Bab 8: Seksi

1071 Kata
Bab 8 Seperti layaknya dosen atau siapapun yang memasuki ruangan. Lelaki dingin itu menyapa para mahasiswanya. Tidak sedikit dari mereka yang terkagum-kagum pada pria itu. Kebanyakan dari mereka selalu mencari perhatian Agam, dengan lirikan matanya bahkan ada yang memandang tanpa malu, tidak memindahkan netra matanya sama sekali, dari awal hingga akhir sesi pertemuan. Namun, siapa sangka jika lelaki yang mereka dambakan adalah lelaki yang pemarah, pemabuk, dan juga tidak segan melukai mereka jika dia terganggu. Agam, tidak bisa mengontrol emosinya yang berlebih. Jika, hanya sedikit kesalahan tentunya tidak akan membuatnya naik darah. Akan tetapi, jika sudah menyangkut ibunya. Sudah pasti dia akan turun tangan. "Baiklah, aku rasa sudah tiga puluh menit aku di sini. Semoga kita bisa bertemu di lain kesempatan. Selamat sore," ucapnya. Ia pun keluar dari ruangan. Di susul satu persatu dari mereka yang juga keluar dari ruangan. Namun, mulut wanita selalu tidak bisa diam. Mereka berkasak-kusuk membicarakan pemateri hari ini. Itu adalah hal yang biasa buat Agam. Dia sama sekali tidak peduli dengan semua itu. *** Di rumah Indra, lelaki itu tengah menikmati senja. Usianya yang sudah tua, memang sudah seharusnya dia menikmati hari bersama istrinya. Setelah siang tadi, dia tidak kembali ke kantor. Indra tidak ingin jauh dari istrinya saat ini. Bercengkrama dengan menikmati secangkir teh hangat, sedikit uap yang mengepul dan rasa hambar. Tentu saja, karena manis akan membuat orang tua diabetes. "Pa, menurutmu apakah Alma akan memaafkan kita?" Satu pertanyaan Almira membuat Indra kehilangan senyum sore itu. Dia menatap istrinya dan membelai wajah yang seakan awet muda itu. Namun, entah bagaimana perasaannya ketika menatap wajah istrinya saat ini. Apakah tidak ada sedikitpun rasa sesal dalam hatinya telah melukai wanita dengan wajah yang sama? Hanya saja, Alma tidak memiliki tahi lalat pelipisnya. "Kenapa kamu memikirkan itu lagi? Aku yakin dia bahagia dengan lelaki lain. Jalan-jalan ke luar negeri, ataupun bercinta dengan banyak pria," tuturnya. Almira tersenyum tipis. Saat itu, Darren lewat dan hanya mendengar lirih suara itu. Kemudian mereka membahas hal lain yang tidak akan mengungkit masalah di masa lalu. Bagi Indra itu adalah masa kelam, dia tidak bersalah sama sekali, Alma lah yang mengkhianati dirinya. Begitu setidaknya yang ada dalam benaknya. "Lusa, Darren ikut seminar dan bekerja langsung. Tidak, maksudku ikut pelatihan di lapangan langsung. Sebenarnya tidak hanya lusa. Tapi hari-hari jika ada seminar dan pelatihan, Darren ingin ikut," izinnya. Pria itu duduk di samping sang ayah dan tersenyum hangat pada kedua orang tuanya. "Terserah kamu, Nak. Kami selalu mendukungmu. Papa yakin, bahwa apapun pilihanmu itu adalah yang terbaik untuk semuanya," tutur Indra. "Mama juga begitu, Darren. Tidak banyak yang bisa dilakukan ibu, ketika anaknya sudah tahu mana yang baik dan tidak. Aku rasa itu pilihan yang bagus. Ketika nanti kamu lulus, kamu bisa langsung memegang kendali perusahaan, Papa." Senyum indah kembali merekah di wajah sang ibu. Dia memegang dan menggenggam tangan anaknya. Mencium telapak tangan anaknya. Menyalurkan kasih sayang padanya dengan perhatian yang luar biasa hebat. Harapan dan seluruh kepercayaan, dia curahkan pada dua lelaki yang kini berlomba menjaganya. Ya! Dua lelaki, berbeda dengan Alma yang hanya memiliki Agam seorang. Namun, kasih sayang pria itu jauh melebihi segalanya. Sesampainya di rumah, Agam tidak langsung menuju kamar ataupun dapur. Ruangan pertama kali yang dia tuju adalah kamar sang ibu. Membukanya dan masuk untuk sekedar melihat sedang apa ibunya. Tidak jauh berbeda dari hari sebelumnya, wanita paruh baya itu tetap memandang ke luar jendela. Agam tahu, ibunya sangat bosan. Ingin sekali lelaki itu membawanya pergi jalan-jalan, tetapi sore ini cuaca diluar sedang buruk. Macet, mendung yang sudah pasti akan hujan. Angin sudah berembus sangat kencang. "Ma? Melamun?" ucap Agam, ia mendekati dan memeluk kemudian mencium pipi sang ibu. Dari balik kursi rodanya. "Mama sudah minum obat?" sambungnya, dia menatap wajah Alma dari tempatnya berdiri. Membungkukkan badannya, untuk memberikan kehangatan pada sang ibu. "Kenapa kamu selalu itu yang kamu tanyakan? Kenapa selalu obat? Mama, bosan, nak. Kamu tahu bagaimana rasanya obat itu? Pahit, memuakkan!" Alma cemberut. Dia tidak ingin mengkonsumsi obat-obatan lagi. Bisa-bisa dia tuli. Sudah lebih dari sepuluh tahun bukan dia meminum obat yang sama. Entah bagaimana nasib ginjal dan anggota dalamnya. Namun, kesembuhan tidak juga kunjung dia dapatkan. "Ma, aku tahu. Tadinya aku ingin mengajak mama, keluar beli lemon cake, tapi hujan sebentar lagi turun. Besok saja, ya. Aku janji besok kita pergi, pagi-pagi sambil olahraga, ok?" Agam telah berpindah dari tempatnya. Dia kembali membuat lututnya sebagai penopang tubuhnya dan memegang tangan sang ibu yang anteng di atas pahanya. "Janji, ya Gam?" Pria itu mengangguk, dan mencium punggung tangan sang ibu. "Janji, Ma. Walaupun hujan, aku akan tetap ajak, Mama keluar. Kita cari Lemon cake, kesukaan Mama." Alma tersenyum lebar, dia senang. Ia akan menantikan hari itu tiba. Ingin melihat suasana luar yang sangat indah. "Sekarang Mama minum obat, lalu istirahat. Kita ketemu makan malam nanti, ya. Agam belum mandi," ucapnya. Tanpa senyum atau apapun. Laki-laki itu menghampiri balas, mengambil satu botol obat dan segelas air. Menuang satu kapsul dan memberikannya pada sang ibu. "Terima kasih, nak." Alma kembali memberikan gelas kosongnya pada anak semata wayangnya. Banyak harapan untuk sang anak. Namun, satu keinginan Alma. Agam bisa mendapatkan wanita yang baik, penyabar, penyayang, dan murah senyum agar bisa membuat lelaki itu tersenyum. Alma ingin melihat senyum di wajah anaknya. Dia tahu, bahwa dirinya menjadi beban untuk Agam. Seharusnya lelaki itu mungkin sudah menikah, atau kencan di waktu malam dengan kekasihnya. "Ya, sekarang Mama, istirahat. Jangan mencoba memanggil pelayan, untuk menurunkan, Mama. Lalu keluar kamar, sebelum Agam sendiri yang datang." Alma tersenyum. "Iya, nak. Sudah sana cepat mandi atau Mama akan pingsan mencium baumu." Berharap anaknya akan terkekeh, tetapi hasilnya juga nihil. Agam, hanya menarik satu sudut bibirnya dan berlalu pergi setelah memberikan kecupan di kening ibunya. Ma, seharusnya bisa yang bertugas menjaga Mama. Tanganmu sudah lelah mengurusku, hidupmu kamu habiskan untuk mengurus suamimu dulu. Lalu, kemana dia? Rasanya jika benar bertemu, aku ingin membunuhnya dengan tanganku, batin Agam. Ia berjalan menuju kamarnya tetapi pikirannya tetap bersama Alma. Begitu tiba di kamar, ia menghempaskan tubuhnya di atas ranjang dengan terlentang. Melepaskan satu persatu kancing bajunya. Bersiap untuk melatih otot-ototnya sebelum mandi. Kebiasaan jika pulang dari kantor dia akan menghabiskan waktu berjam-jam di ruangan gymnya dan akan keluar sebelum makan malam. Begitu setiap hari, tanpa absen. Tidak heran dari mana otot perut dan lengannya itu membentuk dengan sempurna. Hingga permukaan kulitnya lencir terkena keringat. Namun, Agam terlihat seksi dengan gayanya yang bak pank rock tersebut. Tatto di lengannya yang selalu tertutup dengan lengan panjang dari bajunya. *
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN