukan Aileen jika dia tidak bisa membuat lelaki itu ikut dengannya. Banyak sekali hal yang ditawarkan oleh Aileen agar Darren ikut tersesat dalam dunianya. Seperti berjanji akan membawakan tas saat berangkat dan pulang sekolah, atau pun membawakan bekal makan siang hari esok dan masih banyak lagi rayuan gadis itu pada Darren. Kini mereka bertemu kembali rasanya hal aneh bagi Aileen. Terlebih, Darren sangat jauh berbeda dari sebelumnya. Dulu memang lelaki itu sangat bau, kecut dan seperti tidak pernah mandi, kulitnya cokelat, gelap, dan kusam. Namun, sekarang dia benar-benar glow up. Sungguh perubahan yang tidak main-main. Setelah tiba di rumah, mereka seperti berpesta. Bukan langsung memakannya tetapi menyimpannya pada mesin pendingin atau kulkas. Merapikan dan membuatnya lebih sesak di dalam Setelah itu, Ayana harus kembali mengerjakan tugas. Sementara Aileen, dia kembali ke toko untuk membantu sang ibu. Membersihkan tokonya lagi, sampai sore hari tiba, dia akan tetap berada di toko. Aileen, bukan gadis yang beruntung bisa masuk ke perguruan tinggi. Akan tetapi, dia selalu berusaha agar tidak terlihat bodoh dihadapan mereka yang memiliki ilmu dan mengemban ilmu di kampus-kampus besar. Untuk bersekolah Ayana tidak kerepotan saja sudah sangat membuat Aileen bahagia. Baginya setinggi apapun pendidikan yang dia raih, hasilnya akan tetap sama. Wanita akan tetap berada di rumah mengurus anak dan suami. "Ibu tahu tidak kalau ternyata, yang memesan kue tadi Chasel! Bicang tengil bau kecut itu!" Dia bercerita dengan penuh semangat, wajahnya yang penuh dengan senyum seakan benar-benar menularkan kebahagiaan bagi siapapun yang melihatnya. "Oh, ya? Kamu senang dong bertemu dengan dia?" Goda sang ibu. Dia sibuk mencuci peralatan yang usai dia pakai. Dewi berhenti membuat kue, ketika jarum jam sudah berada di angka tiga. Mereka akan menjual kue yang sudah jadi, sampai habis, jika hari itu tidak semua terjual maka, mereka akan memberikannya pada orang-orang yang jauh kurang beruntung. Rugi? Tentu tidak, buktinya selama ini mereka tetap beroperasi dengan baik. Tetap bisa hidup hasil dari toko kue juga toko percetakan milik sang Ayah. "Bu, dia beda lho. Kenapa bisa begitu, ya? Chasel jauh terlihat lebih tampan. Tapi, masih cakep lelaki yang malam-malam beli lemon cake Ai, sih," kikihnya. Aileen, kembali mengingat lelaki itu. Di aman dia terus menatap matanya juga bibir seksi pria itu. Gadis ini memang sangat bar-bar tetapi tetap tahu di mana dia harus bersikap. "Kamu kalau lihat lelaki bening sedikit memang tidak pernah bisa diem. Jika bisa, semua kamu embat, dasar play list!" Aileen tertawa terbahak-bahak dengan memukul lengan sang ibu. Air mata sampai keluar dari sudut matanya. Bagaimana tidak, ibunya mengatakan dia sebagai play list. Seharusnya play girl, bukan dua kata yang salah kaprah itu. "Bu, sudah, ya. Ai, jauh lebih suka ibu maki-maki dengan bahasa ibu sendiri. Tidak usah berlagak bule-bulean itu salah ha—ha—" Perut gadis itu terasa kaku. Namun, tidak dengan sang ibu, dia justru aneh melihat anaknya tertawa tanpa henti. Wanita tua itu hanya bisa menggeleng dengan lemah. Kemudian berlalu, kedepan. Mendengar ada lonceng yang berbunyi. Akan tetapi Aileen, dia tidak berhenti tertawa. "Ibu, ibu. Ada-ada saja," gumamnya ketika dia merasa lelah dengan tawanya. *** Di perusahaan yang besar pencetak ponsel pintar. Sudah pasti tahu bagaimana kayanya pemilik kantor, dan usaha tersebut bukan? Namun, gayanya tidak seperti kekayaan yang dia miliki. Ke mana-mana selalu menggunakan motor sport. Jika dia tidak menggunakan jas pun, lelaki ini akan menggunakan motor untuk ke kantornya. Kini dia bertanggung jawab penuh atas perusahaan itu. Sang ibu sudah cukup berjuang mati-matian selama ini. Kini saatnya dia yang membahagiakan wanita satu-satunya dalam hidup. Agam, lelaki itu mengecek semua berkas yang akan dia gunakan untuk rapat beberapa menit mendatang. Semuanya sudah siap dan sangat rapi. Begitu memasuki ruangan meeting, pria itu selalu terlihat berwibawa, berkharisma. Meskipun wajahnya terlihat kaku, jahat dan tanpa ampun. Seperti tidak ada bekas guratan senyum di wajah itu. Memulai percakapan dengan menjelaskan cara kerjanya, untuk m yakinkan para pemegang saham. Mereka membahas banyak hal, sampai launching iklan yang akan dilaksanakan. "Kami ada satu rekomendasi perusahaan yang baik dalam bidang iklan, Tuan. Saya akan memberikan laporan pada Anda, nanti." Agam hanya mengangkat tangannya menandakan dia menyetujuinya. Hingga jarum jam sudah berada tepat diangka dua. Lelaki itu mengakhiri pertemuannya. Satu persatu membubarkan diri. Ashraf dia adalah lelaki kepercayaan sang ibu sejak dulu. Pria itu juga meninggalkan ruangan. Namun, Agam dia tetap berada di kursinya. Menyandarkan kepalanya pada headboard kursinya dan memijit pangkal hidungnya yang terasa berat. Matanya gelap seperti langit malam, indah dan konyol. Seketika dia tersadar dan membuka matanya. "Astaga! Gadis gila," gumamnya. Dia mengingat di mana dia membeli kue yang dicari oleh Alma. Bukan kesan yang baik untuk Agam, tetapi dia menyukai matanya yang memang benar-benar seperti langit malam. Agam kembali ke ruangannya, dan di sana sudah banyak sekali berkas yang menunggu tanda tangan darinya. "Tuan, hari ini, Anda ada jadwal untuk mengisi kelas di kampus. Apakah Anda lupa? Hanya tiga puluh menit," tutur Ashraf. "Oh— s**t! Apakah aku sudah terlambat?" Dengan tangan yang lincah memainkan bolpoinnya yang menari m mbentuk sebuah tanda tangan indah di atas kertas. Dia bertanya pada Ashraf. Agam malas menemui para mahasiswa yang selalu heboh dan hanya sedikit dari mereka yang mau mendengar penjelasannya dengan baik. Dia bukan dosen, tetapi lebih sering mengisi seminar, dan juga pengalaman suksesnya di waktu yang masih terbilang muda untuk saat ini. "Kurang sepuluh menit lagi, Tuan." Tak! Agam meletakkan penanya dan dia pun menyahut kunci yang ada di sebelah tangannya. Motor andalan yang akan menemani perjalanannya. Mengganti kembali bajunya dengan yang lebih santai. Toh, di kampus tidak semua berpakaian formal. Terpenting adalah pakaikan itu sopan untuk dia kenakan. Agam mengendarai kembali motor sport miliknya dan melasat meliuk di atas aspal dan padatnya jalan siang ini. Tepat di menit ke sepuluh dia tiba di kampus besar Mahera. Kampus elit khusus untuk mahasiswa dan mahasiswi yang berada di kelas atas. Agam menyapa mereka semua, tidak ...
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN