Bab 20
Usai makan malam, Darren dan juga Aileen duduk bersantai dengan mengecap kacang rebus. Dewi mengukus untuk mereka. Agar bisa mengobrol dengan santai.
Namun, mungkin kali ini Aileen akan membuat Darren kembali kecewa. Dia selaku datang diwaktu yang tidak tepat.
"Leen, aku ke sini untuk mengajakmu jalan-jalan besok. Kita bisa pergi ke museum, atau ketempat yang kamu sukai, gimana?"
Aileen memberengut dengan wajahnya yang terlihat sedih. " Darren, maaf. Aku mau, sumpah aku mau. Tapi, besok aku ada pesanan. Seperti yang dikatakan ibu tadi. Lain waktu gimana? Aku janji lain kali akan menyempatkan waktu untukmu. Aku mau, asli aku mau. Tapi, aku tidak bisa meninggalkan toko dengan banyak pesanan kan?"
Darren menganggu, benar sih. Dia juga tidak seharusnya menanyakan hal itu, karena dia juga mendengar ucapan Dewi sebelumnya.
"Bagaimana kalau lusa. Aku yakin lusa kamu free kan? Setelah pesanan ini?"
Aileen berpikir dengan menyatukan bibirnya rapat-rapat. Dia berpikir keras. Jika dia menolak ajakan Darren lagi, tentu itu tidak sopan. Akhirnya ia pun mengangguk dan menyetujui. Berharap bahwa waktu bisa lebih berbaik hati dengan dirinya.
Akhirnya Darren pun bisa kembali pulang dengan perasaan yang sedikit tenang. Dia kembali setelah Jatim jam tepat diangka sepuluh. Sudah sangat larut untuknya berkunjung di rumah orang. Terlebih rumah wanita.
*
Suara kicau burung pagi ini menandakan bahwa pagi mulai tiba. Aileen, sejak subuh tadi sudah terbangun dan membuat beberapa kue untuk toko depannya. Sebelum dia berkutat dengan semua pesanannya.
Sang pembeli mewanti-wanti agar Aileen tidak sampai telat atau bahkan lupa. Karena acara penting akan diadakan di rumahnya. Aileen sangat semangat. Bahkan dia bangun lebih awal.
Gadis itu, bekerja dengan sangat cepat dan rajin. Satu demi satu keu yang masih hangat dengan berbagai aroma yang memenuhi ruangan.
Seperti kue yang terkenal di kedai mahal, dengan aroma terenak itu juga ada di toko kue Aileen. Ayana, membantu sang kakak membersihkan etalase. Sementara Dewi. Sang ibu, harus membuat masakan untuk semua keluarganya.
Dia harus tetap memasak untuk mengisi perut suami dan juga anaknya. Dia akan membawakan bekal untuk suaminya dan juga mengirim untuk kedua gadisnya.
Satu persatu pelanggan berdatangan. Senyum Ayana tidak kalah ramah dari sang kakak. Aileen sama sekali tidak bisa meninggalkan dapur kuenya. Semua oven menyala dan tangannya tangkas, mengangkat dan juga menghias. Lalu memasukkan kembali adonan kue baru. Begitu seterusnya sampai semua pesanan itu terpenuhi.
Belum lagi dia harus mengepaknya. Semangat yang menggebu, gadis itu sama sekali tidak merasa lelah. Siapapun itu, jika mendapatkan pesanan sudah pasti akan sangat senang bukan.
Ketika hari mulai siang, sang pemesan menelepon lagi. Dia mengatakan bahwa, semua pesanannya harus selesai tepat pada perjanjian waktu di awal. Sore hari jam tiga. Aileen sangat yakin bahwa dia bisa.
"Iya, Bu. Pasti. Nanti saya akan antar pesanan Anda. Anda tidak perlu khawatir, kamu sangat berusaha untuk selalu membuat customer kami senang," tutur Aileen, di tengah kesibukannya.
Dengan mondar-mandir mengecek satu persatu kuenya. Panggilan berakhir, dan Aileen menangkap satu pesan yang hanya berisi logo foto itu.
Sejenak dia duduk dan membukanya, melepaskan sarung tangannya agar bisa leluasa untuk memegang ponsel itu.
Nomor yang tidak dia kenal, karena dia juga tidak pernah menyimpan nomor orang yang hanya sesekali memesan lewat nomor ponselnya.
"Ha?! Dasar, laki-laki gila. Tapi, aku keren di sini. Manis kan? Jadi ini nomornya? Bagus, lebih memudahkan aku mencekiknya kan? Tunggu, kapan ini? Astaga tadi malam? Satu lagi, Darren? Astaga, dia juga mengirim pesan. Pantas saja, dia datang. Oh— pria yang malang," lirih Aileen.
Ia melihat fotonya sekali lagi dan berakhir dengan kembali meletakkan telepon genggam itu di saku celemek miliknya.
Hingga tanpa terasa waktunya makan siang pun tiba. Aileen bahkan melewatkan sarapan untuk mendahulukan pesanan orang. Juga membuat stok tambahkan untuk tokonya. Sangat luar biasa hari ini untuk gadis itu.
"Ayo, makan dulu. Kamu tidak mau sarapan, sekarang kamu mau tidak makan? Jangan begitu, senang boleh. Tapi kami tidak boleh melupakan nutrisi untuk tubuhmu sendiri," titah Dewi.
Ia mengambil alih pekerjaan anaknya dan dia pun menuruti kata-kata ibunya.
"Iya, ini, Ai makan." Gadis itu mencium pipi ibunya dengan berjinjit dan memeluk wanita paruh baya itu.
Kemudian dia pun membuka makanan yang terletak tidak jauh dari tempatnya berada. Bahkan dia makan pun sembari menghias kue-kue yang telah siap.
Dengan mulut yang penuh, berkecapan dan menelannya dengan cepat, mengambil satu sendok lagi dan kembali menelannya sampai satu piring ia habiskan.
Dewi hanya menggeleng dengan sikap anak gadisnya. Jika sudah menggeluti satu pekerjaan Aileen selalu begitu, bersemangat dan melupakan dirinya sendiri. Aileen patut menjadi orang yang sukses nantinya. Seharusnya— nasibnya bisa lebih baik.
Detik demi detik, menit demi menit yang terus bejalan, hingga jarum jam sudah berada di angka dua lebih tiga puluh menit. Aileen sudah menyelesaikan tugasnya. Tersisa satu kue yang belum dia bungkus. Hanya tinggal memasukkan kedalam box, lalu menghiasnya dengan pita dan selesai.
Gadis itu, duduk dengan lemas diatas kursi kayu. Bersandar dengan tubuh yang sedikit menurun. Lelah? Sudah pasti, karena dari pukul tiga dini hati dia sudah bekerja. Lalu kini sudah pukul tiga lagi dia belum beristirahat sama sekali.
Mengabaikan keringat yang mengucur, mengabaikan sahabatnya yang mengajaknya pergi, dan mengabaikan pertanyaan yang mungkin puluhan di dalam ponselnya.
"Akhirnya selesai, nak. Orangnya mau ambil sendiri atau kita antar?" Dewi memijit puncak anaknya. Sudah pasti dia sangat kasihan dengan wanita itu.
"Di antar, Bu. Awalnya mau di ambil, tapi tadi bilang mau diantar saja, karena dia tidak bisa keluar, Bu," sahut Aileen.
"Begitu? Lalu bagaimana kita bisa antar?"
Aileen mengambil ponselnya dan menunjukkan pada sang ibu. Bahwa dia bisa memesan taksi online. Jarak atara rumah pemesan dan juga toko Aileen tidak terlalu jauh.
"Aku sudah memesan taksi online, Bu. Sebentar lagi pasti datang."
Benar saja, tidak lama, Ayana masuk kedalam dan memberi tahu bahwa ada yang mencari seorang driver. Mereka bertiga pun bergegas untuk memasukkan semua kue itu, kedalam bagasi mobil.
Aileen siap untuk menerima rezeki sore ini. Dia sangat senang, dan senyum mengembang di wajahnya yang terlihat kusut itu.
Di dalam mobil dia meng-upload foto yang sebelumnya dia ambil, beberapa box yang berjejer dengan cantik dan elegan.
Membuat caption dengan rasa syukur luar biasa, lalu di slide berikutnya ada fotonya yang masih memakai celemek. Dengan di jari yang diangkat, tersenyum dengan ceria.
Semangat!
Tulisnya di akhir caption.
*
"Ai? Kenapa menangis gitu?" Suara Dewi, terdengar penuh tanda tanya.
Aileen...