"Apa salah saya sampai kamu menjaga jarak dari saya? Kalau kamu mempermasalahkan Anggi, kenapa saya yang kamu musuhi?"
"Bapak bicara apa?" Kirana bertanya pelan dengan kepala yang tertunduk dalam. Dia mana berani menatap Pak Damar terang-terangan. Jangankan menatap terang-terangan, melihat dari kejauhan saja, Kirana sudah ingin menangis. Rasanya serba salah menjadi dirinya hingga Kirana merasa kalau hilang adalah jalan terbaik yang bisa dirinya lakukan untuk semua orang. Terutama untuk Pak Damar juga yang sudah sangat sering membantunya selama ini.
"Kenyataannya." Tandasnya. "Kamu mengindari saya tanpa ada alasan yang jelas."
"Mas?" Silvi, adiknya itu malah menegur Pak Damar terang-terangan. Dia tidak mendukung kakak tertuanya sama sekali saat berbicara sedingin itu dengan Kirana. Bagaimanapun, Kirana adalah perempuan. Tidak sepantasnya Pak Damar bersikap seperti itu. Bukan salah Kirana juga seandainya memang memilih menghindar. Kalau disuruh memilih, Silvi juga akan menghindari Pak Damar sejauh-jauhnya daripada hubungannya dengan sang sahabat menjadi hancur.
Pak Damar mengembuskan napas agak berat. Padahal, acara ini dalam rangka menjenguk Pak Damar malah jadinya seperti ini lagi seperti yang sudah-sudah.
"Saya tidak memiliki hubungan dengan Anggi dan sedang tidak ingin diganggu apapun, Kirana. Maukah kamu membantu menjelaskan bahwasannya, saya juga punya hak untuk memilih dan terus-terusan diam."
Aduh, Kirana sakit kepala kalau Pak Damar membahas sesuatu yang di luar kuasa Kirana untuk memberikan pendapatnya. Apa seperti ini saking tidak nyamannya beliau? Kirana juga tidak bisa berbuat banyak di saat di datang juga berniat menyelesaikan masalahnya juga biar tidak semakin berlarut-larut. Masak Kirana harus ada case dengan Pak Damar sampai dia lulus. Iya kalau sampai akhir nanti hubungan mereka bisa kembali baik seperti yang sudah-sudah, lah kalau ternyata waktu yang tersisa tidak mampu memperbaiki kesalahpahaman yang ada, maka jangan pertanyakan mereka jika masalahnya sampai berlarutnya.
"Saya tidak memilki kekasih. Namun, saya juga tidak sedang mencintai sahabat kamu. Tak perlu repot menjaga hatinya di saat saya sendiri berniat menghancurkannya."
Kirana yang semula terus saja menunduk tidak sadar kalau sudah mengangkat kepalanya. Dadanya berdebar-debar mendengar kalimat terakhir Pak Damar yang begitu kasar sekali menurutnya. Memang Anggi salah apa sehingga Pak Damar ingin sekali menghancurkannya?
Ini menghancurkan. Bukan lagi candaan anak-anak. Bukan pula tempatnya Kirana untuk tetap diam.
"Kalau Bapak sampai menyakiti Anggi, Bapak berurusan dengan saya."
Pak Damar tersenyum tipis mendengar Kirana berbicara demikian. Perkataannya memang kasar sekali. Bagaimana kalau Anggi yang memang tadi di rumah ternyata ada ada di rumah sakit juga? Bisa sakit hatinya mendengar perkataan Pak Damar yang begitu sekali. Entah apa salahnya Anggi. Bukan hanya menyakiti, Pak Damar juga seakan-akan mempermalukan Anggi dengan berkata demikian kepada Kirana meskipun hanya Silvi yang mendengar.
Sebagai seorang dosen, seharusnya tidak seperti ini gambaran sikap yang Pak Damar tunjukkan. Namun karena sudah kepalang pusing juga karena Anggi terus datang ke rumahnya untuk bertamu dan terkesan mengejar Pak Damar sekali, Pak Damar tidak bisa tinggal diam saja.
Di dalam pikirannya yang paling positif pun, justru hal ini lebih baik bagi Anggi daripada Anggi tanpa sadar mempermalukan dirinya sendiri di hadapan orang. Pak Damar juga memikirkan perasaan Anggi. Kalau tidak, dia tidak akan repot-repot sampai meluruskan permasalahan di antara hingga sebegininya. Pak Damar tidak betah sekali dengan drama yang terjadi di sekitarnya. Mereka semua sama-sama mahkluk Tuhan. Jadi tidak apa kalau memang meluruskan kesalahpahaman yang ada daripada Anggi sendiri yang paling sakit nantinya karena merasa tidak dicintai. Padahal, melihat harapan di mata Anggi saja, Kirana tahu kalau rasa kekaguman dan kebanggaan Anggi kepada Pak Damar begitu besar. Namun sayangnya, dia malah menjadi buta karena itu semua.
Paramater yang Anggi gunakan untuk mengetahui apakah Pak Damar juga memiliki rasa kepadanya terlalu memaksakan karena dia langsung berpikir bahwa sikap baik Pak Damar sudah sangat cukup menunjukkan rasa cintanya. Padahal, Pak Damar memang baik kepada semua orang. Kalau sebagai pengamat seperti Kirana dan Silvi, tentu saja mereka bisa menilai bahwasannya Anggi terlalu percaya diri akan pemikirannya yang belum tentu sejalan dengan apa yang dipikirkan oleh Pak Damar. Namun Anggi sebagai orang yang sudah terlanjut mencintai dan membangga-banggakan, buta melihat kenyataan yang ada sebenarnya itu seperti apa. Karena kalau Anggi sadar, dia tidak akan sampai mendiami Kirana seperti ini yang mengakibatkan Kirana jadi berpikir keras dan ujung-ujungnya hanya berakhir sakit.
Bahkan tanpa sakit karena kesalahpahaman yang ada sekarang saja, Kirana sudah sakit. Namun sekarang, justru ditambahi parameter-parameter yang membuat Kirana kian merasakan sakitnya dalam diam. Karena dia sendiri juga sadar bukan siapa-siapa yang punya hak untuk menegur Anggi perihal pemikirannya atas cinta.
Hening masih menemani mereka bertiga. Pak Damar masih berdiri dengan gagah berani, Silvi juga tetap setia berdiri di sisi Kirana, sementara Kirana di waktu ini, dia hanya bisa menunggu semua orang menyalahkannya.
Sebenarnya untuk apa juga Kirana berpikir demikian di saat hubungannya juga baik-baik saja seandainya tidak ada kesalahpahaman yang menjadikan nerakanya begini. Kirana tidak ingin kalau Anggi sampai memutuskan tali persaudaraan yang tentu saja dapet menyebabkan pula putusnya tali silaturahmi di antara mereka. Entah apa yang harus Kirana lakukan agar Anggi meresa lebih baik dan tidak mendapatkan pemikiran yang kurang tepat oleh orang-orang kepada Anggi.
Sebagai sahabat, Kirana tidak terima kalau Anggi dianggap pikirannya secetek itu. Anggi adalah perempuan yang cerdas. Dia mungkin terlalu berlebihan dalam menghadapi perasaannya terhadap Pak Damar. Namun, bukan berarti orang-orang bisa mempermasalahkannya termasuk dari Pak Damar sekalipun.
"Anggi adalah sahabat terbaik saya, Pak. kami selalu bersama sedari kecil. Kalau Bapak berpikiran bahwa Anggi terlalu mengganggu Bapak, maka tegur dengan baik, dia akan mengerti. Jangan mengatakan kejelekannya kepada saya maupun orang lainnya, tegur saja dia. Anggi akan mengerti. Dengan Bapak mengatakan semua hal tentang Anggi kepada saya tadi, Bapak sudah mempermalukan Anggi di depan sahabatnya sendiri."
"Bukankah saya juga memilki hak untuk tidak membalas cintanya Kirana? Saya juga memilki perasaan dengan orang lain, tidak seharusnya dia bersikap seperti itu. Apalagi sampai memusuhi seseorang hanya untuk sesuatu yang sia-sia."
"Anggi itu cerdas, Pak. Dia akan mengerti seandainya Bapak mau jujur. Tidak seperti sekarang dengan Bapak membicarakan diam-diam."
"Saya bilang sedari tadi karena kamu. Karena kamu mengindari saya dan itu membuat saya tidak nyaman sekali." Pak Damar mengutarakan keresahannya.
Sebagai orang yang malah terkesan menjadi saksi adu pendapat di antara keduanya, Silvi hanya bisa menghela napas berkali-kali. Berat nian ujian kalau orang sudah jatuh cinta. Pasti ada-ada saja masalah yang menghampiri. Namun, dari sisi Silvi sendiri juga berpendapat hal yang sama dengan Pak Damar karena dia juga risih sendiri dengan sikap Anggi yang terlalu apa ya—intinya bisa dibilang cari perhatian sekali. Sementara Pak Damar juga bukan orang yang suka dengan perempuan yang bersikap demikian hanya untuk menarik perhatiannya. Dia menyukai perempuan yang pendiam. Dan di dalam hatinya pun sudah terukir satu nama sejak dulu. Pak Damar juga ingin menjaga Anggi dari semua rasa sakitnya. Karena kalau Pak Damar berbuat terlalu baik dan Anggi malah salah mengartikannya, akan kasihan Anggi juga nantinya merasa diberikan harapan. Kalau Pak Damar terus terang menegur Anggi, perempuan itu harusnya sadar kalau tindakannya mungkin ada yang salah di pandangan Pak Damar. Karena mereka semua sama-sama cerdas, pastilah setiap pemikiran ataupun tindakan yang direalisasikan dalam bentuk ucapan atau pendapat, sudah dipikirkan lebih dulu sebelum akhirnya Pak Damar berbicara terus terang seperti ini.
Bagaimanapun, mereka adalah orang yang rasional, tapi mungkin saja hanya sedang dibingungkan karena satu rasa yang dinamakan cinta.
"Saya akan bersikap seperti ini kepada Anggi karena saya tidak mau dia terlalu akibat terlalu berharap kepada saya." Pak Damar memulai kalimatnya lagi. "Kalau kamu tidak terima, silakan. Saya tidak butuh pendapat kamu karena kamu juga tidak bisa dipilih dengan mengedepankan perasaan."
Kirana langsung memalingkan wajahnya, dia tidak menyangka kalau pembicaraan mereka malah jadi seperti ini. "Saya minta maaf, Pak. Bukan maksud saya menggurui Bapak."
Pak Damar tetap saja tidak berekspresi apa-apa. "It's okay, perkataan kamu sudah menyadarkan saya tentang satu hal. Terima kasih Kirana, saya permisi dulu. Silvi yang akan menjaga kamu di sini."
Mendengar kalimat semacam itu, Kirana langsung mengangkat kepalanya lagi, dia sudah melihat Pak Damar berjalan menghampiri Silvi dan memeluknya perlahan sebelum akhirnya lelaki gagah berani itu keluar dengan raut wajah yang bahkan—Kirana sanksi kalau hubungan di antara mereka semua akan kembali baik-baik saja.
Cinta... cinta. Cinta yang menyatukan, cinta pula yang menghancurkan. Namun, Kirana percaya pasti akan ada akhir dari permasalahan mereka. Kalaupun tidak selesai hari ini, masih ada hari esok. Mereka diberikan otak untuk berpikir, jadi harus mencari jalan keluar terbaik di antara semua orang bagaimana. Yang tentu saja, tanpa harus menyakiti sedikitpun perasaan masing-masing orang.