Kirana paham kenapa dirinya tiba-tiba dipanggil Bu Astuti sebelum beliau keluar dari ruang kelas. Tentu saja Kirana diberi sedikit hukuman karena keterlambatannya tadi. Seandianya saja tadi mata kuliah Pak Damar, Kirana pasti tidak akan diizinkan masuk dengan alasan apapun. Jadi, intinya, apapun itu, Kirana mensyukurinya. Tidak ada hal yang kebetulan di dunia ini, semuanya sudah diatur.
Karena hukuman itu, di sinilah Kirana berada, di ruang dosen sedang sibuk mengecek pekerjaan temannya di samping meja Bu Astuti. Dia yang seharusnya pulang pukul tiga sore tadi masih di kantor sampai pukul empat sore. Kirana juga tidak berani kalau meminta izin pulang lebih dulu sebelum Bu Astuti mengatakan Kirana sudah boleh pulang. Bagi Kirana, yang terpenting dia sudah salat sehingga tidak khawatir lagi.
Sampai entah kenapa, Kirana yang fokus mengerjakan pekerjaannya itu mendengar Bu Astuti mulai berbicara dengan seseorang. Kirana tentu saja tidak ikut-ikutan, dia hanya terus fokus menatap laptop di tempatnya. Sampai akhirnya, kepalanya harus terangkat ketika namanya dipanggil.
"Mbak Kirana?"
"Lhoh, Mbak Silvi?" panggil Kirana balik, agak berpikir berat, takutnya salah panggil. Tapi sepertinya benar karena Mbak Silvi ini tidak mengoreksi panggilan yang Kirana sebutkan.
Bu Astuti yang duduk cantik langsung saja bertanya, bagaimana keponakannya Silvi bisa mengenal Kirana. "Kok bisa tahu namanya, Dek? Tahu dari mana?" tanyanya ingin tahu.
Silvi lantas melihat ke arah Bu Astuti seraya tersenyum, kemudian menceritakan kejadian-kejadian pagi tadi kepada beliau. "Jadi pagi tadi saya cari ruangan dosen di gedung SA, Bu. Tapi karena pagi, belum banyak orang dan waktu saya tanya, jawabnya di lantai 5 saja. Saya sudah minta tolong diantarkan tapi tidak ada yang mau mengantar dengan alasan sudah mau masuk kelas. Alhamdulillah, waktu di lift ketemu sama Mbak Kirana ini, jadi diantarkan langsung ke kantor untuk mengambil berkas nilainya Pak Damar yang ketinggalan."
"Lhoh?" Bu As malah menatap Silvi dan Kirana terkejut. "Tadi jam pertama dia terlambat, ini sedang saya hukum. Ternyata habis mengantar kamu. Kenapa nggak bilang, Kirana?"
"Karena memang terlambat, Bu. Jadi pantas dihukum."
"Kalau kamu mengatakan habis mengantarkan orang ke kantor, pasti tidak akan saya hukum." Bu Astuti lantas melihat ke arah Silvi, memperkenalkan pada Kirana. "Ini Silvi, adiknya Pak Damar."
Dalam hati, Kirana bersorak penuh tanya.
'Bagaimana bisa'
Kemudian, Bu Astuti gantian memperkenalkan Kirana pada Silvi. "Dek, ini mahasiswanya Pak Damar. Yang paling pinter sendiri. Ini orangnya."
Silvi yang dasarnya pergi ke kampus untuk mencari Kirana juga sama terkejutnya. "Oh, berarti yang saya balas emailnya lewat iPad Pak Damar itu kamu ya, Mbak?"
Kirana mengangguk yang membuat Silvi menghela napas lega. "Alhamdulillah bertemu juga. Pak Damar titip pesan kepada saya Mbak, meminta saya untuk menyampaikannya kepada Mbak Kirana. Nanti kalau ada waktu luang, izin meminta waktunya sebentar untuk berbicara ya, Mbak? Saya tunggu di luar dulu."
"Eh, sekarang saja, Vi." Bu Astuti memanggil Silvi yang ingin pergi begitu saja, lalu menoleh ke arah Kirana cepat. "Kamu tinggalkan pekerjaan kamu, biar saya lanjutkan. Bicara dulu dengan Silvi."
"Apa nanti harus kembali ke sini lagi, Bu?" Kirana tetap bertanya sopan. Takutnya nanti Kirana lupa mendapatkan hukuman dan malah ditinggal pulang begitu saja pekerjaannya dengan Bu Astuti.
"Tidak perlu. Terima kasih."
Kirana sudah pasti senang sekali. Dia tersenyum begitu tulus ke arah Bu Astuti. "Terima kasih banyak, Bu. Saya pamit dulu. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Jawab Bu Astuti sudah kembali ramah.
Lihat kan, semua orang pasti memiliki kebaikan. Dihukum bukan berarti orang yang menghukum membenci orang yang dihukum. Bisa jadi, malah orang yang menghukum ini begitu mencintai karena tidak ingin orang yang dihukum sampai menyesal di kemudian hari karena melakukan perbuatan yang salah.
Dengan semangat, Kirana menghampiri Silvi yang ternyata duduk di depan. "Mbak Silvi?"
Silvi pun menoleh dan bergegas bangkit menghampiri Kirana. "Di kantin saja ya, Mbak. Niar lebih enak, sekalian saya mau beli minum."
"Iya." Jawab Kirana langsung saja. Dia juga sudah haus karena terakhir minum air putih saat salat Dzuhur tadi.
Seraya berjalan beriringan, ada banyak pasang mata yang memperhatikan Kirana dan juga Silvi. Ada yang secara terang-terangan menatap tidak suka, ada juga yang melihat mereka biasa saja. Bahkan ada satu, dua, bahkan lebih dari sepuluh orang yang menyapa Silvi. Kirana yang memang tidak kenal diam saja. Kalau ikut disapa ya dijawab, kalau tidak ya sudah.
Begitu tiba di kantin, mereka duduk di satu meja, berhadap-hadapan. Kemudian Silvi pergi sebentar sementara Kirana menjaga tas keduanya. Begitu Silvi kembali, dia sudah membawa dua botol air mineral tanggung dan memberikan salah satunya kepada Kirana.
"Ini, Mbak."
"Berapa, Mbak?" Kirana langsung bertanya.
Silvi hanya tersenyum menenangkan ke arah Kirana. "Diminum saja, Mbak. Itu untuk Mbak. Anggap saja sebagai ucapan terima kasih saya karena sudah diantarkan tadi pagi sampai dihukum Bu As."
Tidak mau menolak rejeki, Kirana lantas berterima kasih. "Terima kasih, ya. Soal yang Bu As tadi, tidak apa-apa. Memang saya dasarnya sudah terlambat tadi."
"Tapi kalau Mbak tidak repot-repot mengantarkan saya dulu, pasti masih ada waktu pergi ke kelas dengan selamat sentosa."
Kedua gadis itu malah tertawa bersama.
"Diminum dulu, Mbak." Silvi sekali lagi mempersilakan agar Kirana tidak terlalu sungkan kepada dirinya.
Demi menghargai pemberian orang yang sudah berniat baik kepadanya, Kirana meminum air mineral dalam kemasan tersebut dengan membaca basmalah. Begitu selesai, Silvi juga sama selesainya.
Di kantin yang luas dan ramai ini, Kirana sadar banyak pasang mata memperhatikan ke arahnya. Mungkin heran seorang Kirana bisa duduk bersama perempuan yang dengan melihat pakaiannya saja sudah tahu kalau Silvi ini anak orang kaya. Namun, Kirana tidak merasa rendah hati. Justru Kirana bersyukur sekali bisa mengenal Silvi yang tulus. Gadis ini tidak membeda-bedakan orang ketika berteman. Walaupun Kirana sudah tahu ternyata Silvi ini adik dari Pak Damar, tapi Silvi orangnya tetap ramah dan biasa saja berkomunikasi dengan dirinya yang kalau di lihat dengan sebelah mata, pasti komentar orang buruk semua. Mulai dari dekil, cupu, muka pas-pasan, dan masih banyak lainnya. Tapi Silvi, mereka baru bertemu sekali, kemudian saling membantu dan tahu-tahu sudah berbicara akrab saja seperti teman lama.
"Jadi begini Mbak Kirana, Pak Damar pesan pada saya kalau Mbak diminta untuk tetap melanjutkan karena mencari dosen pengganti yang berkompeten susah sekarang ini. Pak Damar lebih percaya dengan Mbak Kirana untuk mengatasi kelas Mbak sendiri. Jadi, Mbak Kirana tetap menggantikan Pak Damar sementara waktu, ya? Untuk urusannya yang di Bandung, akan Beliau kerjakan saat sudah sembuh nanti. Bisa jadi, Mbak lebih dari sebulan menggantikan Pak Damar."
Kirana mengangguk paham dengan informasi yang disampaikan oleh Silvi. Niat hati, Kirana ingin bertanya keadaan Pak Damar bagaimana dan dirawat di rumah sakit mana, tapi Kirana tidak seberani itu. Dia merasa lancang kalau sampai bertanya sedemikian rupa.
"Untuk materi akan dikirim lewat email, ya? Lalu laptop milik Pak Damar yang saya bawa bagaimana?"
Silvi yang memang sudah dijelaskan oleh Pak Damar sebelum dikirim ke Fakultas Teknik mengangguk mengerti. "Laptopnya bawa Mbak saja. Nanti kalau masalah materi dan pengumpulan tugas, dikirim ke email saya saja ya, Mbak. Soalnya ini daftar nilainya saya pegang, nanti saya berikan ke Pak Damar kalau keadaannya sudah lebih baik."
Sekali lagi Kirana hanya mengangguk paham. Kemudian dia bertanya tentang rencana di kelasnya tadi, siapa tahu Silvi bisa membantu memberikan solusi karena Silvi keluarganya Pak Damar.
"Maaf, Mbak. Kalau boleh bertanya, apakah Pak Damar boleh dijenguk? Tadi teman-teman sekelas berencana untuk menjenguk Pak Damar waktu libur nanti. Masalahnya, boleh atau tidak ya, Mbak? Apakah nanti tidak akan mengganggu Pak Damar? Namun, yang datang hanya perwakilan. Kalau keadaan Pak Damar sudah lebih baik nanti, rencana mau satu kelas menjenguk bersama-sama."
"Kalau untuk sekarang, lebih baik jangan dulu ya, Mbak. Pak Damar masih sulit diajak berkomunikasi." Silvi meringis tidak enak. "Nanti kalau sudah pulih, Mbak saya hubungi pertama kali, biar bisa diinformasikan ke teman-teman yang lain. Kalau anak kelasnya Pak Damar ingin menjenguk di rumah, silakan. Pak Damar pasti akan senang sekali."
Kirana yang mendapat informasi demikian merasa senang dan sedih di waktu bersamaan. Namun, dia juga mengerti kalau Pak Damar pasti butuh waktu untuk istirahat banyak. Nanti, Kirana akan mengirimkan pesan pada Faisal lewat handphone Nisa, biar teman-temannya tidak sia-sia sampai pergi ke Bandung tapi belum diizinkan untuk menengok.
"Makasih ya, Mbak Silvi. Kalau tidak tahu informasinya, pasti teman-teman nanti seperti kena prank."
Silvi tertawa. "Iya Mbak Kirana, sama-sama. By the way, Mbak. Saya ini baru semester 2, beda satu tingkat sama Mbak Kirana, panggil Silvi saja ya. Sama ayo panggil aku, kamu, kita terlalu formal sekali."
Kirana sama tertawanya mendengar Silvi berkata demikian. Kemudian, Kirana mencobanya. "Baik, Silvi. Makasih, ya. Nanti akan aku sampaikan ke teman-teman. Kalau butuh bantuan yang sekiranya bisa aku bantu, bilang saja, jangan sungkan."
"Siap Mbak Kirana. Oh iya, boleh minta nomor telfonnya, Mbak. Siapa tahu nanti aku harus menghubungi Mbak langsung karena ada perintah dari Pak Damar. Soalnya handphonenya rusak parah dan belum selesai juga diperbaiki."
Gadis itu langsung memberikan nomor telfonnya kepada Silvi. Dan karena Silvi masih ada urusan, dia harus pergi lebih dulu.
Kirana yang ditinggalkan seorang diri di kantin merasa senang sekali sudah mendapat teman baru sebaik Silvi. Meksipun dia pasti anak orang kaya seperti Anggi, tapi dia tidak keberatan berteman dengan orang pas-pasan seperti dirinya. Kirana senang sekali hari ini. Memang tidak ada yang kebetulan dalam hidup, semuanya sudah diatur. Semoga Pak Damar cepat sembuh dan bisa mengajar seperti semula. Jujur, Kirana merindukan beliau mengajar di kelas.
'Cepat sembuh Pak Damar, kami semua merindukan Bapak mengajar.'