70. Berlalunya Kirana

1251 Kata
Kirana seperti lupa caranya menghitung. Entah dari satu langsung ketiga ataupun dari enam langsung ke delapan. Dia tidak paham dengan apa ynag terjadi pada dirinya sendiri. Namun yang pasti, semuanya terasa rumpang dan membuatnya tidak nyaman walaupun sekadar hanya diam memikirkan sesuatu yang menyenangkan. Dia tidak langsung ditunjukkan makam ayahnya oleh pihak keluarga Pak Damar. Kirana beserta Bu Ghina ditunjukkan pusara terakhir Pak Fajar setelah tiga hari terhitung Kirana pingsan atau tiga hari selang Pak Damar melamar Anggi untuk dijadikan istrinya. Ada yang tahu sakitnya anak yatim seperti apa? Kirana tidak pernah membayangkan sebelumnya kalau semua ini akan menimpa dirinya. Hanya saja, keberadaan Bu Ghina yang selalu menguatkannya membuat dan membentuk Kirana menjadi seorang gadis yang kuat. Karena pada dasarnya, kalau tidak pada kakinya sendiri, Kirana harus bertumpu pada kaki siapa lagi. Memang sedari dulu dia diajarkan untuk tidak mengejar kesenangan dunia karena semua orang juga tahu kalau semuanya hanya sementara di bumi Allah ini. Semua orang hanya menumpang dan suatu saat nanti pasti akan tiba saatnya berpulang satu per satu, mempertanggungjawabkan perbuatannya. Bu Ghina, beliau lelah, tapi tidak ingin menunjukkan rasa lelahnya kepada siapapun. Biarlah lelahnya hanya Allah yang mengetahui karena baginya Allah sebaik-baiknya penolong. Kurun waktu tiga hari tersebut, Pak Damar tidak pernah sekalipun mengunjungi Kirana. Beliau lebih mengutamakan menjenguk Anggi yang memang dirawat di rumah sakit yang sama bukan, hanya saja beda ruangan. Pak Damar melakukan semua itu juga atas dasar keinginan Kirana. Jadi, biarlah mereka melakukan semua tugasnya masing-masing. “Mas, kok Kirana ndak pernah ke sini lagi, ya? Apa dia sibuk banget kuliahnya? Atau sakit?” tanya Anggi khawatir. Wajahnya tidak bisa berbohong, dia khawatir sekali dengan Kirana karena memang sedari lama sudah seperti ini mereka. Kalau sadar ada yang tidak beres, pasti langsung menegur satu sama lain tanpa menunggu waktu yang lama. Pak Damar yang membawa tempat makan Anggi hanya menggeleng tidak tahu, kemudian melanjutkan menyuapi Anggi lagi yang langsung gadis itu terima meskipun agak berat hati karena dia masih memikirkan Kirana bagaimana keadaannya. Anggi taka da pikiran sama sekali kalau Kirana sedang menghindar darinya karena memang Kirana juga yang memberinya dorongan bahwasannya Anggi harus yakin kalau dia akan sembuh dan sangat pantas menjadi seoarang istri dari lelaki yang memang dirinya cintai. Menjadi istri dari seorang dosen yang tegas seperti Pak Damar. “Sudah,” pinta Anggi saat Pak Damar selesai menyuapinya. Kemudian tanpa diminta, Pak Damar memberikan air yangstentu saja menggunakan sedotan karena Anggi sendiri memang agak kesulitan menelan akhir-akhir ini, tenggorokannya sakit. “Nanti dokter visit jam berapa? Saya pelupa sekali.” Keluh Pak Damar seraya melihat jam di pergelangan tangannya. Banyak pikiran membuatnya sering melupakan banyak hal. Termasuk hal penting dan paling sederhana sekalipun. “Lupa juga.” Jawab Anggi agak kebingungan. Pak Damar cuma bisa menghela napas pasrah, pekerjaannya berantakan sekali akhir-akhir ini. Bukan karena disambi merawat Anggi, bukan. Memang dasarnya pikiran Pak Damar tidak bisa tenang. Dia terus saja memikirkan banyak hal yang tidak seharusnya dia pikirkan. “Mas pusing, ya?” tanya Anggi hati-hati saat melihat Pak Damar menunduk memijat kepalanya. “Hm?” kan Pak Damar bingung sendiri hanya ditanyai seperti itu, “Tidak, kok. Saya sedang mengingat-ingat kapan.” Karena Anggi mengira Pak Damar sedang mengingat-ingat kapan dokternya visit, Anggi tidak mengganggunya lagi. Malah Pak Damar ditinggal menggobrol dengan Silvi. Selama beberapa hari ini, kalau Pak Damar datang pasti selalu dengan Silvi untuk menghindari fitnah. Mereka semua adalah orang terpelajar dan sadar hukum agama. Jadi, orang yang diberikan pikiran oleh Allah pasti berpikir terlebih dahulu sebelum melakukan sebuah dosa atau maksiat saat hanya berdua. Kalau selama beberapa hari Kirana tidak menjenguk Anggi sama sekali, maka selama itu juga Kirana tidak masuk ke kelas dan izinnya memang sedang sakit. Hebatnya Pak Damar, dia memang sengaja tidak tahu Kirana sakitnya apa dan sedang berada di mana sekarang karena setahu beliau, Kirana sudah tidak di rumah sakit ini lagi setelah dibawa untuk datang ziarah ke pusara terakhir ayahnya. Pak Damar yang sebenarnya datang, hanya diam memandang dari kejauan saat gadis itu begitu tegar mengusap nisan sang ayah dan menciumnya penuh kerinduan. Bunga-bunga yang ditabur begitu pelan, sarat akan rasa berat yang teramat sangat tapi tetap saja dipaksakan. Hingga suatu ketika, saat tubuhnya berdiri dibantu oleh ibunya, belum sampai 100 persen bisa berdiri dengan kakinya sendiri, tubuhnya limbung dan untung saja ditangkap oleh Pak Ronggo sehingga kirana tidak menjatuhi pusara ayahnya. Lantas setelahnya, Pak Damar tidak melihat Kirana dimana lagi dan bagaimana keadaannya sekarang. Sampai lamunan Pak Damar terhenti ketika mendengar Anggi menyebut nama Kirana saat menganggat telfonnya. “Kirana dimana ya, Nis? Kok ndak ada dateng? Apa sakit, ya? Di di kontrakan, ndak?” “Asam lambungnya kambuh, sesak napas terus. Tapi nggak perlu khawatir Nggi, ini lagi ditungguin sama ibunya kok.” “Ya Allah, kenapa nggak dibawa ke rumah sakit? Asam lambungnya Kirana parah lhoh, Nis. Kalau jadi GERD, bahaya. Mending bawa ke rumah sakit aja sekarang.” “Masalahnya Kirananya nggak mau. Dari kemarin juga mau dibawa, tapi dia nangis terus. Kalau nggak disebut rumah sakit, dia diem. Jadi dirawat jalan ini.” “Tapi udah aman, kan? Apa aku datangkan dokter ke sana? Kamu ingat, Kirana pernah muntah darah. Jangan sampai kejadian lagi.” Pesan Anggi sungguh-sungguh. Pak Damar yang mendengarkan kenyataan itu cuma bisa diam dan berpasrah diri. Harusnya dia langsung pergi saat nama Kirana disebutkan tadi. Namun ya sudah terlanjur, Pak Damar bisa apa kecuali ikut mendoakan dalam hati. Sulit nian kalau masalah hati. Di sisi lain, Silvi yang mendengar kabar tersebur langsung melipir dari ruangan Anggi. Dia ingin memastikan keadaan Kirana yang sebenarnya, takutnya gadis yang sudah dianggap sebagai kakak kandungnya sendiri itu kenapa-kenapa. Jujur, Silvi juga kasihan dengan semua orang yang terlibat cinta segi tiga ini. Hanya saja, di sisi Silvi pun, dia tidak bisa memihak siapa-siapa dan hanya bisa mengikuti alur yang berjalan. Kalau boleh memilih, Silvi ingin memutar waktu. Namun rasanya akan membuat Kirana menderita sekali. Baiklah, mungkin memang ini yang terbaik. Silvi cuma bisa mendoakan semua orang yang disayanginya semoga kuat menjalani semua yang sudah Allah gariskan. Hanya saja, sepertinya Kirana memang tidak ingin berhubungan dalam artian tidak mau kalau ada yang khawatir berlebihan kepadanya. Buktinya waktu Silvi menelfon nomor handphonenya, Bu Ghina yang menjawab dan beliau mengatakan bahwasannya Kirana baik-baik saja dan sedang istirahat. Bu Ghina menyebutkan bahwa Kirana memang kurang sehat tapi sudah tidak apa-apa. Ibu dan anak, Silvi begitu mengakui kalau Bu Ghina dan Kirana sangat tegar sekali menghadapi cobaan. "Vi, Mas ingin ke depan sebentar. Tolong jaga Mbakmu." Silvi yang terkejut ada tepukan lembut di pundaknya langsung melihat wajah kakaknya yang datar. Gadis itu tidak mengiyakan juga tidak mentidakkan. Dia hanya tersenyum sesaat setelah Pak Damar agak berjarak dari tempatnya, sengaja menyebut nama seseorang yang membuat fokus Pak Damar hilang seketika. "Khawatir sama Mbak Kirana ya, Mas?" Langkah kakak laki-laki tertuanya itu benar terhenti di tempat, tapi tidak menoleh ke arah Silvi sama sekali. "Mbak Kirana baik-baik aja, kok. Udah mendingan, udah nggak sesak napas." Kata Silvi menahan tangis sampai suaranya gemetaran dan Pak Damar yang tak tega langsung balik badan untuk memeluk adik kesayangannya itu. "Nggak papa, Vi. Mas nggak papa. Jaga Mbakmu gih, mas mau ke depan. Hanya sebentar." Pesannya. Silvi yang tidak ingin memeberatkan pundak kakaknya langsung menghapus air matanya kasar. Dia hanya balas memeluk Pak Damar erat dan setelah itu mendorong kakaknya menjauh agar Anggi yang di dalam tidak curiga kalau Silvi sedang menangisi sesuatu. "Hati-hati ya, Mas." "Jaga Mbakmu." Pesan Pak Damar sebelum pergi, selalu meminta Silvi untuk menjaga Anggi yang tentu saja akan adiknya itu lakukan amanah dari kakaknya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN