Ketika Kirana bersikeras ingin kembali ke Depok ketika berbicara dengan ibunya Pak Damar, tiba-tiba Anggi datang bersama sang mama. Mereka menghampiri kedua orang yang terlihat pembicaraan serius di depan ruang rawat Pak Damar.
“Mbak, kenapa?” ibunya Anggi bertanya. Begitu kedua orang yang terlibat pembicaraan ini menoleh secara bersamaan, ibunya Anggi terkejut. “Lhoh, Na? Kok kamu bisa ada di sini to, sama Mbak?”
Kirana langsung berdiri untuk menyalami ibunya Anggi. Gadis itu tahu kalau memang Anggi bersama dengan orang tuanya. Namun, Anggi tidak tahu kalau akan bertemu di sana karena sedari sadar tadi, Kirana tidak bertemu dengan wanita paruh baya yang sudah dianggapnya sebagai ibunya sendiri itu—begitupun sebaliknya.
“Buk.”
“Kamu sama siapa ke sininya, Ndok? Mau nemenin Anggi, ya?” karena tidak tahu, tentu saja ibunya Anggi bertanya demikian. “Wajahnya lhoh, kok pucet banget itu kenapa? Kurang enak badan.”
Sementara Bu Tari yang merupakan ibunya Pak Damar langsung membantu menjelaskan dengan apa yang dengan Kirana kepada mamanya Anggi. Ekspresi Anggi tak usah ditanya. Tatapannya hanya datar, tapi tenang sekali.
“Oh begitu to, istirahat dulu, Na. Atau mau ibuk sama bapak antar ke Depok kalau mau pulang sekarang juga?” dengan suaranya khas yang medok, mamanya Anggi yang sudah mendengarkan penjelasan Bu Tari kembali bertanya.
Kirana yang ditanyai sungguh bingung harus mengatakan apa. Di satu sisi dia ingin segera pergi, di sisi lain dia juga tidak ingin merepotkan orang. Namun padahal kenyatannya, mau memilih satu pun, rasa-rasanya Kirana hanya membuat Anggi cemburu. Pertama, cemburu dengan orang tuanya yang begitu peduli dengan Kirana. Dan yang kedua kalau Kirana tetap di sini, Anggi cemburu kalau Kirana sampai dekat dengan Pak Damar. Lalu Kirana harus bagaimana selain hilang saja.
“Aku naik bus saja, Buk. Nanti aku tanya Silvi, katanya dulu perah ngebus juga, turun daerah Bharata.”
“Lah wong hampir petang gini, Na. Jangan, di sini saja. Nanti sama ibuk di penginapan.”
Aduh, Kirana semakin tidak enak. Mana wajah Anggi yang berdiri di samping ibunya itu kian masam. Kirana jadi ingin menangis sejadi-jadinya dan pulang ke Jogja saja, bersembunyi di dalam pelukan sang ibu.
“Ya di sini saja. Bahaya perempuan pergi sendirian.” Bu Tari menambahkan agar Kirana tidak pergi kemana-mana. Lagi pula, putrinya si Silvi juga tidak akan mengizinkan. Silvi sudah terlihat sayang sekali dengan Kirana. “Atau kalau tidak, nanti Anggi, kamu sama Silvi menginap saja. Mama yang jaga Mas Damar sama papanya.”
"Ya sudah, ayo masuk-masuk. Semuanya datang memang ingin menjenguk Mas Damar, kan. Ayo, nanti dia keburu tidur lagi." Bu Tari sekali lagi mempersilahkan.
Alhasil,
Kirana yang sudah ingin pergi, nekat juga sebenarnya karena tidak membawa uang
yang cukup karena Kirana pikir ya tidak akan seperti ini kejadiannya. Mana tahu
kalau kehadirannya malah membuat Anggi tidak suka. Dirinya yang sudah belasan
tahun menjalin persahabatan dan selalu mulus-mulus saja hubungannya, sekarang
dibuat gonjang-ganjing karena satu lelaki saja. Kirana tidak bisa seperti ini.
Dia harus meluruskan kesalahpahaman yang terjadi ataupun kecemburuan yang
seperti berkobar di sorot mata Anggi ditujukan untuk dirinya.
Saat
masuk, semua orang malah tertawa—lebih tepatnya ibu-ibu yamgy melihat Silvi
sudah naik di ranjang kakaknya, menonton sesuatu entah apa di layar tablet.
Padahal Damar yang sakit, tapi malah Silvi yang rebahan memeluknya.
"Dek,
kamu ngapain? Diliatin teman banyak tuh." Bu Tari mengingatkan Silvi yang
memang manja sekali dengan kakak pertamanya ini. Selalu saja tidak ingat tempat
kalau bermanja-manja.
"Lagi
nonton sama Mas Damar, Ma. Mama mau ikut?" tawarnya begitu polos.
Pak
Damar menggeleng pelan mendengar jawaban adik perempuan kesayangannya itu.
Memang selalu ada-ada saja tingkahnya. Diusapnya puncak kepala adiknya itu
sayang. “Turun dulu, Dek. Temani Kirana sama Anggi.”
Silvi berdecak tidak suka karena malah diusir. Dia belum puas bertemu dengan kakak tercintanya ini. Padahal kan, Silvi sudah berniat menginap di ruangan kakaknya. Mana tahu kalau kejadiannya malah seperti ini. “Kok aku malah diusir? Memangnya tidak boleh tidur di sini? Aku sama Mbak Kirana tidur di sini saja. Mama sama Papa nginep di hotel. Kalian kan sudah sepuh, jadi yang muda saja yang menjaga.”
“Anak ini benar-benar?!” Bu Tari menggeleng tidak percaya mendengar perkataan putri terakhirnya itu. “Ya mana bisa ada perempuan lain, Vi. Kan Kirana tidak ada hubungan apa-apa sama Mas kamu, nanti timbul fitnah. Orang Anggi saja tidak pernah menginap, dia selalu menginap.”
“Tapi kan tidak melakukan apa-apa, Ma. Memangnya mau apa juga? Orang Mas Damar sakit begini.”
Bu Tari agak meringis menatap mamanya Anggi. Namun, beliau malah biasa saja. Justru ibunya Anggi yang menenangkan Bu Tari. “Kalau cuma menunggui ya ndak papa, Mbak. Kirana juga pintar merawat orang. Nanti pasti dibantu dijagain juga Mas Damarnya.”
Jangan tanya sesyok apa wajah Kirana sekarang. Ibunya Anggi sedang tidak melemparnya ke kandang buaya, kan? Maksudnya, apakah beliau belum tahu kalau Anggi—yang tak lain adalah putrinya menyukai Pak Damar? Kenapa malah dirinya yang diminta untuk menunggui? Alamat bisa urusan panjang kalau seperti ini. Kirana tidak mau sungguh.
“Aku pulang saja, Buk”
“Ya nggak bisa dong, Mbak!” Silvi langsung menegakkan tubuhnya. Tontonan di tablet tak menarik buatnya lagi ketika mendengar Kirana yang berangkat bersamanya berkata demikian. “Pergi bareng, pulang juga bareng.” Kata Silvi menuntut.
“Bicaranya.” Pak Damar menegur karena nada suara Silvi yang kurang sopan kepada yang lebih tua.
“Tapi kan aku mau sama Mbak Kirana.” Katanya merajuk. Nanti kalau aku di sini sendirian, yang temenin aku siapa? Yang ngajak ngobrol aku siapa? Masak setan? Nggak mau! Aku mau sama Mbak Kirana di sini, Mas.”
Bu Tari yang memang sudah tahu wataknya Silvi hanya geleng-geleng dan berakhir mengiyakan saja. Ya sudah, tolong temani anak mama ya Kirana. Dia penakut sekali jadi orang. Pergi ke kamar mandi saja harus ditemani.”
“Saya ingin pulang saja, Buk.” Kirana menunduk begitu sopan, ingin meyakinkan semua orang kalau pulang adalah jalan terbaik yang bisa dirinya lakukan. Dia tidak mungkin tidur di satu ruangan dengan Pak Damar meski ada Silvi yang tidur di dalamnya sekalipun. Ya walaupun dia tidak melepas jilbabnya yang panjang sekalipun, tapi ruangannya yang tertutup, itu bisa menimbulkan fitnah meski tidak terjadi sesuatu yang buruk sekalipun.
Ibunya Anggi malah menarik Anggi pelan, memintanya untuk berbicara agar membujuk Kirana bersedia menemani Silvi daripada urusan makin panjang. "Nggi, coba bilangi Kirana. Siapa tau kalau kamu yang bilang, dia baru mau."
Anggi yang semula hanya diam bak patung langsung merubah raut wajahnya. "Ayo, Ki. Aku mau bicara sama kamu di luar sebentar."
Karena Anggi yang meminta, Kirana tidak bisa menolak. Justru dia senang sekali karena Anggi mau berbicara dengannya lagi. Kirana pikir, Anggi sangat marah hingga tidak sudi berbicara dengannya. Lihatlah, malah dia yang mengajak Kirana untuk berbicara berdua. "Saya permisi dulu, Buk." Kirana buru-buru pamit untuk mengikuti Anggi yang lebih dulu keluar dari ruang rawat Pak Damar.
"Kamu mau cari perhatian?" tanya Anggi begitu saja dengan mata yang diputar malas ketika mereka sudah sampai di luar.
Pertama-tama, Kirana diam karena dia belum bisa mencerna situasi yang terjadi meksipun Kirana tahu itu ada di kepalanya sekarang.
"Apa kamu tidak malu dengan datang ke sini dengan memanfaatkan Silvi?!"
"Anggi?" Kirana menggeleng, bola matanya melebar mendengar pertanyaan Anggi yang sampai sebegitunya. "Kamu mikir apa, to? Aku hanya menemani. Dia takut datang ke sini tidak ada temannya."
"Halah, alesan! Bilang aja memang sekalian mau melihat Pak Damar, kan?"
Kirana langsung menggeleng lagi, bahkan lebih hebat dari sebelumnya. Matanya mendadak memerah melihat wajah sinis dan masam yang Anggi lemparkan kepadanya terhitung sejak tadi.
"Kamu tau kan kalau aku suka dengan Pak Damar?! Tapi gara-gara kamu ke sini, Mama Tari malah lebih memilih kamu jagain Mas Damar daripada aku!"
"Lhoh aku ndak minta." Kirana berupaya membela diri. "Maaf kalo aku ndak sengaja nyinggung kamu. Tapi aku juga mau pulang, ndak mau ke sini. Aku ke sini cuma mau mengantar Kirana, bukan untuk maksud lain."
"Kalau begitu ya pergi saja dari sini. Kenapa masih berlama-lama di sini juga?!"
Kirana benar-benar menatap Anggi tidak percaya. Apalagi suara adzan ya terdengar pastilah menunjukkan kalau matahari sudah terbenam di luar sana, tapi dirinya diminta pergi. "Iya aku pergi, mau pamit sebentar, nanti mereka khawatir."
Ketika sudah berbalik, sekalian ingin mengambil tasnya juga karena uangnya semoga saja memang cukup digunakan untuk perjalanan pulang.
"Langsung pergi saja. Memangnya kamu siapa sampai mereka akan khawatir?"
Ya Allah, Kirana sampai ingin menangis dalam hati melihat tatapan penuh tidak suka yang Anggi tunjukan kepada dirinya. "Tapi uangku di tas, Nggi."
Tak banyak bicara, Anggi langsung mengeluarkan beberapa lembar seratus ribuan dari dalam dompetnya kepada Kirana. "Itu uang lebih dari cukup untuk membawa kamu kembali ke Depok. Masih sisa lagi."
Kirana benar-benar tidak habis pikir lagi. Begitu ingin protes, Anggi sudah lebih dulu masuk. Alhasil, dengan d**a yang sesak sekali, seperti perintah Anggi tadi yang dilarang untuk masuk, Kirana langsung menuju jalan keluar yang diingatnya. Dia akan pergi seperti yang Anggi inginkan daripada persahabatannya sedari kecil dengan Anggi hancur berantakan.
Namun sebelum pergi, dia memutuskan untuk pergi ke masjid dulu, berdoa memohon keselamatan kepada Tuhannya. Juga memohon kelapangan hati, agar tidak sampai membenci orang yang selama ini sudah sangat baik kepada dirinya dan juga ibunya hanya gara-gara satu kesalahan saja. Kirana paham betul budi pekerti yang selalu diajarkan oleh ibunya.