50. Dan Terjadi Lagi

1896 Kata
Kirana tidak menyesali kedatangannya untuk menjenguk Pak Damar sore tadi. Hanya saja, kenapa juga dia pakai acara sakit yang membuat Anggi makin-makin menatapnya penuh permusuhan. Kalau boleh memilih, Kirana juga maunya sakit saat tidak ada siapa-siapa karena dia juga tidak ingin menyusahkan. Namun kalau seperti ini, Kirana jatuhnya tidak menerima takdir yang sudah ditetapkan oleh Tuhan. Sungguh, isi kepalanya penuh dengan masalahnya dengan Anggi. Kirana memang tipe orang yang tidak bisa didiami. Kalau perempuan itu sampai didiami, dia pasti akan sangat sedih sekali. Makanya sampai jatuh sakit seperti ini. Faisal bahkan sampai ditahan oleh Pak Damar, mempertanyakan kebecusannya sebagai seorang ketua yang tentu saja dianggap bertanggungjawab dengan yang terjadi pada Kirana. Seharusnya kalau sudah tahu Kirana kurang enak badan, jangan dipaksa atau paling tidak ada inisiatif untuk mengantarkan Kirana pulang saja agar bisa meminum obatnya daripada malah gadis itu berakhir sakit seperti ini. "Kalau sudah tahu kalau Kirana sedang tidak sehat, kenapa juga diminta ikut? Apa saya mewajibkan kalian untuk menjenguk saya?" Faisal yang serasa dihakimi oleh Pak Damar hanya diam mendengarkan. Dia mana berani menyela, bisa-bisa dipotong nilainya cilaka 13. Jangan sampai nilainya C hanya karena Pak Damar tidak suka dengan sikapnya. Padahal, Faisal juga tidak tahu-menahu tentang Kirana yang sampai jatuh sakit seperti itu. Dia hanya tahu kalau Kirana tidak bisa datang karena ada acara yang mengharuskannya datang ke posko PKM untuk membahas projects yang akan datang, bukan karena sakit yang sampai sesak napas seperti itu, bahkan sampai dilarikan ke rumah sakit karena saran langsung dari dokter keluarga Pak Damar. Pasalnya, napas Kirana tak kunjung membaik juga meskipun sudah diberikan pertolongan pertama sekalipun. Jadi, jalan satu-satunya memang membawa Kirana langsung ke rumah sakit agar segera mendapatkan pertolongan. Kalau Kirana sadar, dia pasti akan merasa sedih sekali ketika Anggi yang memang masih berada di sana ketika Kirana tumbang—bukannya merasa prihatin dengan keadaan Kirana. Anggi justru terlihat memasang wajah masamnya—bahkan lebih masam dari yang pernah Kirana lihat dari sebelumnya. Anggap saja ketidaksadaran Kirana sekarang menjadi rahmat karena dia tidak perlu melihat kebenciaan Anggi yang makin bertambah pada dirinya. Entah Kirana harus melakukan apa agar Anggi mengerti. Kalau seperti ini terus, Kirana juga sedih. Dan yang lebih kejamnya lagi, Anggi ikut pergi ke rumah sakit, tapi dia terus saja diam yang membuat Silvi kesalnya minta ampun. Kalaupun Anggi tidak suka atau sudah membenci Kirana sekarang, tidak seharusnya dia menunjukkan kebenciannya itu di depan semua orang. Dia mendiami Kirana dalam diam saja sudah sangat membuat Kirana sedih. Sekarang apalagi yang akan Kirana rasakan kalau Anggi yang sedari dulu sellau menolongnya malah bersikap sedingin ini kepada dirinya hanya karena Pak Damar. “Mbak Kirana tadi sudah tidak ingin ikut, Mas.” Silvi akhirnya ikut menyahut. Dia kasihan juga dengan Faisal yang mendadak menjadi anak kecil yang tengah dimarahi oleh ayahnya, hanya duduk dengan kepala tertunduk dan terdiam tanpa kata. Jangan tanyakan ekspresi Anggi karena gadis itu dalam hatinya menyumpahi Kirana yang tidak-tidak agar tidak mengganggu Pak Damar lagi. Lihatlah, karena cinta, rasional orang sampai hilang entah kemana. Belum jadi apa-apa juga—Anggi sudah bersikap demikian. Bayangkan saja ketika Anggi benar berakhir dengan Pak Damar, mungkin Pak Damar akan dikurung dalam rumah agar ketampanannya tidak dinikmati oleh orang lain yang sama sekali tidak berhak. Kalau Silvi yang baru bertemu saja sudah sangat peduli dengan Kirana, apa kabar dengan Anggi yang sudah menjadi sahabatnya belasan tahun—yang selalu berusaha membantu Kirana semaksimal mungkin—malah sekarang berakhir melebihi orang asing. Jangan tanyakan betapa sedihnya Kirana, dia ingin pulang saja, memeluk ibunya. Dulu, Bu Ghina selalu mengatakan kepada Kirana kalau mereka tidak bisa bergantung kepada siapapun kecuali pada Tuhan. Karena orang sekelas Bu Ghina sekalipun—yang ibu kandung Kirana sendiri—yang menjaga Kirana sedari kecil hampir puluhan tahun—tidak akan bisa selamanya menemani Kirana. Karena itu juga, sedari dulu, Kirana sudah diwanti-wanti. Pada akhirnya, hanya Allah tempat Kirana bergantung. Malam-malam sunyinya yang dirinya habiskan untuk bermunajat kepada Allah, menumpahkan seluruh keluh kesahnya tanpa ada satu katapun yang terucap dari bibirnya kecuali isakan ang terdengar begitu menyakitkan. Dulu sekali, ketika Kirana masih labil-labinya, Kirana pernah berpikir kalau hidupnya terasa tidak adil sekali karena dirinya hanya memiliki seorang ibu. Dia juga menginginkan kasih sayang seorang ayah. Namun berangsur-angsur, Kirana sadar. Meskipun dia tidak memiliki ayah, tapi Bu Ghina begitu tegar menjadi ibu sekaligus ayah baginya hingga Kirana tidak sempat memikirkan kekurangan yang dirinya miliki lagi. Kesedihannya yang seperti ini memang sudah biasa Kirana rasakan. Hanya saja, rasanya akan sangat berbeda jika Kirana memiliki masalah dengan orang yang begitu dekat dengannya. Sampai di waktu ini, ketika Silvi yang memang menunggui di dalam ditemani oleh Pak Damar tertegun melihat sudut mata Kirana yang teraliri air mata padahal gadis itu tengah tertidur dengan pulasnya. “Mbak?” Kirana memanggil, memegang pergelangan tangan kanan Kirana yang tidak diinfus karena yang diinfus di punggung tangan sebelah kiri. Kebetulan Pak Damar langsung berdiri dari duduknya untuk mengahampiri Kirana. “Mbak?” Silvi memanggil lagi. “Ini Mbak Kirana lagi mimpi buruk apa ya, Mas?” ada nada cemas yang tidak bisa Silvi tutup-tutupi sama sekali. Dia khawatir sekali dengan Kirana yang bisa-bisanya menangis di saat kondisi gadis itu tengah pingsan atau tidak sadarkan diri. Tak ada jawaban yang berarti dari Pak Damar karena beliau sibuk mengamati wajah Kirana yang terlihat damai meskipun air terus mengalir dari sudut matanya. Entah apa yang membuat Kirana menangis seperti itu. Entah karena mimpinya, atau karena ada hal yang lain. "Panggil, Vi. Siapa tahu dia mau bangun kalau ada yang memanggil namanya. Pak Damar hanya bisa memerintah karena dia juga tahu cara menghormati seorang perempuan yang bukan mahramnya. Kalau tidak, sudah sedari tadi dia di ruangan itu sendiri menunggui Kirana dan mengusir yang lain keluar. "Mbak Kirana?" kembali tepukan lebih kenceng mendarat di pipi perempuan itu. Silvi suka khawatir kalau ada yang mengigau dalam tidurnya karena pernah kejadian temannya meninggal saat dini hari melindur, kalau bahasa jawanya ngglorok. Karena itu, Silvi khawatir sekali. Takut kalau Kirana sampai kenapa-kenapa. Juga takut kalau Kirana sampai lewat seperti orang yang pernah Silvi kenal dulu. Sudah cukup baginya melihat dia yang pergi, tidak lagi untuk yang kedua kalinya. "Mbak ayo bangun!" panggilnya lagi. Pak Damar yang melihat kegigihan Silvi untuk membangunkan Kirana akhirnya bisa bernapas dengan lega ketika perempuan itu membuka matanya yang memerah hebat, ada genangan air yang begitu dahsyat di muara matanya. "Mbak mimpi buruk? Dari tadi aku bangunkan tapi tidak bangun-bangun." Ceritanya. Kirana tidak sempat merespon karena jantungnya masih berdetak signifikan. Dia hanya melihat sekilas, kemudian membatin perasaaan sendiri dan akhirnya bisa berbicara setelah diberikan air minum oleh Pak Damar. Tangan Kirana yang bergetar saat menerimanya membuat Silvi membantu memegangi gelas tersebut agar Kirana minumnya tidak sampai tumpah-ruah. "Sudah." Lirih Kirana pelan, yang langsung dibantu Silvi untuk menjauhkan gelasnya itu. Setelahnya, Kirana menarik napas panjang berulang kali. "Mbak, tadi aku dihubungi sama Mbak Nisa sama Mbak Simi. Katanya, ibuknya Mbak telfon terus." Kirana langsung fokus melihat ke arah Silvi. "Kapan, Vi?" tanyanya lemah. "Ba'da Magrib tadi. Ini tadi aku dikirim nomernya. Aku telfonkan, ya? Tadi aku juga udah terlanjur hubungin ibunya Mbak kalau Mbak Kirana kurang sehat." Tanpa sadar Kirana langsung menghela napas berat. Dan tahu-tahu juga, Silvi langsung mengangkat telfonnya. "Iya, Buk. Ini Silvi. Ini Buk, Mbak Kirananya sudah sadar." "Ibuk mau bicara sama Kirana boleh, Nduk?"  terdengar balasan dari seberang sana. "Ini Buk orangnya, monggo." Silvi mempersilakan, Bukan main, setelah menegak ludah kepayahan, Kirana menerima uluran dari tangan Silvi, lantasmengangkat panggilan dari ibunya itu. "Assalamualaikum, Buk. Ini Kirana." "Ya Allah Nduk, sakit apa lagi? Kemarin kapan itu sudah kambuh kan asam lambungnya. Kamu mikirin apa?" Sambungan itu memang sengaja tidak diloud speaker, tapi Silvi dan Pak Damar masih bisa mendengarkan pembicaraan Kirana dan ibunya yang khas orang Jawa itu. "Ndak mikirin apa-apa, Buk. Cuma kelelahan. Ini sudah ndak papa kok. Ibuk ndak usah khawatir." "Yo ndak khawatir gimana kamunya ndak bisa dihubungi. Ibuk menghubungi Anggi juga ndak diangkat-angkat, ibuk bingung harus cari kamu kemana lagi." Kata Bu Ghina menceritakan keluh kesahnya. "Anggi sibuk, Buk. Jangan diganggu dulu, ya?" ringis Kirana tidak enak hati. "Maaf kalau aku ndak bisa dihubungi." "Ndak papa. Yang penting kamu ndak kenapa-kenapa, to. Obatnya masih kan di kontrakan? Nanti kalau habis, Ibuk paketkan, atau kalau ndak langsung ke dokter yang di rumah sakit saja, nanti ibuk kirim uang daripada di klinik malah dosisnya ketinggian. Tapi sekarang sudah mendingan betulan kan, Na? Jangan bohong sama ibuk, nanti ibuk susul kamu ke sana kalau pakai acara bohong." "Ndak, ini kalau ndak percaya ada Silvi. Aku ndak papa, buktinya bisa hubungi ibuk. Kalau ndak, aku pasti masih tidur, nggak kuat bangun." "Mau periksa ke spesialis dokter dalam ya, Na. Nanti biar tahu kalau ada masalah. Takutnya penyakit bapak kamu nurun terdeteksinya waktu kamu besar sekarang." Meskipun ibunya tidak akan tahu Kirana menggeleng, perempuan itu tetap saja menggeleng. "Aku sehat kok, Buk. Ndak usah. Nanti kalau memang sakitnya udah kelewatan, aku periksa." "Nunggu sampai parah mana gisa seperti itu?! Periksa dulu apa susahnya. Kalau uangnya habis nanti dicari lagi, ndak usah dipikirkan, itu urusan Allah." Kirana tahu kalau ibunya ingin meringankan beban yang tengah Kirana rasakan sekarang. Hanya saja, kalau ibunya sampai tahu kalau hubungannya dengan Anggi berantakan seperti ini, Bu Ghina yang sudah menganggap Anggi sebagai putrinya juga pasti ikut sedih mengetahui putri-putrinya bersitegang hanya karena seorang lelaki yang pasti Bu Ghina juta tidak pernah membayangkan sebelumnya. "Maaf nggih, Buk. Ndak diulangin lagi. Ibuk jangan khawatir. Aku susah ndak papa betulan. Nanti kalau ibuk tidak percaya, kalau dokternya visit, aku minta bicara sama Ibuk, ya?" Pada akhirnya bujukan Kirana berhasil juga pada Bu Ghina. Beliau juga tidak mungkin terus mempertanyakan sikap Kirana. Dia juga tahu kalau Kirana sebenarnya tidak ingin membuatnya khawatir. Karena anaknya memang seperti itu sedari dulu. Kalau sakitnya masih bisa ditahan, akan ditahan sekuat-kuatnya. Namun kalau sudah tidak bisa ditorelir lagi ambang batas sakitnya, ya sudah Kirana tidak akan bisa pura-pura sok kuat lagi di depan siapapun. Bagaimanapun, dia manusia yang memiliki keterbatasan fisik. "Iya sudah." Terdengar helaan napas berat di seberang sana. "Kamu istirahat ya, Nduk. Nak Silvi, makasih ya sudah sabar nanggepin ibuk yang cerewet sekali." Silvi langsung tersenyum senang namanya disebut oleh ibunya Kirana yang tak lain adalah Bu Ghina. "Iya sama-sama, Buk. Senang sekali bisa membantu. Kapan-kapan, jangan sungkan hubungin aku ya Buk kalau Mbak Kirana nggak bisa dihubungi lagi, nanti aku carikan sampai ketemu." "Wah terima kasih, Nak. Ya sudah ibuk tutup dulu, ya. Istirahat dulu, nanti nilainya dapet kurang juga ndak papa, Na. Ingat, kalau sekolah itu untuk mencari ilmu, bukan mencari nilai." Bu Ghina kembali memberikan petuah. " Sudah dulu, ya. Assalamualaikum." "Wa'alaikumsalam." jawab mereka semua serempak meskipun pelan. Silvi langsung melihat ceria ke arah Kirana yang wajahnya masih lezu. "Pantesan Mbak Kirana orangnya lemah lembut kayak gini, lahh wong ibuknya kalem banget." Kirana hanya menggeleng, "ibukku yang kalem Vi, aku ya biasa ini saja." Namun sayangnya, Kirana yang mengira dia akan istirahat seperti yang ibunya katakan, justru terang-terangan Pak Damar mengatakan sesuatu kepadanya. "Saya ingin berbicara empat mata dengan kamu, Na. Sekarang." Jangankan Kirana, Silvi yang adiknya saja terkejut. Ketumben sekali kakaknya seperti itu. "Bersama Silvi saja, Pak." Kata Kirana mendadak panik sendiri. Dia tidak mau kalau terjadi fitnah. "Baik. Kamu tetap di sini Vi, temani Mas." Kata Pak Damar serius. Wajahnya tak berekspresi apa-apa. Jangan tanya setegang apa suasana diantaraw mereka. Karena yang pasti, Kirana hampir dibuat sesak napas karena perkataan Pak Damar yang begitu terang-terangan sekali. Dan ini benar-benar seperti menamparnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN