Berjalan menyusuri koridor tanpa tahu ke arah mana yang harus diambil untuk menuju masjid, Kirana bertanya pada bapak-bapak penjaga yang berada di depan. Alhamdulillah sekali Kirana bisa bertemu dengan seseorang karena sungguh di jalan itu sepi sekali, sepertinya memang sudah pada pulang besuk dan sibuk ingin sama-sama beribadah di awal waktu.
“Pak permisi, izin tanya, Pak.”
“Mangga, Neng. Mau tanya apa?” tanya bapaknya balik, terdengar ramah sekali dengan Bahasa sundanya yang khas sementara Kirana dengan bahasa Jawanya yang medok. Sungguh berlimpah sekali keragaman di Indonesia ini.
“Masjid sebelah mana ya, Pak?”
“Oh,” bapak itu berlalu berjalan ke depan yang langsung Kirana ikuti. “Di sana, Neng.” Ia tunjuk arah Barat.
Kirana yang baru sadar ada masjid langsung mengucap hamdallah dan berterima kasih kepada bapak-bapak penjaga itu. “Terima kasih banyak ya, Pak. Saya permisi dulu.”
“Iya, mangga-magga.” Beliau mempersilahkan.
Gadis itu berjalan agak tergesa karena jalanan yang sepi, orang-orang juga sudah lebih dulu sampai di dalam masjid. Begitu sampai di tempat wudhu putri, Kirana segera mengambil wudhu, lantas mengejar rekaat pertama yang syukurnya masih terkejar bagi Kirana untuk membaca Surat Al-Fatihah.
Lantunan ayat-ayat Al-Quran yang begitu merdu oleh sang imam membuat Kirana semakin khusyu’ dalam salatnya. Tubuhnya menyatu dengan jiwa, meyakini dengan penuh akan kebesaran-Nya. Sampai tanpa sadar, Kirana menangis dalam salatnya tanpa bisa dicegah. Mulutnya yang terbuka kecil melantunkan ayat-ayat Allah begitu lirih sementara pipinya bak muara sungai yang dibanjiri air mata.
Kirana tidak pernah sesedih ini sebelumnya sejak menempuh pendidikan di kota orang. Sesedihnya orang-orang mengatakan dirinya buruk, Kirana tidak pernah sesedih ini. Namun, sikap Anggi tadi benar-benar membuatnya tak kunjung bisa berhenti menangis sehingga hanya pada Allah lah Kirana memohon pertolongan akan rasa sedih yang menimpanya sekarang. Tangannya terbuka ke arah langit.
Gadis itu tidak pernah lupa untuk selalu mendoakan orang tuanya, juga tak pernah lupa untuk mendoakan seluruh umat Islam di dunia ini. Semua adalah saudaranya.
“Alhamdulillahi rabbil'alamin, was sholatu wasalamu'ala, asyrofil ambiyaa iwal mursalin.
Ya Allah ya Tuhan pemilik alam semesta. Dzat yang menciptakan langit dan bumi, Dzat Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang, tidak ada satupun doa dari hambamu ini yang tidak engkau kabulkan Ya Allah. Engkau selalu memberikan yang terbaik pada hamba yang hina ini.
Ya Allah, Yang Maha Pengampun lagi Maha Pemaaf, maafkanlah aku jikalau tanpa sengaja sudah menyakiti hati sahabatku sendiri Ya Allah. Aku tidak bermaksud berbuat seperti itu. Semoga dia berbesar hati untuk memaafkanku ya Allah.
Ya Allah Yang Maha Penyembuh, angkatlah penyakit yang bersarang di tubuh Pak Damar Ya Allah, jadikanlah rasa sakitnya sebagai penghapus dosa untuk beliau. Berikanlah Beliau kesabaran menerima ujian yang tengah engkau berikan Ya Allah.
Ya Allah Yang Maha Melihat, lindungilah aku Ya Allah. Aku tahu engkau tidak akan pernah meninggalkan hamba mu ini sendirian. Berikanlah hamba petunjuk Ya Allah. Hamba tidak ingin menganggu ketenangan semua orang dengan kehadiran hamba di tengah-tengah mereka yang tidak menginginkan hamba.
Kupasrahkan hidup dan matiku kepadamu Ya Allah. Hanya kepadamu lah aku kembali.
Wasalallahu'ala saidina wa Maulana Muhammad shollalahu waalaihi wassalam. Alhamdulillahi rabbil'alamin
Kirana menyudahi doanya, mengusapkan kedua tanganya ke wajah dengan mengucapkan hamdallah.
Kepalanya terangkat, menatap ukiran di depan masjid yang bertuliskan lafadz Allah, bibirnya lantas tersenyum. 'Terima kasih banyak Ya Allah.'
Karena sudah petang pula, Kirana bergegas pergi supaya tidak sampai kemalaman sampai di Depok nanti. Sayangnya, Kirana tidak tidak tahu jalur ke Depok harus mengambil arah mana karena dia memang tidak terbiasa memperhatikan jalan—dasarnya tidak pernah melaju dengan sepeda motor.
Kembali keluar masjid, Kirana bertanya pada ibu-ibu yang sepertinya akan kembali lagi ke area rumah sakit.
"Permisi, Bu."
"Iya, Mbak?"
"Izin bertanya, Bu. Kalau mau pergi ke Depok, dari sini harus ke arah mana, ya?"
"Ke terminal dulu, Mbak. Nanti naik bus Safari yang turunnya di terminal Margonda, Depok. Tapi kalau malam-malam begini, BRT sudah tidak beroperasi. Mbak mau pesan ojek online pergi ke terminal Bandung-nya? Biasanya ada calo, mobil begitu, tapi bahaya Mbak kalau perempuan sendiri."
"Terminalnya jauh ya, Bu?"
"Wah, jauh sekali Mbak, sekitar 10 km dari sini, nanti turun."
Kirana langsung menyebut nama Allah dalam hati. Dia tidak bisa pulang. Mau menginap di masjid, masjid bukan penginapan. Selain itu Kirana juga khawatir kalau ada orang jahat. 'Aku harus pergi ke mana Ya Allah. Berikanlah aku petunjuk.' Batinnya gelisah.
"Kalau begitu terima kasih banyak ya, Bu." Kirana menunduk sopan."
"Sama-sama, Mbak. Saya duluan, ya. Mau menunggui anak sakit."
"Semoga putranya cepat sembuh ya, Bu."
"Iya, Mbak. Makasih ya, saya duluan dulu."
Setelah kepergian ibu itu, Kirana terdiam tanpa bisa melakukan apa-apa. Dia masih terdiam, lantas duduk di batas suci karena Kirana bingung harus berjalan kemana. Dasarnya dia tidak pernah keluyuran malam, baru pertama kali pergi ke Bandung juga, bingung tidak tahu caranya pulang.
Seperti yang ibu tadi bilang, malam-malam seperti ini rawan. Apalagi untuk Kirana yang baru datang, tentu saja masih awam dengan daerahnya. Kalau memang tidak bisa pergi, Kirana betulan akan menunggu di masjid sampai pagi. Atau kalau tidak, dia akan tiduran di kursi tunggu bersama orang-orang di depan aula yang di lewatinya tadi. Sepertinya tidak apa-apa, daripada dia pulang malam-malam begini.
Untung Kirana masih membawa dompet kecilnya, yang berisi uangnya sendiri, jadi Kirana bisa menggunakan uang itu untuk membeli makan dan membayar perjalanan pulang besok.
Karena perutnya lapar, bisa dihitung juga tidak makan dia seharian ini karena dimuntahkan semua, Kirana mencari warung terdekat. Kalau ke kantin elite di rumah sakit, selain khawatir bertemu dengan orang yang dikenalnya, Kirana jelas tahu kalau makanannya pasti mahal-mahal. Karena itu, Kirana mencari warung di pinggir jalan yang ramai orang.
Syukurnya, matanya menangkap warung di sebrang jalan. Tanpa membuang waktu, Kirana langsung berjalan menjauh dari rumah sakit dan menuju warung di seberang jalan itu. Dia menuju di lampu merah bersama-sama dengan rombongan orang yang juga ingin menyebrang.
Berjalan kurang lebih 500 meter, akhirnya Kirana sampai di warung yang ramai itu juga. Dia bergegas memesan makan yang memang menyediakan menu Padang.
Karena konsepnya prasmanan, Kirana antre bersama yang lain. Saat gilirannya, Kirana mengambil nasi secukupnya, tempe, telur yang dibagi dua, sambel dan juga kerupuk. Kemudian mengambil air putih yang diberi keterangan gratis. Setelahnya, Kirana berjalan menuju ke kasir, makanan yang diambilnya dihargai Rp7.500,00 oleh pegawainya.
Tanpa buang waktu, Kirana duduk di pojok sendirian. Dia berdoa sejenak sebelum memakan makanannya. Begitu selesai, dia langsung makan dengan lahap. Rasanya enak sekali. Entah karena memang enak atau karena efek Kirana kelaparan. Tak butuh waktu lama bagi Kirana untuk menghabiskannya.
"Alhamdulillah." Kirana menghela napas lega. Perutnya sudah tidak sakit lagi.
Gadis itu menunggu beberapa waktu sebelum akhirnya pergi keluar, masih mencari jalan keluar dari permasalahannya sekarang. Namun sayangnya, begitu keluar dan berjalan agak menjauh dari warung itu, niat hati ingin mencari informasi untuk besok pulangnya bagaimana, dompet yang masih Kirana pegang, belum dimasukkan ke dalam saku tuniknya, tiba-tiba dari arah yang berlawanan, Kirana terkejut tali dompet kecilnya yang terjuntai ke bawah ditarik tiba-tiba dan terlepas dari genggamannya begitu saja.
Tentu saja Kirana langsung berbalik, mengejar orang yang sama berlarinya itu sambil berteriak, "COPET!"
Di sana ada uangnya Anggi sebesar Rp700.000,00 yang diberikan kepadanya tadi Kalau sampai hilang, Kirana harus menggantinya. Dan itu artinya dia harus mengeluarkan tabungannya untuk hal yang seharusnya tidak perlu.
"Ya Allah tolong..." Kirana terus saja berlari mengejar copet itu. Sampai akhirnya, orang-orang yang ikut ingin membantunya mengejar copet yang larinya cepat itu langsung berhenti karena copetnya jatuh terjerembab. Ada orang yang menjegral kakinya sehingga jatuh langsung mencium tanah.
Kirana buru-buru lari menghampiri copet itu. Dia menerima uluran dompetnya dari pemuda yang menjegral kaki copetnya tadi. "Ya Allah makasih banyak, Mas." Kirana sampai bersyukur sekali.
"Kerjaannya nyolong! Kerja, Pak! Nggal liat badan segede kingkong!"
"Bawa ke polres terdekat saja. Orang-orang seperti dia ini meresahkan. Badannya lengkap, tapi tidak mau bekerja."
Huuu
"Ayo kita seret saja!"
Sorakan merendahkan terdengar. Kirana langsung melerai saat copetnya ingin dibawa pergi, memang kalau mau melawan, copetnya jelas kalah. "Jangan Pak, jangan. Kasihan. Yang penting kan dompet saya sudah kembali, uangnya tidak ada yang hilang sedikitpun." Kirana berupaya menenangkan.
"Kalau nggak dikasih pelajaran, nanti jadi nyolong lagi, Mbak. Orang seperti dia ini harus dihukum, biar jera." Kata bapak-bapak yang memegangi copet yang menyembunyikan wajahnya, agaknya juga malu.
"Sunggu Pak, saya sudah memaafkan beliau. Kalau setelah ini, di hari yang akan datang Bapak ini melakukan kejahatan lagi, maka silakan tangkap saja, dibawa ke pihak yang berwajib. Kalau sekarang, tolong jangan, Pak."
Cepot itu langsung didorong ke depan sampai Kirana mundur cepat takut tertabrak.
"Minta maaf noh sama si Eneng. Masih untung nggak kita-kita gebukin."
Huuuuu
Sorakan keras kembali terdengar. Bapak-bapak yang mencopet ini langsung berjalan pelan menghampiri Kirana masih dalam jarak aman. "Saya minta maaf atuh, Neng. Saya terpaksa mencuri karena mau memberi cucu saya makan. Saya tidak punya uang sepeserpun untuk membeli makan." Katanya.
Meski di dalam hati Kirana terpikirkan rasa curiga kalau bapaknya berbohong, tapi Kirana tetap berusaha untuk berbaik sangka bahwa bapaknya memang sedang dalam kesusahan. Karena itu, Kirana langsung mengeluarkan uang seratus ribu kemudian diberikan kepada bapak yang ingin mencopetnya tadi. Kirana tidak tega, dia baru sadar saat melihat tangan bapak-bapak ini yang sudah keriput.
Dia ulurkan uang itu kepada bapak tadi. "Tolong diterima, Pak. Ini rejeki untuk cucu, Bapak. Tolong diberikan makanan yang bergizi ya, Pak. Tolong berikan makanan yang halah untuk cucu Bapak. Kalau dia bisa memilih, pasti memilih kelaparan daripada harus makan dari uang yang tidak halal.
Bapak ini langsung mengangkat topinya hingga Kirana bisa melihatnya dengan begitu jelas. "Terima kasih banyak, Neng. Semoga Neng panjang umur, selalu dilindungi Allah. Maaf ya Neng. Allah yang akan membalas kebaikan Neng."
Kirana tersenyum begitu tulus. "Sama-sama, Pak. Aamiin. Mangga Pak, belikan cucunya makan, pasti sudah menunggu kakeknya pulang."
"Makasih banyak, Neng." Kakek-kakek itu langsung pergi menuju ke warung padang tempat Kirana membeli makan tadi. Kirana senang sekali melihat wajah bapaknya yang berseri-seri sekali, kemudian berjalan kembali ke arah rumah sakit lagi karena Kirana memang tidak berani berjalan jauh lagi.
"Kenapa kamu memberinya uang? Dia jahat."
Kirana menoleh, baru sadar kalau tidak jauh di belakangnya, ada pemuda yang menjegral bapak tadi. "Bukan jahat, Mas. Tapi terpaksa jahat. Beliau sedang butuh."
"Bagaimana kamu tahu. Bisa jadi dis berbohong. Kamu pasti belum pernah mengenalnya."
Memang benar, "iya, tapi saya yakin beliau orang baik. Kalaupun berbohong, semoga dengan uang itu dia sadar dan tidak melakukan perbuatan tercela itu lagi. Orang tidak selamanya jahat, Mas."
Baru saja mengatakan itu, kakek-kakek tadi keluar, lalu menyebrangi jalan dan berlari cepat, lantas berhenti di dekat bangunan besar di pinggir jalan, dan tempatnya bisa dibilang lumayan kumuh. Dan benar saja, ada dua cucunya di sana, yang agak besar kisaran anak SD dan ada yang masih kecil, seperti anak berumur tiga tahunan.
Kirana ingin menangis melihatnya. "Lihat, Mas."
Pemuda yang membantu Kirana ini mengangguk paham, kemudian mengajak Kirana berbicara lagi.
"Saya Satria. Kamu Kirana, kan? Anak Telkom?"
Kirana jadi terkejut. Dia menoleh dan memperhatikan singkat sampai akhirnya senyumannya terukir. "Lhoh Mas Satria, alumni. Eh maaf Mas, saya tidak tahu."
Tawa lantas pecah diantara keduanya. Kirana baru sadar kalau yang menolongnya ini adalah alumninya di UKM Pengembangan.
"Maaf, Mas. Terima kasih atas bantuannya."