Bab 46
Cerita yang sangat menyayat hati siapapun yang mendengarnya. Tidak terkecuali Aileen. Gadis itu meneteskan air matanya ketika mendengar setiap kata yang di keluarkan Agam.
Pria itu menatap Aileen. Tanpa bertanya, dia mengusap air mata gadis yang kini duduk dihadapannya. Masih melihat jendela yang basah karena hujan tak kunjung reda.
"Tidak perlu kasihan. Semua sudah terlewat. Sepertinya aku tidak akan melanjutkan ceritanya." Agam menarik kembali satu sudut bibirnya.
Aileen, sangat menyukainya, sungguh sangat mengagumi senyum aneh itu.
"Ceritakan saja jika kamu mau. Aku siap mendengarkan," jawab Aileen.
"Tapi hatimu tidak siap. Kamu menangis. Untuk siapa?" Agam menatap wajah Aileen sangat lekat dan dalam. Seakan menyelami hati gadis itu, ingin tahu dia percaya atau tidak dengan semua kisahnya yang menyedihkan.
"Untuk lelaki kecil yang kuat, dan menyayangi ibunya. Aku ingin mengenalnya, aku ingin menghibur dia. Setiap hari jika bisa," pungkas Aileen, dia membalas tatapan mata Agam.
"Sungguh?" Aileen mengangguk. Dia sangat yakin, dengan apa yang dikatakannya.
Satu kenyataan terungkap kali ini. Perlahan Aileen memahami lelaki itu. Perlahan Aileen mengerti kebencian yang tumbuh dalam diri Agam.
Agam kembali meneruskan ceritanya. Dia kembali melihat air yang menetes di atapnya dan jatuh membasahi Pertiwi.
*
Kian hari perselingkuhan Indra dan Almira kian menjadi. Bahkan ketika Alma berada di rumah, mereka tidak segan mencuri-curi kesempatan untuk bermesraan. b******u mesra dan juga melakukan hal gila lainnya.
Satu malam saat Alma, tengah sakit. Agam merawatnya, tidur bersama sang ibu. Mengganti kompres yang ada di dahi dan juga menyuapinya.
Namun, Indra justru tidur dengan Almira di kamar gadis itu. Bermain dengan asyik tanpa peduli pada istrinya yang tengah kesakitan.
Agam melihat dan mendengar apa yang mereka lakukan. Almira sengaja tidak menutup pintu dengan rapat. Juga tidak menguncinya agar bocah itu bisa melihat keduanya. Tidak tahu motif apa yang dia inginkan dari semua yang dilakukan.
Tidakkah cukup menghancurkan rumah tangga sang kakak? Sehingga harus menjatuhkan mental bocah cilik itu. Agam, dipaksa untuk dewasa oleh kondisi dan keadaan.
Perlahan dia mengerti apa yang terjalin antara Tante dan ayahnya. Agam mengerti bahwa itu sebuah pengkhianatan. Sejak saat itu, lelaki cilik itu terus menutupi keburukan, tingkah busuk ayahnya sendiri, hanya demi menjaga sang ibu agar tidak sakit hati ataupun jatuh sakit.
Hingga sepuluh tahun berlalu. Hubungan mereka tetap terjalin. Agam yang tumbuh menjadi lelaki remaja. Hampir dewasa, di usia delapan belas tahun. Dia tetap menutupi hal itu.
Namun, dia kini berani melawan perlakuan sang ayah yang selalu saja merendahkan dirinya. Pertengkaran dan percekcokan selalu terjadi. Terlebih ketika Alma tidak ada di rumah.
Akan tetapi, ketika sang ibu ada diantara keduanya. Mereka layaknya ayah dan anak yang kompak. Bedanya Agam yang sangat tulus dan Indra yang penuh tipu muslihat.
Hingga pada hari di mana Alma mengetahui hubungan terlarang keduanya di kantor suaminya. Hatinya benar-benar hancur dan tidak bisa berpikir dengan terang.
Sampai musibah kecelakaan itu terjadi. Tangan Agam lah yang menolong sang ibu. Dia yang baru pulang dari kampusnya dan mendapati kerumunan yang melibatkan Alma.
Hati Agam kian remuk dan kebenciannya semakin menjadi pada Indra juga Almira. Indra yang mendengar berita itu pun seketika panik. Dia juga mengecek kamera cctv-nya, guna melihat apakah Alma datang ke kantornya.
Ia terkejut. Dan semua yang ditutupi olehnya terbongkar sudah. Saat itulah dia pindah ke desa di mana ayah dan ibu Aileen yang menjadi tetangganya. Siapa yang menyangka bahwa hubungan keduanya telah melahirkan seorang anak.
*
"Agam, cukup. Bisakah kita kembali ke rumahmu saja? Aku cemas dengan Tante Alma," lirih Aileen. Dia menghentikan cerita Agam.
Dia tidak sanggup mendengar lebih jauh lagi. Semuanya sudah cukup jelas dan bisa dimengerti oleh Aileen. Gadis itu sangat paham bagaimana perasaan Agam kala itu.
Ia yang mendengar saja, rasanya hati sudah bagai diremas dan dihancurkan dengan satu kali terkaman. Aileen tidak mau dengar cerita itu, semakin membuat Agam terbayang-bayang masa kelamnya.
"Hujan," gumam Agam. Dia kembali menghapus derai air mata Aileen. Dan dengan spontan dia memeluk gadis itu. Mengelus bahu dan lengan wanita yang memakai gaun terbuka itu. Namun, jaket Agam telah membungkusnya hingga dia tidak merasakan dingin lagi.
"Aku ingin bertemu dengan Tante Alma. Maaf, jika aku tahu alasan Tante melarangmu untuk melakukan tindakan ini. Maaf jika aku menentang keinginanmu, maaf jika apa yang kamu ucapkan benar, bahwa aku lebih memilih setuju dengan pendapat Tante Alma," tutur Aileen.
"Aku tidak butuh persetujuan dan juga pendapatmu, kan? Yakin kamu mau bertemu dengan Mama?" Aileen mengangguk. Dia mendongak untuk menatap wajah lelaki itu.
"Baiklah, aku akan telepon Ashraf untuk menjemputmu. Aku akan tinggal di sini," terangnya.
Aileen melonggarkan pelukannya. Membuat jarak diantara mereka. "Gam? Kenapa? Jangan kira aku tidak peduli denganmu, sungguh aku peduli padamu, sangat peduli. Tapi pikirkan kondisi Tante Alma. Pikirkan bagaimana jika kamu yang justru terluka terus menerus dengan sikapmu? Kamu tidak bisa terus bersembunyi. Kamu tidak bisa terus hidup dengan dendam. Agam, aku akan bersamamu. Tapi, tidak untuk membalas dendam."
Aileen bangkit dan menatap Agam sebelum meninggalkan lelaki itu. "Satu lagi, tidak perlu menelepon siapapun. Aku akan pergi sendiri," jelas Aileen.
Agam terperanjat dan bangkit menyusul gadis itu. Aileen bahkan melemparkan jaket milik Agam ke sofa ruang tamu. Dia sudah berada diambang pintu.
Agam mengejarnya dan Aileen sudah melesak membelah derasnya hujan. Dia melakukan semua ini hanya untuk mencegah Agam marah pada sang ibu. Agar dia kembali ke rumah dan mendinginkan kepalanya bersama sang ibu.
Dendam tidak akan menyelesaikan masalah apapun. Jika Agam melakukan pembalasan pada lelaki itu apa bedanya dia dengan Indra yang sama-sama saling menyakiti?
Aileen berlari, dengan heels setinggi tiga sentimeter itu. Tidak peduli dengan tubuhnya yang kedinginan dan menggigil. Tekatnya sudah bulat, bahwa dia akan membawa Agam untuk kembali ke rumah.
Agam pasti akan mengejarnya. Benar saja, lelaki itu berlarian mengejar Aileen. Begitu jarak mereka kian dekat, lelaki itu langsung memeluk tubuh Aileen dari belakang. Menahan gadis itu agar tidak menjauh lagi darinya.
Agam, mempererat pelukannya dan berusaha melindungi gadis itu dari hujan. Menghangatkan badan Aileen yang bergerak dengan sendirinya, karena udara sejuk yang menusuk.
"Kita pergi, tapi jangan pergi sendirian. Aku akan kembali, tapi aku tidak akan melupakan apa tujuan awalku," bisik Agam.
Aileen terdiam. Dia sangat tahu bahwa Agam orang yang keras kepala saat ini.
Tubuh lelaki itu, yang tinggi sangat mudah untuk menyembunyikan kecilnya tubuh Aileen. Gadis itu, pun merengkuh lengan yang melingkar pada dadanya. Mendekapnya dengan erat agar dia tidak kedinginan.
Aileen, senang. Akhirnya Agam mau kembali ke rumah. Malam itu juga keduanya kembali berkendara. Menembus hujan dan berjalan diatas roda yang berputar di permukaan aspal.
Semakin malam, semakin dingin. Pukul satu dini hari mereka tiba di rumah, Agam. Lelaki itu segera berlarian ke kamarnya mencari handuk untuk dirinya dan Aileen.
Tetesan air mengikuti ke mana pun langkah kaki pria itu. Sampai tangga, hingga ke ruang pencucian. Agam segera membalut tubuh Aileen dengan handuk, dan dia pun menyeduh cokelat panas untuk mereka.
"Pakai bajuku lagi. Aku akan ganti dulu. Biar kubereskan kekacauan ini," kata Agam.
"Ganti saja bajumu, dan temui Tante Alma. Aku akan bereskan semuanya." Aileen memberikan saran. Dia yang akan membersihkan lantai basah itu. Dan membuat cokelat panas.
Agam menatapnya sekilas dan berlalu. Entah apa pilihan lelaki itu. Agam benar-benar tidak bisa ditebak sekejap dia kaku dan dingin. Lalu sekejap kemudian dia seakan jadi lelaki yang perhatian. Sekalipun sikapnya terkesan cuek.
Aileen pergi ke kamar tamu yang pernah dia tempati. Kemudian mengganti bajunya. Membuat minuman panas lalu mengepel rumah itu.
Tidak berapa lama kemudian, Agam keluar dari kamar sang ibu. Wajahnya jauh terlihat lebih tenang. Agam, berjalan mendekati Aileen yang duduk di sofa ruang tengah. Dengan berbalut selimut di pundaknya.
"Tante sudah tidur kan?" Agam bergeleng.
"Belum sampai aku menemuinya. Andai aku tidak pulang, dia akan tetap menunggu dan menatap keluar jendela," tutur Agam.
Aileen terkejut. Sebegitu besarnya kasih sayang seorang ibu. Sekalipun dia sangat marah. Perasaannya akan tetap sama. Mencintai dan menyayangi anak adalah kewajiban mutlak untuknya.
Tidak peduli seperti apa anaknya, tidak peduli sekeras apa watak anaknya. Dia akan tetap terus mendidik dan menyayangi sebisa yang dia mampu.
"Kamu tahu sejak dulu Tante Alma sangat menyayangimu. Agam kamu—" Agam memutar tubuhnya agar berhadapan dengan Aileen.
Membuat Aileen mengehentikan ucapannya. "jika kamu memintaku untuk berhenti. Maaf— aku tidak akan berhenti sampai aku melihat sendiri bahwa lelaki itu hancur di tanganku. Mama, memang pemaaf dan sabar. Tapi aku tidak, aku sudah katakan itu. Bahwa aku bukan lelaki yang baik, aku iblis," terang Agam.
Aileen bergeleng. "Di mataku kamu tidak begitu," lirih Aileen.
"Seperti apa?" Agam ingin tahu penilaian wanita yang berhasil membuat dirinya seakan terkurung di dalam penjara hatinya sendiri. Dia bimbang dengan keputusan yang ditentang oleh wanita itu.
"Kamu luar biasa. Kamu seperti bintang. Kamu terang, kamu bersinar di mana pun, kapan pun dan sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan. Kamu, adalah lelaki terbaik, Agam. Kasih sayangmu pada ibumu mengubah cara pandangku. Terus jadi dirimu sendiri. Aku mohon jangan teruskan," timpal Aileen.
Agam hanya berdiam. Tidak ada ekspresi apapun yang menggambarkan tentang perasaannya saat ini.
"Bolehkah aku jujur?" Tiba-tiba suara itu terdengar setelah beberapa detik keheningan merajai.
"Heem, katakan," lirih Aileen.
"Aku—"