Bab 50.
Tepat pukul lima sore, Dewi menutup toko kuenya. Setelah itu, ia pun berlindung di bawah payung dan berjalan menuju rumahnya. Ia, melihat Agam yang berdiri mematung di halaman rumahnya dengan memegang ponselnya.
Tidak memperhatikan sekitar. Hanya ponsel yang dia lihat. Tidak peduli dengan hujan yang mengguyur sekujur tubuhnya.
Dewi ingin menghampirinya, tetapi dia mengurungkan niatnya. Ia masuk dan langsung menuju kamar Aileen. Gadis itu masih mengunci kamarnya.
"Aileen, biarkan ibu masuk, nak."
Dewi terus mengetuk dan sesekali memanggil nama sang anak. Ayana, juga melihat Agam sejak pulang sekolah pukul tiga sore tadi. Namun, Agam tidak menjawab pertanyaan dari bocah itu.
Ia juga sudah mencoba memanggil kakaknya, akan tetapi tidak juga sang empu kamar membuka pintunya.
"Masih nggak mau buka, Bu?" sergah Ayana.
"Iya, kakakmu kenapa sih? Kasihan Agam. Mereka ada masalah apa sih? Ibu pusing. Kenapa anak muda mudah sekali marahan," tukas Dewi yang memijit pelipisnya. Merasa pusing dengan urusan anak-anak muda jaman sekarang.
"Mas Agam, nggak mau jawab pertanyaan Ayana. Di ajak masuk juga nggak mau. Udah berapa lama dia berdiri di sana, Bu?"
Dewi menggeleng. Dia tidak tahu kapan Agam mulai berdemo di sana sendirian. Wanita itu melangkah dan duduk di kursi terdekat.
Tiba-tiba Aileen membuka pintunya. Dia berjalan keluar dari rumah. Tanpa menghiraukan adik dan ibunya yang sedari tadi mencoba memanggil dirinya.
Keduanya melihat gadis berusia dua puluh dua tahun itu dari balik jendela. Mengintip apa yang akan dilakukan Aileen pada Agam.
"Apa kamu gila?! Pulanglah! Aku tidak akan mau bertemu denganmu!" teriak Aileen.
Agam mengangkat kepalanya menatap Aileen yang jauh di depannya. Dia tersenyum tipis dan berjalan perlahan mendekati Aileen. Gadis itu masih berdiri di teras rumah.
"Kamu keluar? Terima kasih," lirih Agam. Dia ingin mengucapkannya dengan benar. Setidaknya memeluk tubuh Aileen, sebelum dia menepati janjinya untuk pergi menjauh dari Aileen.
"Sinting! Kamu lelaki gila yang pernah aku kenal! Pulanglah! Tante Alma butuh kamu! Dia jauh lebih berati dari apa yang kamu lakukan di sini! Dasar gila!" umpat Aileen, dia terus berteriak.
Guyuran hujan membuat suaranya tersamarkan. Meski Agam mendengar apa yang diteriakkan Aileen. Namun, Agam tidak beranjak dari tempatnya saat ini.
"Aku minta maaf. Kamu lihat, aku semakin sering meminta maaf, dan berterima kasih. Aku akan pergi, aku janji akan jauhi kamu. Maafkan aku, Ai. Seharusnya aku tidak menyakitimu, seharusnya aku tidak mengatakan hal gila itu. Ternyata aku juga tidak bisa melihatmu terluka. Mungkin aku juga— sudahlah, karena kamu sudah mau keluar, artinya kamu memaafkan aku. Jaga dirimu, aku sudah membatalkan semua kontrak kita. Aku tidak akan mengganggumu lagi," tutur Agam.
Dia berbalik dan melangkah menjauh dari Aileen. Gadis itu menatapnya. Tanpa henti tanpa berkedip. Aileen menitikan lagi air matanya. Kali ini bukan karena rasa kecewa yang dia rasakan seperti sebelumnya.
Namun, kini dia sedih. Melihat Agam dengan luka di wajahnya dan juga tubuhnya yang basah kuyup. Dia juga melihat tatapan mata lelaki yang penuh dengan penyesalan.
Mungkin semua yang dikatakan jujur, mungkin semua yang dia ungkapkan kali ini adalah kebenaran.
Aileen menerobos hujan, berlarian untuk mendekati Agam. Tanpa ragu, dia pun menahan tubuh Agam. Memeluknya dari belakang dengan erat dan tidak membiarkan pria itu pergi.
"Aku adalah wanita terbodoh di dunia ini. Aku tahu kamu adalah bintang yang tidak pernah bisa aku raih. Tapi aku selalu berharap agar kamu bisa aku lihat setiap hari. Bahkan jika mendung menutup langit."
Aileen memeluk lelaki itu dengan erat. Tubuh Agam kaku dan beku. Dia berhenti dan merasakan tubuhnya seakan bergetar. Sangat nyaman dengan apa yang dilakukan gadis itu. Sama halnya ketika dia memeluk gadis itu di vila kemarin.
"Aku tidak tahu bagaimana kamu menilaiku, dan memandangku. Yang jelas, aku suka sama kamu. Aku cinta sama kamu, Agam. Tidak peduli jika kamu hanya merebutku dari Darren dan membuat dia sakit hati, lalu setelah berhasil kamu mengabaikanku, aku tidak peduli. Aku yakin kamu bukan iblis seperti yang kamu katakan. Aku yakin, dalam dirimu pasti ada cinta. Walau bukan untukku," imbuh Aileen.
Agam mendengarkan terus tanpa bergerak. Membiarkan gadis itu berbicara semua yang ingin dia katakan. Apapun, yang ingin dia ungkapkan. Agam siap untuk mendengar.
Sejujurnya dia juga tidak ingin pergi atau bahkan menghilang dari hidup wanita itu. Selama ini Aileen banyak membuat perubahan untuk dirinya. Terlebih sang ibu sangat menyukai Aileen.
Bukankah itu yang dia cari, wanita yang menyayangi ibunya dan sang ibu pun menginginkan gadis tersebut.
"Jangan pergi. Please, aku mohon. Izinkan aku untuk tetap melihatmu walaupun aku tidak pernah memilikimu," lirih Aileen. Tubuhnya mulai menggigil karena kedinginan. Terlebih ini sudah malam. Hujan tidak menunjukkan bahwa dia akan berhenti.
Sastro yang mengendarai motornya masuki halaman rumahnya melihat adegan kedua insan itu, hanya bergeleng-geleng. Tidak paham dengan pikiran anak muda.
Dia melewati keduanya dan melepaskan mantelnya untuk masuk ke dalam rumah. Dewi menyambutnya dan segera menarik tubuh suaminya, ketika tahu bahwa lelaki itu akan berteriak memanggil Agam ataupun Aileen.
"Biarkan saja, Pak. Jangan usik mereka. Biar masalah mereka itu kelar. Biar Aileen itu tidak mengurung diri di kamar terus," sergah Dewi .
Sastro pun mengangguk dan dia mengikuti istrinya yang terus menarik tangannya.
Sementara itu, Agam berbalik dan melerai pelukan Aileen. Di menarik dagu Aileen dan menatap wajah gadis itu. Rambutnya berantakan dan menutup mimik mukanya.
Agam menyingkirkan semua rambut-rambut nakal yang menutup wajah Aileen. "Maaf, maukah kamu memaafkan, aku?" bisik Agam.
Tanpa berpikir panjang pun, Aileen mengangguk. Memang cinta itu membutakan segala hal, bahkan kesalahan sebesar apapun bisa termaafkan jika cinta jauh lebih besar dari rasa kecewanya. Karena kesempatan tidak selalu datang dua kali.
Jika saja Aileen memilih untuk tetap mengurung dirinya di kamar dan mengabaikan Agam. Apa juga bedanya dia dengan Agam yang sama-sama saling menyakiti. Layaknya dia dengan Darren yang memiliki ego tinggi.
Mungkin penyesalan akan Aileen dapatkan lagi, jika Agam telah pergi. Dia akan jauh lebih sakit hati dari saat ini. Bukankah dia mencintai Agam?
"Aku memaafkanmu. Aku bahkan tidak tahu letak kesalahanmu, tapi sungguh jangan bilang bahwa semua ini hanya sandiwara. Karena perasaanku tidak pernah sebercanda itu, Agam," jelas Aileen.
Agam memeluk tubuh Aileen, dengan sangat erat dan jauh lebih erat dari sebelumnya. Tubuh mungil itu mengikis jarak, pipinya menempel erat pada d**a bidang Agam. Dia bahkan bisa mendengarkan detak jantung lelaki itu.
"Aku lelaki bodoh, Aileen. Aku terperangkap dengan permainan singkat ini. Aku kira aku tidak akan menyukaimu, aku kira aku bisa cuek dengan luka yang kamu dapat. Tapi ternyata aku salah. Aku juga terluka saat melihatmu pergi dan mengabaikanku. Maafkan, aku," sesal Agam.
Dalam dekapan laki-laki itu, Aileen mengangguk. Dia senang, dia bahagia saat ini. Melupakan penyesalan yang pernah menyesakkan dadanya.
Agam melerai pelukannya dan membawa Aileen untuk berteduh. Di teras dan duduk di kursi yang sama. Lebih tepatnya lelaki itu memangku Aileen layaknya seorang bocah.
"Kita— memiliki hubungan spesial?" lirih Agam.
Aileen tersipu, dia tersenyum dan mengangguk. "Lebih dari teman yang aku inginkan seperti kemarin?" imbuh Agam.
Aileen mengangguk lagi, dia tidak bisa menjawab dengan sebuah kata-kata. Dia kelewat bahagia saat ini.
"Yakin?" Kini Aileen justru memukul lengan pria itu.
"Berhenti menggodaku! Dasar kanebo! Mau masuk?"
Agam bergeleng. "masuklah, aku akan pulang. Sepertinya rumahmu bosan melihatku seharian di sini," kelakar Agam.
Aileen menyandarkan kepalanya pada bahu Agam. Dia tidak ingin jauh dari lelaki itu, lagi. Tidak lagi, seharian dia sudah mengurung dirinya di kamar karena pria yang sama.
"Tidak akan pergi jauh kan? Aku akan membencimu jika kamu melakukannya," bisik Aileen dalam dekapan lelaki itu.
"Tidak, aku tidak mau melakukan hal bodoh lagi. Tapi aku tidak bisa berhenti memikirkan semua hal di masa lalu."
Aileen menarik dirinya, dia menatap wajah Agam yang membiru, tetapi lelaki itu terlihat biasa saja, bahkan tidak menggigil layak dirinya.
"Balas dendam?" Agam mengangguk ragu-ragu.
"Ck," Aileen merangkus wajahnya, mengusapnya dengan kasar dan turun dari pangkuan Agam.
"Segera kembali. Kamu bisa masuk angin. Temani Tante Alma, ya. Jangan pergi ke mana pun. Agam— biar waktu yang membalas mereka. Bisakah kamu percaya hal itu?"
Agam bergeleng, dia tetap lelaki yang keras kepala. Tidak bisa melepaskan apa yang sudah menjadi tekatnya sedari dulu.
Aileen, menutup mulutnya dengan rapat. Dia menghela napasnya. Memeluk Agam sekali lagi dan mengusirnya.
"Pulang sana! Awas aja, sakit lagi aku gantung Lu," candanya. Dengan tawa untuk menutupi satu ketidakseimbangan dalam dirinya.
Agam tersenyum miring dan pergi. Dia benar-benar pergi dan membelah jalanan di tengah hujan yang deras dan jalanan yang licin.