Mungkin teman-teman satu kelas Kirana menganggap Kirana kurang beruntung pagi ini karena Bu Astuti baru saja masuk, Kirana membuka pintu masih membawa tas punggung sekolahnya.
Orang seperti Bu Astuti yang sudah puluhan tahun mengajar mahasiswa pasti sudah tahu alasan dari A sampai Z yang sering mahasiswanya lakukan. Jadi Kirana yang belum pernah terlihat masalah dengan dirinya sekalipun, pasti pagi ini akan mendapat masalah dengannya juga.
"Di jadwal yang sudah kalian terima di awal semester hari Kamis masuk pagi atau siang, cah? Teman kalian tidak punya jam, makanya baru berangkat. Orang saya yang sudah terlambat cukup lama malah dia lebih terlambat dari saya. Kamu itu niat kuliah atau tidak? Kalau tidak, putar balik sana, pulang, tidur lagi." Sindir Bu Astuti pada Kirana panjang lebar ketika Kirana tidak langsung duduk, melainkan menghampiri Bu Astuti dulu di depan kelas.
Kirana yang damarahi tidak membalas sama sekali perkataan Bu Astuti karena memang dia yang salah. Jadi, mau Bu Astuti memarahinya pun, Kirana terima-terima saja. Lagipula, memang Kirana terlambat. Bu Astuti ini memang dosen yang suka mengkritik mahasiswanya apabila memilki masalah dengannya walaupun hanya sekali. Meskipun selama ini Kirana tidak pernah memiliki masalah dengannya dan nilainya di semester sebelumnya selalu A, bukan berarti sekarang Kirana lolos dari kritikan mautnya. K
Dari sudut pandang manapun, Kirana memang bersalah jadi Kirana juga tidak membela dirinya sendiri.
"Apa kamu tidak ingin membela diri?" Bu Astuti bertanya santai dengan lirikan sinis ke arah Kirana yang menunduk dalam.
"Tidak, Bu." Kirana hanya menggeleng pelan. "Memang saya bersalah karena masuk kelas terlambat. Seharusnya saya sudah beradap di dalam kelas sebelum jam tujuh karena sedari dulu jadwal mata kuliah Bu Astuti memang di pagi hari."
Bu Astuti mengangguk santai. "Oh bagus, berarti memang sadar diri kalau salah. Silakan duduk," perintahnya. "Minggu depan terlambat lagi, ya. Akan saya suruh kamu mengikuti kegiatan pembelajaran di luar, tidak pernah mengikuti perkuliahan mata kuliah saya. Jangan mentang-mentang nilaimu bagus kamu bisa seenaknya di mata kuliah saya. Saya bukan teman sebaya kamu yang bisa kalian semua gampangkan."
Kirana langsung berterima kasih meminta maag berulang kepada Bu Astuti. Dia berterima kasih karena diizinkan masuk dan mengikut mata kuliahnya. Biasanya, mahasiswa yang terlambat di jam perkuliahannya sedetik pun dari Bu Astuti tidak akan diperbolehkan mengikuti mata kuliahnya sama sekali. Namun sekarang Kirana diperbolehkan meskipun tadi di awal dimarahi. Ya memang Kirana juga yang salah karena terlambat. Lagi pula, Kirana tahu diri kalau memang dirinya yang salah. Karena itu dia juga meminta maaf dan berjanji berusaha untuk tidak mengulanginya lagi
"Terima kasih banyak, Bu. Maaf sudah terlambat masuk. Di jam mata kuliah ibu selanjutnya, saya berjanji tidak akan terlambat lagi. Sekali lagi terima kasih, Bu." Kirana menunduk sopan.
"Ya sudah sana kembali ke tempat duduk sendiri."
Kirana langsung buru-buru menuju tempat duduknya yang memang selalu di depan. Kemudian Faisal memimpin doa dan mereka semua berdoa menurut agama dab kepercayaan masing-masing. Begitu selesai, perkuliahan langsung dimulai. Semua orang mendengarkan Bu Astuti yang tengah menerangkan di depan dengan seksama. Kirana lega sekali tidak jadi diusir. Besok-besok, dia akan lebih pagi lagi kalau berangkat, biar hal ini tidak terjadi lagi.
Begitu jam pertama dan kedua selesai, Bu Astuti keluar setelah memberikan tugas kepada kelas mereka. Dan karena jam ketiga dan keempat merupakan jam mengajarnya Pak Damar, Kirana kembali maju ke depan kelas.
Tadi pagi sebelum berangkat, Nisa ditelfon oleh Faisal perihal nanti waktu pelajaran Pak Damar akan disisipkan informasi tentang keadaan Pak Damar kapada anak kelasnya. Karena Pak Damar memang menjadi wali dosennya sejak di semester satu dan sekarang sudah semester empat.
Ketika Kirana mengatur untuk proyektor, Faisal ikut maju ke depan, lebih tepatnya di tengah ruangan, menyampaikan informasi kepada teman-temannya saat itu juga.
"Gaes, sebelumnya gue minta perhatian lo semua. Semalem, lebih tepatnya sekitar ba'da Magrib, Pak Damar kecelakaan waktu keluar dari tol Jakarta-Bandung. Semalem juga waktu Kirana submit tugas, katanya Kirana, adiknya Pak Damar yang terima tugasnya kita. Terus waktu dikonfirmasi, memang benar Pak Damar kecelakaan. Beliau masih si rumah sakit daerah Bandung. Rencananya nanti siang atau sore gitu baru bisa dipindah ke rumah sakit Depok. Tapi, gue nggak tau juga ini nantinya jadi apa enggak. Cuma sebagai anak kelasnya, kita harus jenguk Beliau." Kata Faisal panjang lebar.
"Rencananya, mau berangkat kalau Pak Damar udah dibawa ke Depok. Tapi kalau Oak Damar tetap di Bandung, paling pas libur kita kesananya. Gimana, kira-kira ada yang berhalangan hadir, kah?"
Adi, salah satu laki-laki di kelas tersebut mengangkat tangannya, "izin tanya, Sal. Kalau si sini, kapan? Kita ramai-ramai jenguk apa nggak bikin gaduh rumah sakit?"
Faisal baru sadar. Iya juga. Daripada membuat kedamaian, teman-temannya pasti membuat ricuh karena pasti ramai dan sibuk dengan urusannya sendiri-sendiri. Akan lebih baik menjenguknya waktu Pak Damar pulang saja, jadi bisa lebih luang waktunya dan pastinya keadaan Pak Damar sudah lebih baik.
"Iya juga, sih." Faisal manggut-manggut. "Gimana kalau di rumahnya aja? Nanti gue tanya anak sebelah yang masih sepupunya, pasti tahu lah rumah Pak Damar di mana tempatnya."
"Bau dibawakan, apa?" Nadia yang sebagai bandara kelas juga bertanya.
"Buah aja, sih? Emang mau dibawakan apaan? Masih diterima aja udah alhamdulilah banget." Kata Faisal. "Dulu kan ada tuh yang diusir waktu jenguk wali dosennya sendiri."
"Ok, deh. Berarti buah, ya. Ntar lo semua gue tarikin yang kas satu-satu. Jangan pada pulang dulu." Kata Nadia ini lagi memberikan ultimatumnya.
"Oh iya, gimana kalau ada beberapa perwakilan dulu buat jenguk? Seenggaknya ada yang tahu keadaan Pak Damar gitu, kita bantu doa juga supaya cepat sadar. Soalnya berita terakhir yang gue dapet, Pak Damar belum sadarkan diri."
"Parah ya kecelakaannya, Sal? Kemarin ada berita di TV, sih. Cuma gue nggak tahu itu Pak Damar atau bukan yang didaerah Bandung itu." Aldi lagi-lagi menyahut karena memang suka menonton berita. Siapa tahu itu memang benar Pak Damar. Kalau benar Pak Damar, di televisi kemarin dikabarkan parah.
"Nah kalau ini gue juga kurang tau. Orang gue udah tanya sepupunya juga belum tau pasti keadaannya kayak gimana. Cuma informasi terkahir, udah ditemuin sama keluarganya gitu. Kirana kan juga bilang kalau emailnya sama orang yang ngaku adiknya. Bisa jadi memang udah di sana kan pihak keluarganya, pada jagain."
Fadil yang menjadi wakil kelas ikut menyahut karena teman-temannya sibuk menyimak. Mereka diam bukan berarti tidak peduli. Justru karena mereka peduli tidak ada yang seenaknya ketika membahas Pak Damar. Semua orang fokus ke depan, tidak ada yang sibuk bicara sendiri ataupun sibuk memainkan gawainya. "Gini aja, kita beberapa berangkat ke sana Jumat, ntar pada nginep di rumah gue, deh. Sabtunya kita jenguk. Ini buat yang perwakilan aja dulu. Entar yang full time waktu Pak Damar udah balik ke Depok."
"Setuju sih, gue ikut." Randi menyahut.
"Gue juga dong, sekalian mudik." Iqbal yang memang rumahnya Bandung ikut-ikutan. Kapan lagi pulang Bandung bisa nebeng temennya yang punya mobil dan cuma iuran uang besin pula kalau seandainya yang punya mobil mau dibayar. Kalau tidak, gratis sampai rumah.
"Ok." Kata Faisal. "Di data dulu siapa-siapa yang ikut, nanti tetep minta uang kelas ya, Nad. Mau beli buah buat besok."
"Ya. Beli di sana aja yang baru, yang seger." Nadia menambahkan.
"Setuju kan, gaes?" Faisal kembali bertanya yang serempak teman-temannya menjawab setuju.
Kirana yang masih berdiri di dekat meja sedari tadi mendengarkan dengan seksama. Tiba-tiba, dia malah mengingat Anggi. Dia lupa mengabari Anggi tentang Pak Damar yang kecelakaan. Mungkin nanti dia akan memberi tahu. Sekarang Kirana akan fokus menyampaikan materi dari Pak Damar.
"Hah Ki, ayo." Faisal menegur Kirana yang malah melamun di depan kelas. Kirana yang tersadar hanya mengangguk dan segera menyampaikan materi kedua yang diberikan Pak Damar kepada seluruh teman-temannya, termasuk juga tugas yang dikumpulkan seperti hari lalu. Hanya saja, tugasnya lebih sulit dari yang kemarin. Semoga saja mereka bisa mengerjakannya meskipun tidak maksimal. Namun, Pak Damar lebih menghargai mahasiswanya yang berusaha betul-betul daripada mencontek tidak mau berusaha.