41. Sang Penolong

2022 Kata
Kirana mengenal—atau lebih tepatnya baru tahu dengan Satria saat pertama kali menjalani masa orientasi atau ospek saat pertama kali menjadi mahasiswa di universitasnya. Satria menjadi panitia ospek yang kebetulan mendapat bagian untuk berjaga di urutan barisannya waktu itu. Untuk apa? Sudah pasti untuk marah-marah—memainkan perannya sebagai kakak kelas sok berkuasa, padahal mereka sudah dilatih untuk sedemikian rupa. Pekerjaannya di lapangan bukan untuk mencari perhatian adik kelasnya, apalagi ikut menjadi panitia hanya untuk membidik adik-adik kelas yang cantik. Tidak ada yang seperti itu. Walaupun anak zaman sekarang bebanyakan ikut kepanitiaan hanya untuk mencari gandengan, maka zaman dulu lebih kepada ingin dikenal berkuasa. Bagaimana Kirana bisa mengenal Satria begitupun sebaliknya, semuanya bermula pada siang yang terik sekali. Ketika sang surya sedang tinggi-tingginya tepat di kepala seluruh manusia—bersamaan pula jadwalnya dengan makan siang kala itu. Para peserta yang sedang diospek sedang diistirahatkan di parkiran sembari menunggu datangnya jatah makan siang. Karena suasananya terik sekali, tak jarang peserta melepas topi lantas mengipasi wajahnya sendiri yang malah terasa lebih panas. Kirana yang pada saat itu hanya tahu segelintir orang tidak banyak bicara. Dia hanya diam memperhatikan teman-teman perempuannya yang tepatnya memang dipisah dengan laki-laki. Memang lebih bagus seperti itu—daripada dikhawatirkan sesuatu yang tidak-tidak terjadi. Hingga akhirnya semua peserta dipersilakan untuk mengambil makanannya masing-masing yang sebelumnya telah dipesan di ormawa atau organisasi mahasiswa sebelum acara orientasi dilaksanakan. Peserta berjejer rapi ketika menuju parkiran, kemudian di pinggir jalan, sudah ada kakak kelas yang menyediakan setiap menu yang dipesan oleh mahasiswa baru. Seperti Kirana yang memesan di UKM Pengembangan, maka dia memberikan kupon yang didapatnya ketika membayar, kemudian memberikannya kepada kakak-kakak yang menunggu di sana dan kupon itu pun ditukar dengan nasi kotak. Setelah mendapatkan nasi kotak, mereka berjalan menuju parkiran. Ketika semua peserta sudah duduk rapi, panitia segera memerintahkan untuk makan dan minum sesegera mungkin. Sebelumnya, tetap dipimpin berdoa terlebih dahulu. Saat doa selesai, peserta dipersilahkan untuk makan. "Diberi waktu hanya tiga menit, pergunakan waktu sebaik-baiknya!" Semua orang tetap fokus makan. Tidak peduli dengan arahan dari kakak kelasnya karena sudah lapar, haus, cuacanya terik sekali pula. Sampai entah menit ke berapa, kakak-kakak kelas mulai menghitung mundur dari 10 detik, Kirana yang memang masih banyak makanannya dari tidak mau kalau sampai makanannya tidak habis karena mubazir dan tidak suka membuang-buang makanan, langsung memakan begitu cepat. "Dorong pakai air!" suara-suara seperti ini seakan terdengar dari seluruh penjuru. Karena Kirana hanya fokus makan begitu cepat, dia tersedak sampai kesulitan bernapas dan terbatuk yang membuatnya berpikir kalau saat itu dia akan mati kalau tidak ada yang menepuk punggungnya cukup kuat. Peserta-peserta di sana pun sampai khawatir kalau ada yang meninggal dalam acara orientasi atau perkenalan kampus ini, yang peserta juga diajak berkeliling universitas, untuk memperkenalkan bangunan-bangunan apa saja yang ada di sana. Sampai pada akhirnya, Satria. Persis sekali seperti namanya, seorang kesatria, lelaki itu berhasil menghentikan batuk Kirana karena menepuk punggung perempuan itu cukup kuat yang membuat saluran pernapasan Kirana kembali berfungsi sebagaimana fungsinya. Dan karena Kirana yang membuat semua orang panik ini, takut kalau sampai terjadi tragedi seperti dulu yang pernah terulang. Dulu pernah ada insiden seperti Kirana sampai dilarikan ke rumah sakit. Untung di universitas ada rumah sakitnya sendiri sehingga bisa lebih cepat mendapatkan penanganan, tidak perlu dibawa jauh-jauh sehingga peserta dapat diselamatkan. "Kalau bukan karena Mas, mungkin saya tinggal nama." Kirana tersenyum senang. Kalau rasa sakitnya waktu itu, Kirana sudah lupa rasanya bagaimana. Namun kalau takut, dia jelas takut saat ingin berbicara pun tak bisa, hanya tangannya yang melambai meminta bantuan. Dan yang bersedia membantunya pun hanya satu dua. Mungkin karena memang minimnya pengetahuan tentang penolongan pertama di antara mereka waktu itu, jadi tidak heran membantu sembarangan. Takutnya malah bantuannya bukan membuat lebih baik, tapi sebaliknya. "Atas izin Allah." Balas Satria santai. Waktu itu dia Ingat betul ketika bibirnya menyebutkan lafadz Allah dan alhamdulillah, Kirana bisa bernapas seperti semula. Kalau diingat-ingat, waktu itu keadaan mencekam sekali. Namun karena karuan Allah, karena seizin Allah, Satria bisa membantu Kirana. Setelah itu, mereka dipertemukan lagi sebagai anggota dalam sebuah organisasi mahasiswa. Kirana yang baru pertama kali ingin mendaftar dan Satria yang sedang menjalani dua periode atau bisa disebut sebagai penasihat. Di sana mereka dipertemukan lagi meskipun interaksinya minim. Namun, mereka sudah kenal satu sama lain. Kirana tidak sadar mungkin karena sudah jarang bertemu, apalagi ini sudah malam juga. "Oh iya, kamu kenapa bisa ada di sini?" posisi masih sambil berjalan, Satria bertanya pelan. Kirana tersenyum kalau ditanya demikian. Namun dia akan menjawab dengan jujur. "Selesai menjenguk dosen yang sakit, Mas. Ini rencana mau kembali ke Depok, cuma tidak tahu kalau malam begini bagaimana. Tadi sudah sempat bertanya dengan ibu-ibu, disarankan besok pagi saja." "Kalau tidak buru-buru, bagaimana kalau besok pulang bareng aku aja? Pulang sekitar jam 3 sore. Aku biasanya dua jam setengah sampai di Depok." Satria menawarkan. "Ndak perlu repot-repot, Mas." Kirana membalas cukup tegas, tidak mendayu-dayukan suaranya ketika berbicara dengan seorang lelaki. "Nggak sama sekali, kan memang searah. Lalu sekarang ingin kemana? Kembali ke rumah sakit?" Jalan mereka yang lurus, ramai juga karena kedai memenuhi pinggir jalan membuat Kirana tidak takut. Seakan tersadar sesuatu, Kirana berhenti berjalan sebentar, melihat ke arah Satria tapi tidak terang-terangan menatap matanya. "Kira-kira di sini ada penginapan putri atau tidak ya, Mas? Kost yang bisa semalam saja?" Satria nampak berpikir mendapat pertanyaan seperti itu. Beberapa waktu kemudian, dia baru menjawab. "Ada dekat di sekitaran sini, cuma kumuh dan tempatnya agak sepi. Kamu mau di kostan adikku? Dia kuliah di ITB, dekat dari sini, paling cuma 20 menit." Aduh, Kirana mana berani mengiyakan tawaran seperti ini. 20 menit itu artinya Kirana safar dengan lelaki yang bukan mahramnya. Tidak-tidak, Kirana tidak mau. Bukannya sok cantik atau apa sehingga Kirana takut diapa-apakan. Namun juga namanya manusia. Kirana ingin membentengi dirinya sendiri. Dia tidak ingin kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. "Yang di dekat sini saja ndak ada ya, Mas?" "Kalau di daerah sini memang seperti ini keadaannya, banyak copet. Nanti adikku kuminta jemput kamu ke sini. Kalau kamu khawatir, kamu bisa minta diantar polisi kalau perlu." Kirana langsung menunduk, dia tidak bermaksud menyakiti hati Satria dengan terang-terangan tidak mau diantar. Memang dasarnya juga seorang lelaki dan perempuan tidak boleh berduaan saja. Baiklah, Kirana memang diajarkan untuk selalu berprasangka baik dengan orang. Dia pasrahkan semuanya pada Tuhan nasibnya yang berada di tangan-Nya. "Atau, adikku kuminta menginap di sini menemani kamu saja? Nanti biar dia temenin kamu menginap di dekat sini. Coba nanti kita tanya ke penjaga rumah sakit, biasanya tau tempat penginapan saking seringnya ditanya." Tanpa sadar, Kirana langsung mengangguk begitu saja. Kalau adiknya Satria ke sini, Kirana baru bersedia. Walaupun merepotkan, ya mau bagaimana lagi dasarnya Kirana tidak tahu jalan dan baru pertama kali juga berkunjung di Bandung. "Aku hubungi sebentar. Dia anaknya introvert, sulit punya teman. Semoga sama kamu betah ya, sama-sama pendiamnya." Kirana tersenyum kecil mendengarkan perkataan Satria. Lelaki itu jujur sekali. Mereka yang posisinya masih berjalan lantas berhenti ketika sambungan telfon itu terhubung. "Halo assalamualaikum Neng, ke rumah sakit, ya? Ini ada temen cewek kakak, nggak ada temennya, mau menginap di daerah rumah sakit kan rawan. Ini mau tanya penjaga rumah sakit dulu, nyari kost yang bisa menginap cuma semalam." "Waalaikumsalam." Kirana hanya menyimak dengan seksama. Dia bisa mendengar balasan perempuan dari sambungan tersebut. "Oh ada teman, ya. Ya udah atuh Neng ke sini, ini sendirian temen kakak. Ditunggu ya." "Nanti dia ke sini," Satria memberi tau. Gadis itu mengangguk senang sekali. Ada sesuatu yang meletup-letup dalam perutnya, rasa gembira juga rasa lega dalam dadanya yang membuat Kirana melanjutkan syukur tanpa henti. "Terima kasih banyak ya, Mas." "Menyebrang dulu, ayo." Mereka kembali berjalan bersama-sama dengan orang-orang yang memang ramai menyebrang. Satria membawa Kirana untuk bertanya ke penjaga rumah sakit dan di arahkan ke masjid yang bukan lagi masuk lingkungan rumah sakit. Setelah mendapatkan jalan menuju ke arah masjid yang disekitarnya banyak kost-kostan itu meskipun belum tahu apakah diizinkan untuk semalam saja atau tidak, yang penting mereka sudah mencoba datang ke sana. Namun, mereka menunggu adiknya Satria datang dulu. Disambi mengobrol tentang kabar UKM Pengembangan, akhirnya adiknya Satria datang juga. Adiknya ini berhijab juga ada laki-laki lantai yang naik sepeda motor berbeda. "Kok si Kiki datang juga, Dek? Kakak cuma telfon kamu tadi." Satria menatap adik-adik kandungnya itu kebingungan. Gadis cantik yang belum Kirana tahu namanya ini langsung menjawab. "Iki maksa ikut, Kak. Ya sudah sekalian. Aku pikir, Kakak juga butuh boncengan, biar nengnya sama aku, Kakak sama Kiki." Kebetulan sekali karena jaraknya juga lumayan jauh. "Kirana, mereka ini adik-adik ku. Meisya adik pertama, Kik adik kedua, dua-duanya sudah kuliah semua." Kirana langsung menunduk memperkenalkan diri, agaknya meringis tidak enak hati. "Aku Kirana, maaf ya sudah merepotkan." "Ndak kok Mbak, mari." Meisya mempersilakan. Di saat Kirana naik di jok belakang motor Meisya, Satria dibonceng oleh Kiki. Mereka lantas menunggu lampu merah sejenak untuk menuju masjid yang arahnya bersebrangan itu. Begitu sampai di tempat yang dimaksud oleh penjaga rumah sakit tadi, sekalian dengan teman Meisya, mereka berhenti di tempat yang tidak jauh dari masjid. Meisya punya teman sekelas yang mengontrak di sana, jadi sekalian saja Meisya izin menginap di sana juga, Satria dan Kiki hanya sebatas mengantar. Kirana yang melihat sekeliling ramai orang jualan nasi kucing, geprek, juga ada warmindo, kafe-kafe unik merasa lega sendiri. Dia jadi ingin menangis karena orang-orang begitu baik kepadanya, padahal Kirana baru pertama kali bertemu dengan Meisya. "Terima kasih banyak ya sudah membantuku." "Sama-sama." Satria menjawabkan. "Ya sudah kalau begitu aku dan Kiki pulang dulu, ya. Mei, dijagain temen kakak. Kami pulang dulu. Kalau ada sesuatu, hubungi saja. Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Satria dan Kiki benar pergi dari wilayah itu. Meisya lantas mempersilakan Kirana untuk masuk ke dalam yang ternyata suasananya tidak jauh beda dengan kontrakannya di Depok, banyak orang-orang sedang mengaji di ruang tamu sembari menunggu adzan Isya'. Meisya membawa Kirana ke kamar temannya yang berada di sana yang kebetulan sedang berhalangan salat. Karena itu Kirana bisa meminjam mukenanya untuk nanti salat Isya'. Kirana bersyukur sekali atas izin Allah ada orang-orang baik yang menolongnya. Entah kebaikan apa yang sudah dirinya lakukan sehingga bisa mendapatkan balasan baik seperti ini. Saking bersyukurnya, Kirana tak juga kunjung berhenti menangis seusai salat Isya'. Dia terus berdzikir menyebut sama-sama Allah. Sementara di sisi lain, Pak Damar di ruangannya mempertanyakan keberadaan Kirana yang tidak kembali juga sementara Anggi duduk santai memainkan ponselnya. "Anggi, Kirana dimana? Bukankah tadi dia keluar bersamamu?" Pak Damar bertanya pelan dengan tatapan datar tapi terkesan serius. Perasaannya mendadak tidak enak. Anggi yang ditanyai hanya menjawab, "tidak tau, Mas. Tadi pergi." Karena tidak puas dengan jawaban Anggi yang terkesan tidak peduli, Pak Damar gantian menegur Silvi yang juga sama sibuk dengan ponselnya sendiri. "Dek, tadi kamu ke sini sama siapa? Kok tidak bertanggungjawab?" beliau mempertanyakan. Silvi yang baru sadar Kirana tidak ada di antara mereka langsung menanyai Anggi yang juga sama mengatakan tidak tahu. Silvi lantas melakukan panggilan pada nomor yang pernah Kirana berikan kepadanya dan malah suara handphonenya Kirana berdering di ruangan itu sendiri. "Kalau mengajak orang pergi, harus tanggungjawab. Kirana bukan orang sini, kalau kenapa-kenapa bagaimana?" Sebagai maksud membela Silvi, Anggi langsung menjawab. "Kirana sudah besar, Mas. Mungkin sedang salat. Dia suka lama kalau salat. Nanti pasti kembali lagi ke sini. kalau tidak, handphone bututnya mau diambil siapa juga?" Pak Damar jadi tidak paham dengan maksud Anggi itu apa. Dan Pak Damar rasa diantara Kirana dan Anggi sedang ada masalah, namun dia sendiri juga tidak tahu masalahnya dimana. Padahal, dirinya sendiri yang menjadi penyebab persahabatan Kirana dan Anggi menjadi renggang, bahkan Anggi terang-terangan memusuhi Kirana karena rasa cemburunya yang tidak bisa ditahan lagi. Memang benar ya kalau perempuan itu bisa menyembunyikan rasa cintanya berpuluh-puluh tahun sekalipun, tapi tidak bisa menyembunyikan cemburunya sama sekali. Namun, apakah Anggi pantas cemburu dengan Kirana di saat Pak Damar juga bukan siapa-siapanya. Silvi yang peka dan mendadak agak sensi malah jadi emosi mendengar perkataan Anggi. "Kalaupun nggak ada yang mau membawakan, akan aku bawakan sampai Ketemu orangnya, Mbak. Kalau perlu, aku antarkan juga ke rumahnya supaya ketemu sama pemiliknya. Walaupun itu hanya handphone jadul, tapi pemiliknya begitu baik padaku. Jadi bukan hal besar untuk menjaga milik Mbak Kirana. Mbak Anggi jangan merendahkan!" Bukannya merasa bersalah atau apa, Anggi makin tidak suka dengan Kirana. Sementara Pak Damar hanya bisa memejamkan matanya dalam-dalam.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN