72. Pamit Pulang

1519 Kata
Karena jelas Kirana punya kesibukan sendiri mengingat dia harus kuliah dan dia sudah izin pula dengan Anggi seandainya dirinya bisa menjenguk waktu malam, jadi Anggi tidak menanyakan Anggi lagi karena takutnya juga menganggu. Ada yang tahu, apa yang paling membahagiakan Anggi? Ketika Silvi mulai membuka hati untuknya. Sebenarnya, bukan berarti sebelum-sebelum ini Silvi memusuhi Anggi, hanya saja memang Silvi butuh waktu untuk berinteraksi dengan Anggi selayaknya dia sedang bersama dengan Kirana. Itupun juga karena nasihat Kirana langsung dan kakak sulungnya. “Dek, mas tahu kamu lebih menyayangi Kirana. Tapi, apa tidak bisa jangan terlalu mencolok? Anggi juga peka sekitar meskipun dia diam. Dulu dia seperti itu karena cemburu, kan?” Silvi yang diam di sopa ruang keluarga yang memang hanya ada keduanya hanya diam mendengarkan kakaknya itu berbicara. “Kirana pasti juga berbicara hal yang sama dengan kamu. Tolong, belajar menerima Anggi juga sebagai kakak perempuan kamu. Anggi yang akan mas nikahi, bukan Kirana.” Meskipun Silvi yang diajak bicara seperti ini, dan tutur kata yang begitu tenang dari sang kakak tak cukup mampu membuat Silvi menahan air matanya. Dia terus saja memikirkan Kirana. Rasanya, menurut Silvi yang menimpa Kirana itu tidak adil sama sekali tapi semua orang bahkan Kirana sendiri seolah sepakat untuk menjalaninya. “Tapi aku sedih, Mas!” Silvi benar menangis lagi. Pak Damar menghela napas pelan dengan tatapan mata yang beralih ke arah lain sebelum akhirnya melihat ke arah Silvi lagi. “Dek, maaf.” Sayangnya, bukan permintaan maaf kakaknya yang ingin Silvi dengar sehingga gadis itu terus menangis. Sampai Pak Damar yang semula duduk di bagian sopa terpisah lantas menghampiri adiknya itu, ditarik dalam pelukannya. “Mas minta maaf. Maafkan, Mas.” “Kenapa jadi kayak gini, aku mau nemenin Mbak Kirana.” Adu Silvi pada kakak tercintanya itu. Pak Damar tidak merespon apa-apa, beliau hanya terus mendekap Silvi dan mengusap punggungnya begitu sayang. “Mas minta maaf, Dek.” Silvi yang mendengar kakaknya selalu meminta maaf jadi sedih juga. Dia balas mendekap Pak Damar dan membisikkan sesuatu yang Silvi rasa akan meringankan beban yang ada di pundak Pak Damar sekarang. “Maafin aku ya, Mas. Aku akan lebih terbuka lagi sama Mbak Anggi. Tapi, tolong jangan larang aku buat ketemu sama Mbak Kirana. Mbak Kirana itu kakak perempuanku.” Katanya. Pada dasarnya, rasa sayang memang tidak bisa diatur-atur kadarnya. Hanya saja seseorang yang merasakan pasti paham apa yang sedang dirasakannya. Silvi sekarang memang menyayangi Anggi layaknya kakaknya. Hanya saja, rasa sayanganya kepada Kirana lebih besar. Sederhananya krtika Silvi sendiri merupakan anak terakhir dari empat bersaudara. Dan dari ketiga kakak laki-lakinya, Pak Damar yang tak lain anak pertama yang paling Silvi sayangi. Jadi memang seperti itu. Dan sekarang, bisa dibilang bkan terpaksa, tapi Silvi juga tidak bisa dipaksa perasaannya dalam menyayangi seseorang. Pak Damar tahu kalau adiknya ini sangat tulus kepada Kirana dan sudah menganggap Kirana sebagai kakaknya sendiri di saat Silvi tidak memiliki sosok kakak perempuan yang sangat dirinya idam-idamkan. “Kenapa ada orang setulus Bu Ghina sama Mbak Kirana ya, Mas? Pak De Pajar kan titip satu juga sudah lama sekali, tapi mereka cuma mau menerima yang satu juga itu. Padahal kan, kalau mereka mau, Papa bisa kasih ratusan juga buat mereka sebagai tanda terima kasih. Bukan maksudnya untuk merendahkan, tapi itu semata-mata ketulusan Papa sebagai sahabat almarhum Pak De Pajar.” “Itu karena mereka tahu ketulusan tidak akan bisa dibayarkan dengan uang, Vi. Uang bukan segala-galanya buat mereka. Bagi Kirana sendiri, ibunya adalah harta paling berharga dan begitupun sebaliknya.” “Tapi bukankah mereka memang sedang dalam keadaan sempit? Kenapa tidak mau menerima? Mereka tidak menganggap apa yang ingin Papa beri sebagai penghinaan kan, Mas?” Pak Damar menghela napas pelan. Dia tahu adiknya ini pintar. Hanya saja, Silvi kadang kali suka seperti anak kecil yang berpikiran cetek karena keriuhan di kepalanya. “Tidak, Vi. Mereka mungkin dalam keadaan sempit, tapi hati mereka tidak pernah sempit, hatinya selalu lapang. Coba bayangkan kalau seandainya mereka tidak lapang, bisa jadi mereka menerima bantuan papa dan memanfaatkannya. Namun lihat, mereka tidak melakukannya, bukan? Mereka paham betul tentang hidup. Bukan mereka yang harus belajar dengan mereka, tapi kita yang harus belajar hidup dengan mereka karena mereka yang lebih paham hidup.” Silvi hanya diam mendengarkan. “Apa kamu ingat sedari kecil kita sudah berada atau susah, sebelas duabelas dengan keluarga Kirana sekarang?” “Seingatku, kita sudah berkecukupan, kan? Memangnya zaman Mas bagaimana?” Ada embusan napas pelan yang terlepas ketika Pak Damar mengingat masa kecilnya dulu. “Waktu Mas kecil dulu, mas merasakan dua hal dalam hidup. Susah seperti Kirana dan senang. Jadi, keluarga kita masih berjuang untuk bisa berada di titik sekarang. Mama dan Papa orang yang berpendidikan, mereka bisa membagikan ilmunya. Dan mereka berjuang keras untuk membawa kita sampai di sini.” Silvi ikut menghela napas pelan kalau ingar perjuangan keluarganya juga. Dia yang paling kecil, yang bisa dibilang tinggal mendapat enaknya saja. “Aku tuh nggak tega sama Mbak Kirana, Mas. Mana tangannya patah gitu. Aku kebayang terus waktu Mbak Kirana nangis di makam Pak De Pajar. Pikiranku jadi kemana-mana. Kalau aku nanti ditinggal Papa, aku gimana, aku nggak mau.” “Shtttt, nggak papa, tenang.” Kata Pak Damar menenangkan saat Silvi menangis lagi membayangkan masa yang suatu hari nanti pastilah datang. Pak Damar juga tidak bisa menghentikan pemikiran Silvi di saat semua itu adalah hal pasti, bahkan dirinya sendiri juga akan menemui ajal suatu hari nanti. “Oh ya, keadaan Mbak Anggi gimana? Jadi dikemo?” Pak Damar melepas pelukannya, lantas mengusap wajah Vivi yang basah air mata baru menjawab. “Kalau stabil, akan dikemo. Kamu tahu sendiri, perdarahan hidugnya nggak berhenti-henti.” Menatap wajah sang kakak yang datar tapi terkesan murung, Silvi jadi sedih lagi dan langsung memeluk perut kakaknya itu. “Maaf ya Mas, aku sukanya nangis, nambah-nambahin pikiran Mas.” “Nggak, kok. Nggak papa. Kalau mau nangis, lari aja ke mas. Biasanya kan memang begitu. Kesayangannya, mas.” Bisik Pak Damar begitu lirih. Beliau juga tidak tega dengan semua orang apalagi dengan semua yang terjadi. Entahlah, lelaki itu merasa diombang-ambing dalam lautan yang begitu dalam. “Aku mau nangis dulu.” Izin Silvi. Pak Damar cuma bisa memejamkan matanya dalam-dalam, dia mengusap punggung Silvi konstan. Beberapa kali meringis mendengar lirihan adik kesayangannya itu. Sampai seperti ada angin yang menerpa wajahnya, Pak Damar membuka mata. Di depan pintu, Pak Damar jelas melihat Kirana di depan ambang pintu hendak mengetuk pintu, tapi urung. Perempuan itu juga terlihat terkejut karena keberadaannya. Tak memberikan waktu bagi mata mereka untuk saling menatap meski dari kejauhan sekalipun, Kirana mundur dan setelahnya muncul Bu Ghina—tapi tidak dengan Kirana yang entah melarikan diri kemana. “Dek, ada Bu Ghina,” kata Pak Damar, ikut membantu adiknya itu mengusap air mata. Namun, memang wajah merah Silvi tidak mungkin ditunjukkan di depan Bu Ghina. Alhasil, Silvi langsung melipir masuk dan memanggil mamanya yang di rumah. Dan tanpa bisa dicegah, Silvi melanjutkan tangisnya lagi di kamar mamanya, tengkurap, tersedu-sedu. “Lhoh Dek, kenapa?” Bu Tari bingung melihat putrinya menangis. Begitu hendak dihampiri, dia agak berujar kencang.” “Mama turun aja, ada Bu Ghina.” Karena tidak bisa mengabaikan Bu Ghina juga, Bu Tari langsung turun dulu untuk menemui Bu Ghina. Dan benar saja, beliau sudah dipersilahkan duduk oleh Pak Damar. “Mbak.” Sapa Bu Ghina sambil berdiri. “Duduk dulu, Nah, Gimana, kok repot-repot ke sini? Tadi kan bisa dijemput.” Kata Bu Tari begitu tulus. Bu Ghina Cuma bisa meringis tidak enak. “Ndak usah lah, Mbak. Lhah wong deket kok. Saya ke sini mau pamit, saya mau pulang ke Jogja dulu.” Pak Damar langsung mencelos mendengar. Itu artinya, Kirana akan ditinggalkan di sini sendirian atau malah Kirana dibawa pulang. “Kirana?” tanya Bu Tari sebagai respon pertama kali. “Kirana kan kuliah, Mbak. Tinggal sebentar lagi.” Kata Bu Ghina menenangkan. Tanpa sadar Bu Tari malah melihat ke arah Pak Damar yang seperti langsung berpikir keras. “Jangan pikiran yah, Nah. Kirana akan kami jaga juga. Dia sudah kami anggap sebagai keluarga sendiri.” “Jangan manjain Kirana ya, Mbak. Biar dia mandiri. Saya takut kalau dia tergantung dengan orang, nanti dia sakit.” Sebenarnya, Bu Tari dan Bu Ghina sendiri tahu kalau anak-anaknya saling mencintai. Hanya saja, mereka tidak tahu kalau mereka sama-sama mengetahuinya. Jadi seandainya mereka tahu, akan pecah tangis mereka sekarang saling melepas pergi. Apalagi Kirana yang di luar hanya diam berdiri, kepalanya tertunduk, sudah menahan tangis sejak di kontrakannya karena akan ditinggal Bu Ghina pulang ke Yogja. Ingin rasanya Kirana ikut, tapi dia sudah bernjanji dengan Anggi kalau akan menemani sahabatnya itu sampai akhir. Dan Kirana pasti akan menepati janjinya sendiri. Dan ibunya juga mendukung. Kirana percaya, dengan doa ibunya, doa sang surga. Kirana pasti kuat berdiri dengan kakinya sendiri, tentu saja dengan seizin Tuhan. Dan pamitnya ibunya sekarang, seakan mendobrak luka baru yang bahkan luka akan kepergian ayahnya yang baru Kirana ketahui saja belum sembuh total. Dan Kirana rasa, sakitnya anak yatim akan dia bawa sampai mati. Namun, tenang saja. Kirana punya Tuhan yang begitu menyayangi dirinya lebih dari siapapun di dunia ini. jangan mengkhawatirkannya. Kirana itu hebat, dia itu kuat,
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN