Bab 45: Flashback

1343 Kata
Bab 45 Agam dan Aileen masuk ke dalam vila. Kedua orang berusia senja itu menggiring mereka langsung menuju ruang makan, beruntung mereka masak cukup banyak hari ini. Ibu Ningrum dan juga Pak Nyono selalu masak untuk dua hari sekali. Dan hari ini mereka masak sekalian untuk esok hari. Artinya bila Agam datang, besok mereka akan masak lagi. Keduanya sangat senang, bukan merasa terbebani. Mereka juga sangat merindukan Agam yang jarang ke vila tersebut, bahkan hampir tidak pernah. Setelah melepaskan rindu Ningrum dan juga Nyono pun meninggalkan mereka berdua. Aileen sangat takjub dengan sikap Agam terhadap kedua orang tua itu. Ini adalah kali kedua Aileen melihat sisi lain dari Agam, pertama saat di rumah pria itu, Aileen melihat bagaimana lelaki itu sangat perhatian dengan sang ibu. Di balik sikapnya yang sangat kasar, keras kepala dan menyebalkan selalu saja ada sikap manis yang Aileen tahu saat ini. Gadis itu menatap Agam tanpa berkedip, dan menemaninya untuk makan. Sementara dirinya hanya menikmati cokelat panas. Hawa dingin di luar sana mulai semakin menjadi-jadi. Terlebih mereka saat ini berada di puncak pegunungan. Setidaknya lokasinya jauh lebih tinggi dari kota yang mereka lewati beberapa waktu lalu. Agam, membiarkan wanita itu menatapnya. Bahkan dia terus berpura-pura untuk tidak melihatnya. Pria itu asyik dengan makananya. Sungguh, perutnya sudah sangat keroncongan. Bahkan dua piring seakan kurang untuk memenuhi perutnya. “Awas, naksir,” tukas Agam secara tiba-tiba. Setelah dia selesai dengan sendok dan juga makanannya. Aileen tersentak, dia gelapan. Dia sibuk mencari alasan dan justru meninggalkan lelaki itu. Agam bergeleng, dan menyusul gadis itu. Namun, Aileen terus menghindarinya. Dia memilih untuk mencuci peralatan makan Agam, membantu meringankan beban Ningrum. Ketika selesai dan hendak pegi lagi, Agam justru mengunci tubuh Aileen di depan kitchen set di depan wastafel pencuci piring tersebut. “Kamu menghindariku? Bukankah kamu sudah berjanji akan mendengar semua ceritaku?” bisik Agam. Embusan napas lelaki itu begitu terasa di wajah Aileen. Akan tetapi gadis itu tidak berani untuk mendongak dan menatap wajahnya. “Tentu saja, aku akan mendengarnya. Tidak mungkin di sini dan seprti ini kan?” Aileen benar-benar gugup. Setiap berada di dekat Agam rasanya jantungnya benar-benar melompat-lompat. Seperti kegirangan tetapi juga rasanya sangat menyakitkan, sakit karena seakan dia menerima serangan jantung secara tiba-tiba. Agam membebaskan Aileen, tetapi berganti menggengam tangan wanita itu. Mereka berjalan, menuju ruang tengah. Di sisi kanan di mana mereka bisa melihat gemerlap lampu kota yang terlihat berwara-warni. Layaknya kunang-kunang yang ketika musim panas selalu keluar. Mereka duduk berhadapan dalam satu sofa yang sama. Aileen menatap pemandangan malam itu. Hujan rintik sudah mulai turun. Itu Artinya untuk kedua kalinya mereka akan berada dalam satu atap rumah lagi. Agam mulai membuka suaranya, dengan menopangkan dagunya pada sandaran sofa, dan menatap kearah yang sama seperti Aileen. Sorot matanya kosong, seakan terbawa di mana dia bercerita saat ini. * Beberapa tahun yang lalu, di mana Agam masih menjadi bocah cilik yang sangat manis— seharunya, hidupnya indah, bermain dan mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Suara ikat pinggang yang beradu dengan tubuh bocah berusia delapan tahun. Dengan tangisan dan juga rengekan meminta ampun, itu terus menggema di sebuah ruangan kecil. Ruangan untuk menyekap bocah lelaki tersebut. “Ampun, Pa! Ampun.” Dia menangis, meraung dengan punggung penuh luka lebam. Mata bengkak, juga darah di sekitar pelipisnya. Luka lama yang dia dapat kembali terbuka dan mengeluarkan darah. Agam, dia adalah bocah malang itu. Hanya kerena menjatuhkan barang milik tantenya, dia harus mendapatkan hukuman sekejam itu. Lebih parahnya lagi, tangan kasar dan jahat itu adalah milik sang ayah. Yang seharusnya melindunginya dan juga memberikan kasih sayang kepadanya. “Kamu tidak bisa dimaafkan! Lihat bagaimana tantemu menangis karna kehilangan ponselnya?! Kamu tahu harga ponsel itu jauh lebih mahal ketimbang nyawamu!” Kembali satu pecutan gesper pun mengenai punggung dan kakinya. Sungguh rasanya sangat menyakitkan. Sekalipun dia adalah lelaki yang seharunya kuat. Namun, dia masih kecil, delapan tahun, kelas dua SD, seharunya dia masih harus mendapatkan curahan kasih sayang dan mereka mendengar cerita darinya. “Agam janji akan membetulkannya, Pa. Papa boleh memotong uang jajan, Agam. Agam minta maaf,” rintih Agam, dengan tangisnya. Nahasnya sang ibu tidak berada di rumah. Setiap kali Alma pergi Almira selalu datang. Yang awalnya dia berada di kantor, langsung tiba-tiba kembali kerumah, begitupun dengan Indra. “Sudah kukatakan bahwa nyawamu saja tidak akan cukup membayar semua ini!” Tanpa henti tanpa ampun dan tanpa perasaan Indra terus menghukum Agam. Menendang dan juga mendorongnya sampai kepala sebelah kiri Agam kembali terbentur oleh ujung bufet. Agam kembali pingsan. Tubuhnya sudah sangat lemah, dia kurus kering, dan tidak berdaya. Sekuat apapun dia memberontak, tenanganya tidak akan kuat melawan keperkasaan sang ayah. Setelah Agam tidak berdaya, Almira masuk dan menyeret Indra untuk pergi. Tidak ingin terkena masalah ketika Alma pulang. Mereka meninggalkan Agam begitu saja. Agam yang malang, yang tidak pernah tahu bahwa ayahnya sudah bermain gila dengan wanita yang tidak lain adalah tantenya sendiri, kembaran dari sang ibu. Dulu, dia sangat menyayangi Almira, dia mengira bahwa memiliki dua ibu sangat enak. Bisa mendapatkan kasih sayang lebih. Almira sendiri yang mengatakan bahwa dia adalah saudara dari ibunya sudah pasti dia juga menjadi ibunya. Namun, kenyataan pedih harus dia terima, seperti menelan pil yang sungguh luar biasa pahit, bahkan lebih pahit dari batu empedu. Kehidupannya kian rancu, kacau dan tidak terarah. Hanya kasih sayang sang ibu yang selalu menguatkannya untuk tetap menghormati Indra. Agam tidak pernah berani mengadukan semua yang telah dia terima dari ayahnya. Dia selalu menutup tubuhnya dengan pakaian yang rapat. Sehingga ketika sang ibu kembali kerumah Agam, hanya terdiam di bawah tangga dan memeluk lututnya. Sore ini, dua puluh menit sebelum ibunya kembali, Agam tersadar. Tubuhnya sudah kembali mendapatkan luka yang baru. Kini dia akan memberikan alasan apa lagi ke pada sang ibu? Agam sudah sangat banyak berbohong pada sang ibu. Dia tidak bisa berbuat apapun selain mentupi semuanya. Alma juga akan semakin hancur jika mengetahui siapa Indra sebenarnya. Agam tahu betul bahwa sang ibu sangat mencintai Ayahnya. Akan tetapi rasa sayangnya pada dirinya tidak pernah berkurang sedikitpun. Bocah itu bangkit dan tertatih. Berjalan menuju kamarnya. Di luar semuanya sudah kembali rapi layaknya sebelum Alma pergi tadi. Kekacauan yang sempat terjadi, guci-guci hiasan yang sempat pecah karena Indra menyeret Agam dan mengenai guci tersebut juga sudah hilang. Ia berjalan menuju kamar. Membersihkan lukanya dan mandi. Kemudian mengobatinya dan mengenakan pakaian yang serba panjang. Kemudian seperti biasa, dia akan duduk di bawah tangga, Bersama dengan beberapa mainannya. Memeluk lututnya, tatapan yang kosong, melamun dan tidak tahu harus berbuat apa. Dalam hatinya hanya ada kebencian pada lelaki tua itu. Sampai sang ibu kembali, dan lagi-lagi, Alma selalu menemukan anaknya di sana. Alma mengulurkan tangannya sampai Agam mau keluar dari sana. “Sayang, kenapa kamu selalu di sana? Kamu menangis lagi? Bertengkar dengan Rio lagi?” Agam hanya diam, tidak juga dia bergeleng. Mungkin diam akan semakin mengurangi kebiasaan berbohongnya. Alma menangkup wajah Agam dan menciumnya. Dia melihat luka baru di pelipis Agam. “Sayang? Astaga, ini apa? Kamu bertengkar, selalu kamu yang terluka, bagaimana kalau kamu kenapa-kenapa nak? Ini sudah di obati?” Alma yang cemas, buru-buru menggendong anaknya menuju sofa. Agam menggangguk untuk menjawabnya. Dia bisa melihat kalau mata sang ibu berkaca-kaca menahan tangis. Agam bisa merasakan bahwa ibunya sangat mencemaskan dirinya. Agam memeluk sang ibu dengan erat. Menyembunyikan wajahnya di dalam bahu sang ibu. “Kenapa, nak? Mama tidak akan marah, mama tahu kamu adalah lelaki. Tapi, mama mohon jangan diulangi lagi, ya? Mama tidak mau kamu kenapa-kenapa sayang. Maafkan mama yangs selalu sibuk, maafkan mama yang tidak bisa menjaga dan merawat agam,” sesal Alma. Kali ini Agam bergeleng, dia melerai pelukannya dan dengan jemarinya yang kecil menghapus air mata sang ibu. “Agam, sayang, Mama. Mama adalah mama terbaik di dunia,” seru Agam, dengan suara yang serak, sejak tadi dia tidak berbicara. Mereka kembali berpelukan, dan Alma mencium pucuk kepala Agam. Banyak sekali bekas luka di tengkorang pria itu. Rasanya Alma tidak begitu percaya bahwa anaknya sebegitu nakalnya, tetapi tidak pernah ada yang mengadu tentang anaknya. Alma tidak tahu harus percaya kepada siapa. Mungkin benar, jika memang dia kurang perhatian sehingga hal itu terjadi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN