Anggi kira, harus menjadi istimewa baru bisa diistimewakana Pak Damar. Lalu apakah menjadi penyintas kanker darah membuat Anggi menjadi istimewa di mata lelaki itu? Tentu saja tidak.
Perempuan itu menjadi perempuan yang telah dipilih Tuhan untuk menjalani hidup yang berbeda dengan sebagian orang, yaitu dengan rasa sakit yang lebih dari ynag tidak orang lain rasakan.
Ketika dia hampir kehilangan harapan, kalian tahu siapa yang bisa membuat Anggi bangkit lagi dan percaya? Kirana. Kirana yang membuat semangat Anggi bangkit lagi. Seperti yang selalu Bu Ghina nasihatkan kepada Kirana bahwasannya Allah tidak mungkin memberikan cobaan diluar kemampuan hambanya. Kirana juga menunjukkan betapa kuatnya Anggi karena dari sekian banyak orang di sekitarnya, Anggi yang diberikan nikmat sakit itu.
Kirana memberikan semua kalimat positif yang dirinya miliki karena memang seperti itu kenyataannya. Dengan sakit, bisa menjadi penggugur dosa, dengan sakit bisa lebih meningkat imannya. Kapan lagi orang diberikan hidayah seperti itu? Hidayah itu mahal dan hanya Allah yang menghendaki siapa-siapa yang hendak Dia berikan hidayah dalam buminya ini. Karenanya, apapun itu harus disyukuri.
Bahkan Kirana yang ditampa musibah asam lambungnya yang sudah parah hingga jadi GERD saja dia tetap berprasangka baik. Yang Kirana tahu, sesayang apapun ibu pada seorang anak, Allah yang lebih menyayangi dirinya. Jadi Kirana tidak takut lagi meskipun rasa takut ditinggalkan lagi itu benar-benar mengguncangnya. Purna sudah tugas ayahnya sejak dulu dan dia hanya bisa mendoakan yang terbaik untuk ayahnya.
Ketika Pak Ronggo bercerita betapa seringnya Pak Fajar yang tak lain adalah ayahnya menceritakan dirinya sewaktu kecil, Kirana bisa merasakan betapa ayahnya sangat mencintai dirinya. Perpisahan yang terjadi sewaktu Kirana kecil dulu pastilah berat juga untuk semua orang termasuk Pak Fajar meskipun tujuannya pergi juga untuk Kirana. Beliau ingin memberikan kehidupan yang layak untuk anaknya itu beserta istrinya. Hanya saja, Allah berkehendak lain.
Memang benar bahwasannya ikhlas membuat semuanya lebih mudah. Hanya saja, ikhlas tak semudah mengucapkannya. Semua butuh proses yang panjang untuk bisa menjadi ikhlas. Karena untuk ikhlas, pastilah harus menemui sabar. Tidak ada ikhlas yang tidak sabar begitupun sebaliknya.
Dan seperti yang sudah Kirana pesankan, semua orang tidak perlu memberitahukan berita keyatimannya kepada keluarga Anggi. Biarlah Kirana sendiri yang menanggungnya karena memang ini sudah suratan takdirnya.
Sampai ketika dia sudah kembali kuat untuk berdiri di atas kakinya sendiri, dia datang menemui Anggi karena Bu Ghina mengatakan kalau Anggi selalu menanyakannya. Kirana hanya khawatir kalau tidak datang. Khawatirnya, Anggi merasa Kirana tidak mau lagi berteman dengannya karena perempuan itu menyusahkan sekarang. Ini bukan dari sisi Kirana, tapi dari sisi Anggi yang terpenting. Kirana tidak ingin Anggi merasa seperti itu yang bisa memperburuk keadaannya. Bagaimanapun, mereka sudah tumbuh sedari kecil bersama dan menghabiskan banyak waktu untuk hidup bersama.
“Ya Allah, Na… Kamu kenapa malah ke sini? Katanya asam lambungnya kambuh lagi? Istirahat sana. Malah keluyuran di sini?!”
Kirana yang baru datang diantar oleh Silvi tidak membawa apapun. Tangannya yang masih menggunakan gendongan tak membuatnya menjadi alasan untuk tidak bisa menjenguk Anggi. “Maaf yo baru dateng lagi.”
Bukannya merespon permintaan maaf Kirana, Anggi merespon yang lain. “Asam lambung kamu kok naik, kamu mikirin apa? Nggak usahlah pikiran, Na…”
Mau tidak tertawa, tapi Kirana sudah terlanjur tertawa dengan perkataan Anggi. “Orang hidup kan harus mikir, Nggi. Aku ndak papa, kok. Cuma lelah saja kemarin itu. Ndak usah khawatir.”
Meski usapan lembut Kirana berikan di bahu Anggi, tak cukup mampu membuat Anggi merasa tenang. “Aku pernah liat kamu muntah darah.” Komentarnya. “Aku jadi takut.”
Kirana mengusap bahu Anggi sekali lagi. “Aku ndak papa, Nggi. Ini buktinya berdiri di depan kamu. Ndak usah pikiran yang macam-macam, ya. Pikirkan kesehatan kamu sendiri. Biar cepat sembuh, ya?”
Anggi langsung mengangguk dengan senyuman yang terlihat tulus sekali, kemudian mempersilahkan Kirana yang masih saja berdiri. “Na, duduk dulu di sini.” Katanya.
Menarik kursi hati-hati yang digunakan untuk duduk, Kirana kembali menghadap Anggi, seakan menunggu perempuan itu ingin mengatakan apa. “Bicara saja Nggi, akan aku dengarkan.”
Karena tertebak, Anggi jadi salah tingkah sendiri. Dia tersenyum begitu lebar sebelum akhirnya menarik tangan Kirana yang di tepi ranjang dan langsung menggenggamnya erat. “Kamu tahu, Na? Aku dan Mas Damar sebentar lagi akan menikah.”
Dengan senyuman yang begitu tulus, tanpa menyimpan rasa sakit hati sama sekali. Kirana meremas tangan Anggi tak kalah senang. “Iya, aku tahu kan kamu sudah dilamar?”
“Oh iya, kenapa aku yang jadi pelupa?” Anggi terkekeh sendiri dengan kelakuannya yang senang sekali setelah Pak Damar melamarnya hingga sekarang. “Nanti bantuin aku ya, Na? Aku ndak mau nyiapin sendirian.”
“Lhoh kok sama aku to, ya sama orangnya dong. Kan menikahnya dengan Pak Damar.”
“Iya maksdunya dampingi aku, aku ndak mau sendirian, aku ndak mau didampingi sama masku, dia menyebalkan sekali sekarang. Masak masih patah hati sampai sekarang gara-gara kamu tolak cintanya.”
Kalau membahas ini, Kirana sudah tidak terlalu berat lagi. Bagaimanapun, Kirana merasa lebih baik menolak daripada kakaknya Anggi terus berharap kepadanya. Apalagi sekarang Kirana sudah tahu kalau dirinya anak yatim piatu, dia tidak akan siap meninggalkan ibunya sendirian jika dia memiliki suami nanti.
Kirana paham betul. Sebagai seoarang perempuan—yang suatu hari akan nanti menikah dan ikut orang tuanya, itu artinya dia harus meninggalkan ibunya lagi. Kirana bisa saja memberikan syarat kalau ibunya akan ikut bersamanya, hanya saja, apakah zaman sekarang masih banyak orang baik yang bisa menerima ibunya? Kirana hanya khawatir kalau ada seseorang yang ingin menjadikan dirinya sebagai istri, lantas ibunya tidak dianggap sebagai ibu. Dia hanya butuh Kirana saja. Kan Kirana tidak bisa kalau menikah dengan lelaki yang konsep hidupnya seperti itu.
Bukankah menikah itu menyatukan dua keluarga? Bukan menyatukan sepasang suami istri saja. Dari sisi Bu Ghina sendiri sebenarnya tidak keberatan. Bagi beliau yang penting itu kebahagian Kirana. Mau Bu Ghina sendiri yang menderita, biarlah dia yang menderita asal Kirana—putri semata wayangnya itu bahagia. Hanya saja, Kirana yang tidak bisa. Ibunya yang sudah melahirkannya susah payah. Ibunya juga yang jatuh bangun membesarkannya tanpa adanya sosok suami yang ternyata sudah meninggal setelah ditunggu sekian tahun lamanya.
“Pokoknya temeni aku sampai akhir ya, Na. Aku ndak mau sendirian, aku takut.”
Dengan senyum meyakinkan, Kirana mengangguk penuh semangat. “Aku damping sampai akhir, Nggi. Jangan khawatir ya. Kamu pasti sembuh, jangan khawatir ya. Ndak usah pikiran yang aneh-aneh.”
Meskipun Anggi takut, dengan Kirana berbicara seperti ini, Anggi sudah tenang sekali. Kirana memang sahabat sehidup sematinya. Anggi tidak bisa membayangkan kalau kesalahpahamanya terus berlanjut. Jujur, Anggi juga menyesali sikapnya yang kekanak-kanakan dulu, yang pernah berpikir tidak-tidak tentang Kiran masalah Pak Damar. Namun sekarang, semua telah diluruskan dan tidak ada lagi rasa yang memberatkan di hati keduanya meskipun hubungan ini akan tetap menyakiti beberapa hati.
Hanya saja kembali lagi pada ketetapan Allah. Semuanya sudah diatur sedemikian rupa. Apa yang tertulis, maka itu yang akan terjadi. Manusia yang hidup sekarang hanya bisa beriktiar dan terus bertawakal.
“Oh ya Nggi, kalau mulai besok aku bisa besuk pas sore atau malam, ndak papa, kan?”
Anggi mengangguk paham dengan perasaan sedih. Dia jadi mengingat nasib kuliahnya bagaimana yang dirinya tinggalkan. Tubuhnya tidak bisa dipaksa untuk beraktivitas berat sekarang. "Ndak papa lah, Na. Kalau memang sibuk, ndak usah ke sini ndak papa. Kan ada Mamaku yang menjaga, Mas Damar juga rajin datang kok, tapi memang jadwalnya yang padat suka buat dia keteteran. Aku jadi ndak enak, kasihan, pasti capek banget."
Kirana langsung menarik tangan Anggi dalam genggamannya. "Tetap semangat, Nggi. Yang terjadi pasti untuk kebaikan. Ndak boleh patah semangat, ya? Aku janji akan dampingin kamu sampai akhir."
Anggi tersenyum penuh haru melihat kesungguhan di wajah Kirana. Kirana memang tidak ada duanya di dunia ini. Anggi bersyukur sekali bisa memiliki sahabat seperti Kirana. "Terima kasih banyak, Na. Aku juga akan sama kamu sampai akhir meskipun aku udah nikah nanti. Kita akan tetap jadi sahabat, bahkan setelah kematian. Pertemanan kita ndak di dunia saja, tapi kita bawa sampai akhirat, sampai kehidupan selanjutnya.
Tanpa sadar Kirana menangis dan langsung memeluk Anggi erat sekali yang membuat Anggi ikut menangis. Kirana jadi ingat ayahnya. Dan dia tidak ingin kehilangan seseoarng lagi. Kirana takut tapi dia tahu kalau hari itu pasti akan datang, entah siapa dulu yang berpulang. Namun apapun itu, Kirana dan Anggi akan berusahan sebaik-baiknya menjadi orang yang lebih baik untuk semua orang yang menyaynaginya.