Bab 6 Alma dan Agam
Pagi ini seperti sebelumnya, sebelum berangkat ke kantor, dia selalu mengajak sang ibu berkeliling taman di belakang rumahnya. Melihat rerumputan hijau, serta serangga yang cantik berterbangan selalu bisa membuat Alma bersemangat, dan sejenak melupakan apa yang selama ini menjadi beban hidupnya. Bukan perkara gampang melupakan seseorang yang pernah mengisi hari-harinya selama bertahun-tahun dan harus putus di tengah jalan.
Berjemur di bawah sinar mentari pagi, menghirup udara segar yang belum terkontaminasi. Membuat jiwa-jiwa yang luluh lantah seperti terlahir kembali.
"Agam, kamu ingat ini hari apa?" tutur sang ibu, yang memegang lengan Agam. Lelaki itu meremas pelan pundak sang ibu.
"Lupakanlah ma, sekalipun aku ingat, aku tidak akan menjawabnya." Agam mengelus bahu sang ibu dengan lembut. Bagi Agam kasih sayang yang di berikan olehnya sejak dulu selalu membuat Agam luluh dan menuruti semua ucapan sang ibu.
"Kamu mengingatnya? Mama senang dengan jawabanmu, nak. Terima kasih masih mengingat hari bahagianya," lirih Alma.
"Aku akan mengambilkan sarapan untuk mama, dan minum obat." Agam hendak melepaskan tangannya, tapi Alma menahannya. Alma mendongakkan kepalanya untuk melihat si anak.
"Jangan pergi Agam, mama tahu itu alasan kamu. Apa kamu mau mengantar mama bertemu dengannya? Biar bagaimanapun dia ayah kamu Agam," tukas Alma.
Perlahan Agam melepaskan tangan Alma, ia berjongkok di depan sang ibu, menyandarkan kepalanya pada paha Alma.
"Seperti sebelumnya ma, aku tidak akan pernah mau mempertemukan mama dengan b******n itu. Sekalipun mama marah denganku. Aku tidak mau mama membuang air mata sia-sia hanya untuk lelaki seperti itu. Aku tidak mau melihat mama sedih, aku tidak mau melihat mama sakit. Percayalah dengan Agam, ma. Apa Agam belum cukup membuat mama bahagia?" ucap Agam. Alma mengelus rambut yang panjang di bagian tengah milik anaknya itu.
Sembari terus memikirkan apa yang dikatakan oleh Agam. Anak itu memang benar, tapi rasa rindu dan ingin bertemu selalu menghantui Alma, setiap malam, setiap waktu. Di tambah jika Alma mengingat kejadian menyakitkan dan berakhir pada Alma yang tidak lagi bisa berjalan. Alma selalu berdoa agar Tuhan memberikan ke ajaiban untuk dirinya agar bisa kembali melakukan aktivitas seperti biasanya.
"Baiklah, mama dengar itu setiap tahun. Mama akan bahagia jika anak mama yang telah dewasa dan tampan ini segera menikah, dan memberikan mama cucu, agar mama bisa selalu menimang bayi," tukas Alma.
Agam menarik wajahnya dan menatap Alma dengan tatapan yang ingin memprotes ucapan sang ibu.
"Ck, kenapa selalu berakhir seperti ini juga setiap tahun. Agam belum menemukan wanita yang baik untuk mama. Jika Agam sudah menemukannya pasti akan Agam bawa kesini dan berkenalan dengan mama," jelas Agam.
"Memangnya yang mau menikah itu mama atau kamu Agam? Kenapa harus baik dengan mama? Kamu itu cari istri bukan pengurus mama." Alma tertawa dengan kata-kata yang terlontar dari mulut Agam. Sembari mencubit hidung Agam gemas.
"Istri Agam itu, harus menerima mama, bisa menjaga mama saat Agam kerja. Menemani mama agar mama tidak bosan, dan juga bisa menghibur mama, supaya mama bisa melupakan laki-laki itu," terang Agam.
"Baiklah, kalau begitu biar mama saja yang Carikan jodoh buat kamu. Kata kamu yang dekat dengan mama 'kan?" kikih Alma.
"Bukan gitu ma--" Alma memotong ucapan Agam.
"Iya mama tahu, mama hanya bercanda. Mama doakan di mana pun, jodoh kamu berada dia adalah wanita yang sesuai dengan apa yang kamu harapkan. Tapi jangan lupa di balik kesempurnaan yang kamu inginkan. Pasti ada kekurangan yang mungkin kamu belum bisa menerimanya Agam. Maka, kamu harus berusaha untuk menerima kekurangan itu, karena tidak ada yang sempurna di dunia ini," tutur Alma.
"Iya ma, Agam akan ingat apa yang mama ucapkan. Sekarang Agam berangkat ya, sudah siang. Nanti akan ada rapat direksi dengan beberapa perusahaan," pamit Agam.
"Hati-hati sayang, jangan lupa makan siang, dan istirahat," pinta Alma.
Agam meninggalkan sang ibu di taman, seseorang akan datang untuk berganti menemani Alma di sana.
Agam keluar dari rumahnya menuju ke pintu utama, membawa motor sport kebanggaan miliknya dan melesat meninggalkan rumah, menuju kantor sang ibu yang kini di kelola olehnya.
*
Di kediaman Indra Jafri Kurnia, ruangan tengah dengan beberapa sofa model Belleza berwana silver menjadi icon yang indah di sana, dengan beberapa lemari kaca dan foto-foto terpampang indah di dinding. Satu foto yang menyorot perhatian Aileen, dengan tiga insan serta senyum merekah pada wajah mereka. Siapa lagi jika bukan Darren, Indra dan Almira.
Aileen dan Ayana menatap takjub dengan interior yang ada di dalam rumah itu. Seluruh perabot yang ada di dalamnya adalah barang-barang yang mahal dan limited edition. Seperti sofa yang saat ini mereka duduki.
Dari sana, Aileen dan Ayana bisa melihat tangga yang menuju ke lantai atas, dengan warna emas serta anak tangga terbuat dari kaca yang tebal tentunya. Selain takjub Aileen ataupun Ayana bergidik ngeri. Memikirkan banyak hal tentang bagaimana jika mereka menginjak anak-anak tangga itu.
Aileen dan Ayana saling bersitatap, dan bersamaan mengendikkan bahu. Dan menutup wajah dengan kedua tangan bersamaan.
"Kalian kenapa?" tanya Almira ibu Darren yang melihat tingkah aneh para gadis muda itu.
Aileen dan Ayana menjauhkan tangannya dari wajah dan menatap Almira yang sudah ada di hadapan mereka.
"Eh-- enggak Tante, rumah Tante bagus banget," ucap Aileen.
"Kalian bisa saja, ayo makan siang sudah siap lhoh," tutur Almira lembut.
"Iya Tan," balas Aileen.
Mereka berjalan di belakang Almira dan Darren berada di samping Aileen.
"Kamu apa kabar Ai? Sudah lama tidak ketemu ya," tukas Darren.
"Baik kok, kita sehat-sehat. Ayah, ibu baik semua. Dan aku juga ikut senang melihat kamu dan keluarga baik-baik juga," jelas Aileen dengan senyum yang mengembang indah di wajahnya.
"Iya, syukurlah. Aku tidak nyangka bisa bertemu denganmu hari ini, dan dengan dirimu yang sama seperti dulu. Humoris, ceria juga semakin cantik," puji Darren.
Dan itu sukses membuat wajah Aileen memerah karena malu. Dia menoleh pada Ayana agar sahabatnya tidak melihat wajah udang rebus milik Aileen.
"Apa kau sedang menggoda wanita boy?" sergah Indra.
Darren menoleh pada sang ayah dan tersenyum kikuk. Begitupun Aileen yang semakin malu di buatnya.
"Darren hanya mengatakan hal yang sebenarnya, Pa. Bukannya Papa tahu Aileen dulu seperti apa. Dan lihat Aileen yang sekarang. Dia jauh lebih cantik 'kan?" jelas Darren.
"Baiklah, Papa percaya dengan kamu. Aileen memang sekarang semakin cantik dan imut," terang Indra.
Mereka duduk di kursi meja makan dan menikmati santapan makan siang dengan khidmat. Sesekali mereka bersenda gurau dengan riang . Saling melemparkan pujian satu sama lain.
Dan bahkan Aileen dan Ayana pulang dengan membawa --
Bersambung--