Kepergian Pak Damar beberapa waktu lalu meninggalkan sesak yang berkepanjangan di hati Kirana. Gadis itu masih terdiam dengan pikiran yang berkecamuk. Kirana masih bingung antara percaya dan tidak percaya kalau Pak Damar sampai berbicara seperti itu. Dan menurut Kirana sendiri, kalau seseorang sampai mengatakan hal seperti itu, pastilah sudah merasa terganggu dengan semua yang terjadi.
Kirana mengerti Pak Damar baru pulih pasca kecelakaan—itupun belum pulih benar. Mungkin karena itu juga Pak Damar merasa emosi sekarang. Silvi juga menenangkan Kirana bahwasannya semenjak kecelakaan itu, Pak Damar memang sering marah-marah, padahal sebelum kecelakaan tidak seperti itu. Dokter juga sempat mengatakan kalau perubahan suasana hati Pak Damar yang ekstrem disebabkan oleh benturan di kepalanya. Meskipun begitu, dokter juga menjelaskan bahwa Pak Damar perlahan-lahan akan kembali seperti sedia kala—memang membutuhkan waktu untuk pulih benar. Sekelas mie instan saja—yang ciptaan manusia—masih harus direbus dulu, kemudian diberi bumbu dan sebagainya. Ini sekelas kepala Pak Damar yang tentu saja di dalamnya terdapat organ otak. Organ yang mana menjadi pusat seluruh syaraf manusia. Kalau terjadi cidera di sana, pastilah memerlukan waktu tergantung keparahannya.
“Sudah Mbak Kirana, tidak apa-apa. Jangan dipikirkan perkataan Mas Damar tadi.”
Kirana menghela napas berulang kali. Meskipun Silvi berupaya menghiburnya sedari tadi, tetap saja Kirana tidak bisa langsung tenang begitu saja. Dadanya masih terasa terhimpit—apalagi kalau mengingat semua perkataan Pak Damar tadi yang dibalasnya dengan perkataan yang tidak sepantasnya.
“Aku salah, Vi. Tidak seharusnya berbicara seperti itu kepada Pak Damar.”
Wajah murung yang tercetak jelas di wajah Kirana membuat Silvi ikutan menghela napas berulang kali juga. Dia inginnya semua baik-baik saja—tapi rasanya sulit sekali sekarang. Apalagi ada Anggi yang selalu dibawa dalam semua pembicaraan mereka.
“Nggak papa Mbak Kirana.” Gadis yang lebih muda itu mengusap bahu Kirana pelan, berupaya menenangkannya. “Orang aku yang adeknya Mas Damar saja kadang juga dimarahi tanpa sebab. Yang dikatakan Mas Damar tadi tidak jangan dimasukkan ke hati, Mbak. Lagi khilaf orangnya, capek, nggak nyaman kalau didatangi orang terus-menerus sementara Mas Damar juga butuh istirahat. Kepalanya masih suka sakit.”
“Memangnya Anggi suka berkunjung ke rumah kamu?” tanya Kirana terlihat penasaran. Karena kalau memang betul dugaannya, maka Anggi sebenarnya juga sangat peduli dengan keadaaan Pak Damar, hanya saja memang Anggi yang tidak bisa melihat kondisi lelaki itu mengingat Pak Damar selalu berbuat baik padanya. Jadi, Anggi mengaggap bahwa Pak Damar juga sama nyamannya seperti dirinya.
“Ya gitu deh.” Jawab Silvi seraya mengangkat bahunya tak acuh. “Mbak Anggi hampir tiap hari datang ke rumah, membawa makanan halus untuk Mas Damar. Kalau berangkat pagi dia nggak bisa ketemu sama Mas Damar, sore datang lagi. Pokoknya Mbak Kirana nggak akan berhenti datang sampai dua kali ketemu sama Mas Damar. Kayak—gimana yah Mbak, Mbak Anggi itu seolah-olah tahu banyak hal, padahal dia kan hanya orang baru. Kebetulan saja orang tua kami saling mengenal. Tapi, bukan berarti kami harus sedekat mamaku dengan mamanya, kan?”
Kirana tidak merespon apapun karena dia berupaya untuk menarik kesimpulan. Beberapa waktu berlalu, Kirana baru mengeluarkan suaranya. “Sungguh, Anggi itu anak baik, Vi. Aku bersahabat dengannya sejak kecil. Kalau dia berbuat kesalahan, bukan berarti kita harus membencinya, bukan? Jangan membenci orang yang membuat kesalahan, tapi bencilah kesalahannya. Dengan sikap Anggi yang seperti itu, kamu pasti paham kalau Anggi sedang jatuh cinta dengan Pak Damar, kan?”
“Iya aku ngerti, Mbak.” Silvi frustasi sendiri ikut merasakan permasalahan kakak tertuanya itu. “Cuma yang dipermasalahkan Mas Damar itu sikap Mbak Anggi yang berubah sama Mbak. Mas Damar pernah mengatakan kalau Mbak Anggi dan Mbak Kirana itu bersahabat baik. Mas Damar juga merasa bersalah saat hubungan kalian jadi renggang seperti ini. Sementara Mbak Anggi seolah-seolah mengangap bahwa Mbak Kirana sudah merebut Mas Damar juga, padahal Mbak Anggi nggak punya hak apapun di saat Mas Damar sendiri baik-baik saja dengan kehadiran Mbak Kirana. Sampai Mbak Kirana jatuh sakit seperti ini dan Mbak Anggi tetap tidak peduli dengan Mbak, Masku jadinya ikut kepikiran juga, tidak bisa tenang sebelum persahabatan baik Mbak kembali seperti dulu lagi.”
Kirana langsung beristigfar dalam hati mengingat dirinya sudah berpikir yang tidak-tidak tentang Pak Damar, Kirana sungguh menyesal sekali. Kirana pikir, dia sudah benar, ternyata, dia juga yang salah karena ikut-ikutan sok mengalah akan sesuatu yang sebenarnya dia juga tidak berhak sok merasa paling benar seperti itu. “Pak Damar memang sudah punya kekasih ya, Vi? Kalau memang sudah punya, Anggi mungkin akan mundur dengan sendirinya. Maaf, setahuku Pak Damar waktu memperkenalkan diri dulu, Beliau bilang kalau belum menikah.”
“Ya memang. Tapi, Mas Damar sudah punya calon, kok. Memang belum go public aja. Lagian, Mas Damar bukan tipe orang yang suka hubungannya dengan seorang perempuan disebar luaskan. Dia lebih nyaman dengan hal tertutup, orang-orang tidak perlu tahu karena memang bukan urusannya juga kan Mas Damar mau dengan siapa.”
Meskipun perkataan Silvi tidak bermaksud untuk menyindir Kirana, justru Kirana sendiri yang merasa kalau dirinya tengah dievaluasi sehingga Kirana tahu apa saja yang salah sehingga hubungannya dengan Anggi bisa jadi seperti ini.
Katanya, tidak ada yang salah dalam cinta. Sekarang, Kirana tahu bahwasannya, bukan tiada ada yang salah dengan cinta, melainkan siapa yang tidak memerlukan alasan untuk menjadi benar karena cinta.
“Aku salah, Vi. Aku merasa paling benar, padahal aku juga melakukan kesalahan degan merasa paling benar. Aku pikir, dengan menjaga jarak, Pak Damar bisa dekat dengan Anggi. Tapi kenyataannya, Pak Damar sudah punya pilihannya sendiri. Seharusnya aku tidak sok tahu dengan hubungan orang.”
“Nggak papa, Mbal. Yang penting sekarang kan sudah jelas seperti apa permasalahannya.” Silvi berupaya menenangkan Kirana dengan kembali mengusap bahu Kirana pelan. “Mbak istirahat dulu gih, aku mau ke kamar mandi sebenter.”
Melihat Silvi hendak berlalu pergi membuat Kirana buru-buru menahan Silvi sebelum kian jauh. “Vi, kamu pulang saja. Aku berani di sini sendirian. Maaf ya sudah merepotkan.”
Silvi yang awalnya beranjak pergi langsung menghentikan langkahnya sendiri. Dia melihat ke arah Kirana agak tidak suka ketika mendengar kalimat terakhir yang Kirana ucapkan. “Apaan sih, nggak merepotkan sama sekali kok. Mbak istirahat aja, lagian memang aku sendiri yang ingin menemani Mbak Kirana. Memangnya Mbak tidak mau aku temani?”
Kirana menggeleng. “Bukan seperti itu. Aku cuma ndak pengen kamu kecapaian ikut nungguin aku, Vi. Lagian ini aku udah jauh lebih baik, sudah ndak sesak lagi dadanya. Kamu jangan khawatir ya. Istirahat saja di rumah, besok juga harus kuliah. Aku mau minta tolong sama Nisa sama Simi untuk memberikan suratku ke kelas besok.”
“Aku sih Mbak yang besok kasih suratnya ke Mbak Nisa sama Mbak Simi. Buat besok nggak perlu dipikirin sekarang. Yang penting Mbak istirhat dulu, biar cepat sehat.”
Karena tidak diberikan kesempatan untuk memprotes, akhirnya Kirana pasrah saja langsung memejamkan mata. Jujur saja, Kirana khawatir dengan apa dia akan membayar uang rawat inap kalau lama-lama di sini. Namun, Kirana percaya kalau Allah pasti sudah menyiapkan sesuatu untuknya setelah ini. Tidak ada masalah yang tidak ada solusinya. Jadi, Kirana harus selalu berpikir positif dan berprasangka baik tentunya.
Begitu Silvi selesai dengan urusannya di kamar mandi, saat kembali Kirana sudah tertidur lelap. Tanpa sadar, Silvi terdiam di samping Kirana dan menghela napas beberapa kali. Entah apa yang tengah gadis itu pikirkan. Namun yang pasti, dia keluar sebentar dan menemukan Pak Damar hanya duduk di kursi tunggu dengan wajah yang tak berekspresi apa-apa.
“Mas?” Silvi memanggil pelan.
Pak Damar lantas mengangkat kepalanya. Dia melihat ke arah Silvi yang mengambil ruang untuk duduk di sebelahnya.
“Mas pulang aja, istirahat, biar aku yang menjaga Mbak Kirana.”
“Dia sedang apa?” tanyanya terlihat tak bersemangat sama sekali.
“Mbak Kirana sudah tidur.”
Lelaki itu menghela napas pelan, kemudian memejamkan matanya karena berat di kepalanya yang begitu menyiksa.
“Aku antarkan dulu, ya? Nanti aku kembali ke sini lagi diantar sama Mas Dika atau Mas Aldi.”
“Jangan.” Katanya. “Kamu di sini saja, biar Mas minta Aldi datang ke sini untuk menjemput. Kamu istirahat juga. Kalau ada apa-apa, jangan lupa kabari Mas. Sudah gih, masuk sana.”
Silvi tersenyum tipis, lantas mendekat ke arah Pak Damar, tanda minta dicium keningnya karena mereka sudah seperti itu sedari dulu, saling menyangi satu sama lain. Pak Damar hanya tersenyum merasakan kelakuan adik perempuan satu-satunya ini. “Jangan aneh-aneh. Mas pulang dulu.”
“Siap, Pak. Hati-hati.” Kirana mencium tangan Pak Damar sebelum pergi, sesaat kemudian kembali ke ruangan Kirana dan ikut tidur di sopa panjang yang memang tersedia di sana.
Bagaimana Kirana tidak kepikiran kalau kelurga Pak Damar membawanya ke ruangan yang bisa dikenal kelas atas itu. Kirana masih tidak bisa membayangkan kalau besok pagi ada tagihan masuk kepadanya sampai berjuta-juta meskipun dia menginap tidak sampai 24 jam.
***
Pagi buta, di saat azan Subuh saja belum berkumandang, Kirana sudah terbangun lebih dulu daripada Silvi yang masih terlelap damai di sopa panjang. Kirana menegakkan tubuhnya, menata bantal di belakang untuk tempatnya bersandar agar tidak sakit.
Seperti kebiasaan yang selalu dirinya lakukan, Kirana selalu mengucap syukur ketika bangun tidur karena masih diberikan kesempatan untuk hidup di dunia sehingga dia masih bisa berlomba-lomba melakukan kebaikan di dunia ini tanpa mengharapkan balasan dari manusia karena Allah lah yang Maha memberi pembalasan.
Ketika seseorang berbuat baik atau katakanlah membantu seseorang yang lain, tak berarti orang yang dibantu akan membantu pula orang yang membantunya. Makanya sebaik-baiknya mengharap adalah bukan kepada makhluk, tapi kepada penciptanya. Mengharap pada makhluk hanya akan memperoleh kecewa, bed ajika mengharap hanya kepada Allah, pasti mendapat kedamain karena sadar, bahwa sejatinya, semua yang terjadi atas kehendak Allah, bukan kehendak diri sendiri.
Kirana tetap bersyukur meski apapun yang menimpanya. Kalau menurut sebagian orang, masalah yang dihadapi Kirana sekarang adalah sesuatu yang biasa dan tidak ada artinya sama sekali. Karena memang, tingkat masalah yang dimiliki setiap orang itu berbeda. Masalah yang Kirana hadapi sekarang terkesan remeh di pandangan orang. Namun bagi Kirana sendiri, dia sampai jatuh sakit karena terus kepikiran. Lalu, bukan hari Sabtu ataupun Minggu yang Kirana tunggu-tunggu saat ini, melainkan hari dimana dia bisa melarikan diri alias segera keluar dari rumah sakit. Dia yang tubuhnya dikatakan sakit saja merasa kalau dirinya baik-baik saja. Memang sih kalau bagi Kirana sendiri daripada mengaku sakit diminta untuk melanjutkan perawatan, jadi Kirana mengatakan saja kalau dia sudah tidak apa-apa—sudah tidak sakit lagi dengan harapan langsung diizinkan pulang saat itu juga. Dia realistis sekali teman-teman. Semakin lama di rumah sakit, semakin banyak pula uangnya yang melayang.
Hm, Kirana berpikiran sempit sekali dalam hal ini. Dia lupa kalau ada sang pemberi yang sangat adil. Dia khawatir tidak memiliki rezeki yang cukup sementara dia tahu ada Allah yang tidak pernah tidur. Ada Allah yang senantiasa bersamanya. Memang Kirana manusia biasa. Namun, sifatnya manusia ini tidak boleh dijadikan sebagai alasan untuk melakukan sesuatu yang tidak benar seperti meragukan sang pencipta sendiri hanya karena rezeki. Orang-orang tidak boleh lupa kalau semua yang mereka dapatkan di dunia ini adalah rahmat. Rahmat Allah yang begitu besar. Karenanya, sering kali Kirana menyesali pemikirannya sendiri yang terkadang masih suka mengeluh dalam diam dan merasa paling sulit sekali hidupnya. Padahal, kalau Kiran amau membuka mata lebih lebar lagi, dia adalah orang yang jauh sekali lebih beruntung daripada anak-anak jalanan yang hanya bisa mengamen, menjual permen, menjual koran—mereka-mereka yang selalu dirinya lihat ketika naik bus sepanjang dari Bandung menuju Depok. Di saat Kirana diberikan kesempatan untuk menempuh bangku perkuliahan, mereka hanya bisa jalan ke sana kemari demi menyambung hidup. Namun mereka tetap bersyukur dengan semua yang mereka miliki.
Sementara Kirana, dia kuliah dibiayai pemerintah meskipun orang tuanya juga tetap harus memberinya uang saku untuk bertahan hidup di kota karena Kirana sendiri juga tidak diizinkan kuliah sambil bekerja.
Kalau Bu Ghina memang mengupayakan kecukupan untuk anaknya meskipun dia yang perempuan harus kerja banting tulang sendirian karena suaminya entah ada dimana. Namun, di luar sana—yang kuliah seperti Kirana dengan keadaan ekonomi yang hampir sama, tapi tidak mendapatkan beasiswa karena terkadang beasiswa diukur dari rumah yang ditinggali oleh calon mahasiswa baru.
Contoh mudahnya saja begini. Khansa adalah anak orang kaya pada masanya. Rumahnya tingkat dua, dulu masih punya mobil dan beberapa motor. Namun karena orang tuanya sakit-sakitan, jadi tidak bisa bekerja. Dan untuk membayar rumah sakit, untuk memenuhi hidup juga, mobil dan beberapa motornya harus dijual, hingga hanya menyisakan rumah saja.
Karena sedari awal ayahnya Khansa tidak pernah mengizinkan istrinya bekerja, ketika beliau sakit, sang istri juga bingung harus mencari kerja dimana di saat dia tidak memiliki keahlian yang mumpuni kecuali memasak dan merawat anak. Prinsip orang memang beda-beda, dan tentu saja tidak bisa dipaksakan. Beliau sebagai istri tentu saja menurut dengan apa yang suaminya katakan. Tapi saat suaminya sakit-sakitan dan tidak ada lagi yang bisa dijual, istrinya pasti memutar otak bagaimanapun caranya harus bisa memperolah uang yang halal untuk menyetabilkan perekonimiannya kembali. Dan Khansa sendiri masuk kuliah di waktu-waktu sulit seperti itu.
Ketika dia berjuang untuk mendapatkan beasiswa yang diukur hanya karena kemiskinan, Khansa gugur waktu seleksi tempat tinggal karena memang rumahnya bagus, mana tingkat dua pula. Namun, viewernya lupa kalau tidak semua rumah bagus, orangnya pasti kaya raya. Alhasil, Khansa tidak lolos, dia harus menmbayar secara regular dan UKT yang ditetapkan disesuaikan dengan jumlah gaji orang tua.
Pada awalnya, Khansa sudah mendiskusikan dengan ibunya mengisi berkas-berkas sebagai persyaratan mahasiswa baru, termasuk slip gaji orang tua. Karena posisinya sang ayah sudah sakit berbulan-bulan dan tentu saja tidak bisa bekerja. Sebagai bentuk kejujuran, ibunya meminta Khansa untuk mengajukan beasiswa. Khansa sudah mencoba, dan mengisi data yang sebenar-benarnya dengan keadaan ekonominya yang sekarang. Namun tadi, dia tidak diterima beasiswa karena rumahnya yang bagus saat ditinjau. Sebelumnya, di berkas juga ada pertanyaan mengenai hutang orang tua. Khansa juga sudah menjawab jujur. Ketika ibunya menyebutkan bahwa keluaganya memiliki hutang sebanyak 42 juta, Kirana tulis sebagaimana mestinya. Namun, tetap saja dia tidak mendapatkan bantuan. Dan begitu ada pengumuman lolos, dia mendapat UKT golongan lima yang bernilai lima juta rupiah.
Dalam pikirannya waktu itu, Khansa tidak ingin megambilnya. Dia berencana kuliah tahun depan saja, dia ingin bekerja dulu. Setidaknya kalau bekerja, dia bisa sedikit-sedikit menambung dan membantu ibunya juga untuk mengumpulkan uang. Namun sayangnya, ibunya tidak setuju. Beliau tetap meminta Khansa untuk melanjutkan kuliah saja. Untuk uang kuliah, Khansa diminta tidak usah terlalu memikirkannya karena setiap anak yang lahir pasti membawa rejekinya masing-masing.
Namun kerena sadar bahwa ibunya kerja sampai banting tulang seperti itu, Khansa tidak tega jika hanya berpangku tangan. Makanya dia nekat kuliah sambil bekerja bertahun-tahun. Dia habiskan waktunya untuk kuliah sambil bekerja. Dia selalu menolak saat diajak berkumpul hingga dianggap tidak bisa kompak tanpa tahu apa yang tengah Khansa hadapi dalam hidupnya. Orang-orang memang seringnya seperti itu, langsung berkomentar tanpa tahu alasan yang sebenarnya.
Yah, seharusnya Kirana melihat kehidupan orang seperti Khansa ini ataupun para pengamen yang yatim piatu—yang hidupnya saja luntang-lantung di jalanan. Kalau Kirana melihat ke atas, dia pasti merasa kekurangan. Namun kalau dia melihat ke bawah, dia pasti merasa cukup dengan semua yang dia miliki dan tidak dia miliki sekarang. Karena pada dasarnya, semua orang sudah memiliki porsi rejekinya masing-masing. Allah tidak akan salah. Apa yang didapatkan itu, maka memang itu yang terbaik.
Kirana tersenyum di sela-sela matanya yang masih tertutup. Dia suka mengevaluasi dirinya sendiri agar bisa menjadi orang yang selalu bersyukur dengan apapun yang dimilikinya. Sampai kegiatannya itu harus terjeda karena mendengar suara Silvi yang serak, khas orang bangun tidur.
“Mbak Kirana?”
Kirana langsung membuka mata, dia tersenyum ke arah Silvi. “Ini masih pagi, Vi. Tidur lagi saja. Nanti kalau sudah Subuh, aku bangunkan.” Kata Kirana.
Silvi tidak menyahut karena sibuk mengusap matanya, kemudian kakinya diturunkan, menapak pada sandal, lantas masuk ke dalam kamar mandi untuk buang hajat sekalian mencuci muka biar tidak mengantul, sekalian juga mau salat juga, mumpung bangun.
Begitu Silvi keluar, dia langsung menghampiri Kirana, menyentuh kening perempuan itu tanpa diminta. “Udah nggak panas, Mbak. Aku izin ke depan dulu, ya.”
“Mau kemana?” tanya Kirana mendadak panik kalau ditinggalkan sendirian. “Kamu jangan pergi pagi buta begini. Kalau ada orang jahat keluyuran gimana? Kamu mau apa?”
Silvi tersenyum. Dia mau keluar karena ingin ke mushola yang tidak jauh dari ruangan Kirana, paling berjarak lima ruang saja. Silvi bisa saja salat di ruangan Kirana. Hanya saja, Silvi tidak mau memperlihatkan ibadahnya pada orang lain. Selain itu, kalau dia menangis, jadi tidak perlu dilihat oleh orang.
“Nggak keluar rumah sakit kok, Mbak. Masih di sekitaran sini. Nggak jauh serius.”
Kirana panik bukan tanpa alasan. Masih ingatkah kalian dengan Kirana yang dicopet terang-terangan waktu di Bandung waktu itu. Kirana tidak mau kalau Silvi sampai dalam bahaya hanya karena menjaganya. “Mau ke kantin, ya?” tanya Kirana lagi.
Tidak mengiyakan, Silvi langsung menyahut. “Mbak mau makanan atau minuman apa, sekalian juga nanti aku bawakan.”
“Titip tisu boleh? Hidungku meler terus dari tadi.”
“Siap, tunggu ya Mbak. Aku pergi dulu.”
“Hati-hati.” Kata Kirana.
Setelahnya, Silvi betulan meninggalkan Kirana untuk salat di sepertiga malam. Dia berdoa pada Tuhan di mushola yang tidak terlalu luas itu, tapi karena hanya dirinya di sana, Silvi bebas menangis, bermunjat kepada Tuhannya tanpa khawatir ada yang menggangu. Begitu selesai, dia langsung ke kantin untuk membelikan pesanan Kirana, selain itu beli jajan juga untuk dia cemil waktu menunggui seraya mengerjakan tugas di iPad.
“Assalamualaikum.” Salam Silvi begitu kembali.
“Waalaikumsalam.” Kirana tersenyum senang melihat Silvi sudah kembali dengan keadaan tidak kurang suatu apapun.
“Maaf ya Mbak, lama.”
Kirana menggeleng masih dengan senyuman manis yang menghiasi wajahnya. “Ndak kok, Vi. Terima kasih banyak, ya.” Dia menerima uluran tisu dari Silvi yang tidak berbau. Karena kalau menggunakan yang berbau itu, Kirana suka pusing tujuh keliling.
“Sudah tidak ada keluhan, Mbak?” Silvi yang semula masih berdiri, lantas beranjak untuk duduk di kursi yang berada di samping Kirana. Gadis itu berupaya memastikan keadaan Kirana sekali lagi daripada dia kena amuk kakaknya kalau dia tidak bisa menjaga Kirana dengan baik.
“Ndak, Vi. Aku sudah sehat kok.” Jelas saja yang ditanyai langsung menjawab sesuatu yang baik-baik saja sementara Silvi hanya bisa memutar bola matanya malas. Salah juga sebenarnya dia bertanya pada Kirana. Seharusnya dia bertanya pada dokter saja. Kalau dengan Kirana, dia sakit juga dikatakan kalau baik-baik saja. Perempuan-perempuan. Sakit bilang tidak. Memang benar-benar membutuhkan makhluk Tuhan yang memiliki pemikiran tingkat tinggi untuk bisa mengerti dengan isi hati seorang perempuan.
“Nggak sakit, tapi mukanya masih pucat gitu.” Sindir Silvi secara halus. “Jujur aja sih, Mbak. Kalau Mbak tutup-tutupin, nanti malah nggak sembuh-sembuh.”
Kirana jadi meringis, tidak enak karena pasti sudah menyusahkan Silvi sekali karena sampai menunggi dirinya seperti ini dan Kirana masih saja tidak berterus terang saja. “Maaf Vi, tapi aku ndak enak yo kalau terus-terusan di rumah sakit. Biasanya kalau sakit, minum obat sudah cukup, ndak perlu sampai diopname.”
“Tapi kan Mbak Kirana kemarin sampai sesak napas. Sudah dipanggilkan sama dokter keluarga juga katanya Mbak Kirana harus dibawa ke rumah sakit biar dapat penangan lebih tepat. Masak sudah sampai sini malah Mbak nggak mau kooperatif sama dokternya?”
Kirana tidak menyahut karena jujur, dia juga masih bingung harus membayar biasa rumah sakit dengan apa nanti. Kalau mau menggunakan tabungannya, bisa. Namun sayang sekali harus amblas begitu saja hanya untuk membayar rumah sakit. Itupun kalau cukup, kalau kurang, Kiran pasti juga bingung harus mencari tambahan kemana. Kalau menghubugi ibunya dan meminta uang, Kirana tidak mau membuat ibunya sampai khawatir. Karena yang Bu Ghina tahu, Kirana sakit tapi tidak sampai diopname. Kalau tahu sampai diopname, Bu Ghina pasti langsung menyusul Kirana.
Ya, Kirana tahu kalau hal paling mahal di dunia ini adalah kesehatan. Namun kembali lagi kalau dia bukan orang beruang yang mampu membayar apapun yang diinginkannya.
“Kalau Mbak memikirkan biaya, jangan dipusingkan lagi.” Silvi kembali bersuara yang membuat Kirana akhirnya menatap Silvi serius. “Maaf sebelumnya Mbak, tanpa mengurangi rasa hormat, biar keluargaku yang memenuhi tagihannya, Mbak. Sebagai tanda terima kasih karena Mbak Kirana sudah membantu Mas Damar, juga selalu membantuku juga waktu Mama sibuk mengurus Mas Damar, sampai rela menamaniku ke Bandung yang malah membuat persahabatan Mbak Kirana jadi diambang kehancuran seperti ini dengan Mbak Anggi.
“Sungguh ndak papa, Vi. Aku ikhlas menolong. Kalau hubunganku dengan Anggi, kamu tidak perlu merasa bersalah, itu bukan salah kamu.” Kirana berupaya menjelaskan karena dia malah tidak enak hati sendiri mendengar penuturan Silvi yang terkesan malah menyalahkan dirinya sendiri. Padahal, Kirana tak pernah sekalipun menganggap bahwa gara-gara Silvi semua permasalahan ini bermula.
Silvi malah tersenyum menenangkan di saat Kirana sudah khawatir setengah mati kalau Silvi merasa bersalah. “Tenang Mbak, aku nggak menyalahkan diri sendiri kok.” Katanya seakan bisa membaca apa yang sedang Kirana pikirkan sekarang. “Aku bicara yang sejujurnya saja. Mama bahkan setuju kok, Mbak. Beliau juga berterima kasih sekali dengan Mbak Kirana karena sudah membantu Mas Damar.”
“Tapi itu hanya beberapa haris aja, Vi. Dan aku juga tidak keberatan karena bisa disambi untuk belajar. Tolong, tidak usah.” Kata Kirana semakin tidak enak hati. Kirana tidak mau gelap mata dengan memanfaatkan kebaikan orang. Kirana tidak mau sampai dia ketagihan karena mendapat bantuan orang lain. Kirana tidak mau itu. Dia tidak mau menjadikan kelemahannya menjadi sesuatu untuk memperoleh simpatik dari orang lain di saat Kirana masih mampu untuk berdiri di tas kedua kakinya sendiri.
Tangan Silvi yang tadinya tergeletak ada di pangkuannya sendiri langsung diangkat untuk menggapai tangan Kirana erat, diusapnya punggung tangannya lembut. “Nggak Mbak, kami tidak ada yang berpikir seperti yang Mbak Kirana pikirkan. Tolong diterima ya.”
Wajah Kirana yang seperti menahan tangis tetap tidak membuat Silvi berhenti membujuknya. “Maaf Vi, bukan maksudku menyinggung kamu maupun keluarga kamu yang lain. Tapi, aku lebih terima kalau bantuan itu berbentuk hutang saja. Tapi, aku minta izin untuk menyicil membayarnya.”
Silvi tidak tersinggung dengan permintaan Kirana barusan. Justru, dia senang sekali bisa dipertemukan dengan orang seperti Kirana. Dari Kirana, Silvi yang sudah kaya karena dilahirkan oleh orang tua yang kaya raya juga jadi bisa belajar banyak orang dari Kirana mengenai kehidupan yang ternyata memang sesederhana itu jika orang-orang mau berpikir sederhana. Seperti halnya hidup hanya untuk beribadah. Karena sejatinya, manusia diciptakan hanya untuk beribadah kepada Tuhannya. “Iya, terserah Mbak Kirana saja.” Kata Silvi sambil tersenyum tulus.
Dengan mata berbinar—dengan tatapan yang begitu pulas juga—ganti Kirana yang balik merengkuh tangan Silvi erat. “Terima kasih banyak ya, Vi. Aku hutang banyak sama kamu.”
“Sama-sama Mbak."
Begini lah indahnya kalau berbuat baik tanpa mengharapkan imbalan, tahu-tahu bantuan Allah datang begitu saja dengan perantara yang tidak pernah Kirana harapkan sebelumnya karena Kirana meletakkan semua harapannya hanya kepada Allah.