28. Orang yang Bermanfaat

1678 Kata
Kirana pernah sekali mendapatkan kabar ibunya sakit ketika dirinya masih di Depok. Kala itu yang memang hari kerja atau masuk sekolah, Kirana tidak pedulikan dan memilih pulang untuk menjaga ibunya. Lalu sekarang ketika mendengar Pak Damar kecelakaan, Kirana jadi bingung sendiri harus melakukan apa sampai Nisa yang memang sudah kembali lantas bertanya. "Ki, kenapa seperti orang bingung? Ada apa?" Gadis itu menggeleng kemudian menoleh ke arah Nisa dengan mata yang memerah. "Pak Damar kecelakaan, Nis." "Pak Damar?" Nisa bertanya kebingungan. "Pak Damar yang mana?" Kirana langsung menunjuk laptop yang masih dibukanya. Kemudian mengusap wajahnya berkali-kali sambil menyebut tiada henti. "Lhoh, wali dosenmu? Kecelakaan di mana? Parah nggak?" "Ndak tau, Nis. Tugasku kan mengumpulkan di emailnya. Begitu aku kirim, cepat sekali mendapat balasan. Dan isinya seperti ini." Kirana menunjuk tampilan kotak masuk di dalam emailnya pada Nisa. Nisa membaca dengan seksama. "Kamu salah alamat email kali, Ki. Coba kirim ulang, batas pengumpulannya tengah malem, kan? Siapa tau aja lo salah alamat email." Kirana menunjukkan balasan percakapan antara dirinya dan Pak Damar di kolom itu yang membuat Nisa tidak bisa meragukan lagi ada kesalahan alamat email. "Katua kelas kamu hubungi pakai handphone aku aja, Ki. Punya nomornya, kan?" "Iya ada, Faisal ketua. Tolong carikan ya, Nis. Aku mau membalas dulu emailnya ini." Mereka bergerak cepat. Ketika Kirana membalas email tersebut, berupaya meyakinkan dirinya sendiri sekaligus ingin menyampaikan info kepada teman-temannya. Dan kembali lagi yang membalas mengatakan kalau dia adalah adiknya Pak Damar dan memang benar Pak Damar mengalami kecelakaan saat keluar gerbang tol. "Ini Ki, udah." Nisa mengulurkan handphonenya kepada Kirana yang sudah menampilkan ruang perpesanan dengan Faisal. Kirana tentu saja langsung mengirimkan pesan kepada Faisal yang berharap ketua ketua kelasnya itu belum tidur sehingga beritanya bisa langsung tersampaikan ke teman-temannya. Setelah mengirimkan pesan tersebut, Kirana diam merebahkan tubuhnya di ranjang dengan lengan kirinya yang ditekuk sehingga menghalangi wajahnya terlihat. Sementara Nisa memperhatikan handphonenya, siapa tahu ketua kelas Kirana segera memberikan balasan. Betul saja, tak selang lama kemudian handphone Nisa berdering dan bergetar pelan. Kirana yang memang hanya rebahan langsung bangkit, kembali mengecek handphone Nisa. "Bagaimana, Nis? Dibalas?" tanya gadis itu ingin tahu sekali. Kirana tidak tenang sejak mendapatkan balasan email seperti itu. Takutnya handphone Pak Damar hilang dan ditemukan oleh orang asing yang mengaku-ngaku. Itu semua bisa saja terjadi, bukan. "Ya, Ki. Nih baca." Dengan cekatan Nisa mengulurkan handphonenya kepada Kirana agar gadis itu bisa membacanya sendiri. Di sana Faisal meneruskan pesan dari grup angkatan. Yang memberikan kabar memang dari pihak keluarga sendiri yang kemudian diteruskan ke salah satu keluarganya yang memang sedang duduk di bangku perkuliahan. Satu angkatan dengan Kirana. Pesan itu berisikan konfirmasi atau pemberitahuan bahwa Pak Damar memang kecelakaan di Bandung seperti balasan yang ada di email tadi. Di pesan itu juga ditujukan pada Kirana bahwa, tugas hari ini sudah diterima. Membaca pesan itu membuat Kirana ingin menangis. Pak Damar adalah dosen yang baik. Beliau sudah banyak membantu Kirana sejak ada insiden pembullyan waktu itu. Semoga Allah melindunginya. Teringat sesuatu, Kirana mengulurkan kembali handphone Nisa kepada yang punya. "Nis, makasih banyak, yo. Ini aku mau menghubungi Anggi dulu." "Yoi, sama-sama. Yang sabar ya, Ki. Pasti bingung setelah ini mendapat materi darimana." Kirana melupakan Anggi dan langsung menepuk kepalanya sendiri cukup keras. "Ya Allah, iya ya, Nis. Aku gimana memberikan materinya kalau Pak Damar, sakit? Apa mau digantikan dosen lain sementara waktu?" "Coba tanya lewat email. Tapi, untuk yang besok sudah ada materinya, kan?" Nisa malah jadi ikut berpikir tentang nasib Kirana. Sungguh ketinggalan jam mata kuliah satu dosen pun rasanya rugi sekali karena harus melewatkan ilmu yang akan diberikan beliau-beliau yang dimandatkan sebagai tenaga pengajar. "Iya, Nis." Kirana mengangguk pelan. "Masih Kamis besok dan Jum'at. Paling besok ada kabar masuk lagi, ya. Soalnya jam Pak Damar 6 jam per minggu." "Semoga, deh. Semangat Kirana. Duh, belum lulus juga udah jadi asisten dosen, mau jadi calon dosen." "Aamiin..." Mereka kompak mengaminkan bersama dengan tawa dan senyum yang saling dilempar senang. "Ya udah yuk, istirahat. Tugas udah selesai semua, kan?" sebelum berbaring, Nisa mengingatkan lagi temannya yang pelupa ini. Kirana mengangguk mantap. "Sudah semua, materi besok juga sudah siap. Sebentar, aku mau ambil wudhu dulu." Saat Kirana beranjak keluar, Nisa pun mengikuti. Mereka berwudhu secara bergantian, kemudian bersiap tidur setelah membaca amalan-amalan yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. Nisa lantas tertidur begitu pulasnya. Sampai mata Kirana yang tak kunjung bisa terpejam lelap kembali terbuka saat pintunya diketuk pelan dan masuklah Simi yang senyam-senyum tidak jelas. "Kenapa, Sim?" "Nginep ya, Ki? Mbak Endah nginep di kost temennya, aku nggak berani tidur sendiri." "Sini-sini." Kirana penepuk sisi ranjang yang kosong, kemudian Simi langsung tidur di tengah-tengah Kirana dan Nisa. "Makasih, Ki." Gadis yang baru datang itu tersenyum tulus, lantas tidur. Di saat semua temannya yang malam ini tertidur mudah sekali, Kirana hanya bisa berdoa dalam hati. Perasaannya tidak tenang memikirkan Pak Damar. Sudah. Kirana sudah berupaya melupakan Pak Damar dengan mendoakan kesembuhannya. Namun tetap saja di kepalanya Pak Damar terus isinya. Kirana jadi bertanya-tanya, kalau dipikirkan begini, apakah Pak Damar bisa merasakannya atau tidak? Kalau bisa, apalagi sampai mengetahui orangnya siapa, Kirana pasti malu sekali kalau hal itu betulan terjadi. Gadis itu bahkan sampai lupa mengabari Anggi. Mungkin besok kalau ingat Kirana akan menghubungi Anggi. Sahabatnya itu pasti sedih mendengar orang yang laki-laki yang disukai atau malah benar-benar sudah dicintainya mendapat musibah. *** Kirana pergi tergesa saat tadi di perjalanan macet parah hingga sampai di depan gerbang sudah mepet sekali waktunya. Belum lagi harus berlari ke lantai tiga gedung A. Perempuan itu memutuskan naik lift dan bertemu salah seorang perempuan muda yang terlihat modis, Kirana tersenyum dengan tundukkan sopan. Gadis itu tidak tahu siapa gerakan perempuan cantik ini. Namun yang pasti satu, dia memakai hijab dan cantik sekali. Kalau kata Kirana, seperti bintang film. Begitu lift terbuka, Kirana sudah buru-buru ingin berlari menuju ruangannya, perempuan cantik berhijab itu juga sama keluarganya, memanggil Kirana. "Maaf, Mbak." Perempuan yang belum dikenal Kirana ini memanggil. Kirana jelas menoleh karena di sana hanya ada mereka. "Iya, Mbak?" "Maaf, mau bertanya, Mbak. Kalau ruangan dosen dimana, ya? Saya ingin bertemu dengan Pak Suko." "Oh, di lantai lima, Mbak." "Bisa tolong temani saya sebentar? Saya kurang tahu tempat-tempat di sini." Haduh. Jantung Kirana saja sudah berdebar-debar sedari tadi karena terus berjalan cepat sesekali berlari untuk bisa sampai kelasnya tidak kurang suatu apapun. Namun, melihat wajah agak bingung perempuan berhijab di depannya ini, Kirana langsung mempersilakan saja. "Mari saya antar, Mbak." "Terima kasih." Balas perempuan itu. Dia senang sekali karena tadi sempat minta diantar anak di bawah, tapi tidak ada yang mau. Sementara dia melihat penjaga di dekat tangga sedang sibuk sarapan, jadi tidak tega mengganggu. Kirana dan perempuan itu lantas masuk ke dalam lift lagi, menuju lantai lima. Di waktu yang singkat itu, perempuan berhijab cantik tadi mengulurkan tangannya kepada Kirana. Yamg yang langsung Kirana terima dengan senang hati. "Saya Silvi, Mbak." "Saya Kirana, Mbak." Jujur, Kirana senang sekali. Baru sekarang ada seorang cantik yang Kirana perkiraan orang berkecukupan tidak masalah bersalaman dengan dirinya yang dicap sebagai si cupu dan si miskin yang tidak punya apa-apa. Kirana jadi terharu sampai ingin menangis. Orang-orang pikir, di dunia ini sudah habis orang-orang baiknya. Namun, dari sini Kirana tahu kalau Tuhan Maha Adil. Kalau ada yang buruk, maka ada yang baik juga. Dunia harus seimbang. Ada hidup ada mati, ada malam ada siang. Sampai di lantai lima, Kirana mengantarkan Mbak Silvi ini sampai ke ruangan dosen, diantar menuju meja Pak Suko yang kebetulan sudah datang. Kemudian Kirana menunggu di luar dengan perasaan makin tidak enak. Dia tahu kalau sudah terlambat. Jadi ya sudah dia teruskan saja untuk membantu orang. Kirana selalu ingat nasihat ibunya kalau tugas kita sebagai manusia baik kepada orang dan senantiasa membantu sesama. Kalau yang dibaiki tidak baik kepada kita, bukan berarti harus berhenti berbuat baik kepada orang lain. Kalau dihitung betul-betul, mungkin sekitar dua puluh menit lebih Kirana menunggu di luar dengan mata yang tak ada hentinya melihat jam menggunakan dot matriks yang berada di tengah lorong. Meskipun tahu sudah terlambat, dia tidak bisa membayangkan dimarahi Bu Astuti. Semoga saja dia tetap diperbolehkan masuk ke dalam kelas. Atau kalau boleh berdoa, Kirana berharap kalau Bu As tidak masuk saja. Kirana tahu itu perbuatan salah. Hanya saja, dia juga mahasiswi pada umumnya. Dosen tiba-tiba tidak hadir padahal jadwalnya quiz tetap surganya Kirana juga. Dan entah bertambah menit berapa lagi sampai Mbak Silvi ini keluar membawa berkas-berkas. Dia tersenyum begitu tulus ke arah Kirana. "Mbak sudah. Terima kasih sekali ya sudah diantarkan. Maaf merepotkan." "Tidak apa-apa, Mbak. Tidak merepotkan sama sekali." "Mari, Mbak. Mbak mau ke lantai mana?" sambil menyusuri lorong menuju lift, Mbak Silvi bertanya. "Lantai tiga, Mbak." "Ada urusan apa, ya?" "Ada kelas, Mbak." "Oh." Mbak Silvi menatap Kirana terkejut. "Lhoh maaf, Mbak. Saya kira tadi tidak tergesa. Mari saya antar ke ruang kelasnya. Akan saya jelaskan kepada dosen yang bersangkutan." Kirana langsung menggeleng begitu saja. "Tidak perlu, terima kasih, Mbak. "Tidak apa-apa. Akan saya jelaskan." Mbak Silvi bersikeras. Jangan sampai karena dirinya, Kirana jadi mendapatkan hukuman karena terlambat. Namun tetap saja Kirana menolak dibujuk seperti apapun. Karena Kirana tahu kalau Mbak Silvi ini juga sama-sama punya urusan. Jadi Kirana akan menghadapi Bu Astuti sendiri. Lagipula Kirana tidak berniat meninggalkan jam kuliah. Dia hanya ingin membantu orang. Allah pasti tahu niat baiknya. Dan niat yang baik, apalagi ini sudah terealisasikan menjadi perbuatan baik, pasti akan diberikan kemudahan oleh Allah dalam setiap urusannya. Kirana sangat bersyukur karena dirinya masih berguna bagi orang lain walaupun hanya terkesan hal kecil yang sepele seperti ini. Namun tidak apa-apa, Kirana sudah senang sekali. Dia hanya ingin hidupnya bermanfaat seperti yang selalu ibunya nasihatkan kepadanya. Kalau jadi orang, harus bermanfaat bagi seseorang yang lain. Selain itu, kalau tidak bisa bermanfaat, setidaknya tidak merugikan. Itu prinsip yang Kirana pegang sadari dulu. "Saya keluar dulu ya, Mbak." Kirana pamit begitu sopan ketika lift terbuka di lantai tiga. Mbak Silvi mengangguk mempersilahkan. "Sekali lagi terima kasih banyak ya, Mbak Kirana. Hati-hati." "Mbak juga hati-hati. Maaf saya hanya bisa membantu sampai di sini." Kirana lantas keluar menuju ruangannya sendiri dengan langkah tergesa. Apapun hukuman yang diberikan oleh Bu Astuti nanti, Kirana akan menerimanya dengan senang hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN