Jika dihitung dengan benar, sudah tiga jam berlalu sejak Kirana bertemu dengan Anggi dan mereka malah berakhir seperti orang asing saja karena saling diam saja.
Kirana tidak perlu bertanya lagi salahnya dimana ketika dia saja sudah izin tidak ingin berada di sana lagi dengan alasan ada urusan dan harus segera pulang ke Depok, bisa dibilang Pak Damar yang paling tahu tentang ini. Dia sudah merasa kalau ada yang janggal dan kian jelas lah sekarang janggalnya dimana.
Sedari tadi, Silvi selalu mengajak Kirana berbincang di saat Kirana sudah tidak mau berbicara yang bisa membuat raut wajah Anggi semakin ditekuk.
Oh ayolah, Silvi yang seharusnya sedekat itu dengan keluarga Pak Damar. Kenapa Kirana yang baru datang langsung menarik perhatian semua orang? Padahal Kirana bukan siapa-siapa dan tidak akan menjadi siapa-siapa.
"Mas Damar, Mas Damar ingin makan?"
Tiga orang yang kembali lagi berada di sana yang menunggui Pak Damar sedari tadi. Kirana lebih banyak diam, Anggi irit sekali berbicara dan Silvi yang tidak ada malunya mengajak sang kakak pertamanya berbicara. Namun tadi, perkataan yang baru dilontarkan oleh Anggi itu membuat suasana di antara semua orang yang berada di sana, agak menjadi mencekam.
Masalahnya, bukan Pak Damar yang ingin menolak secara halus, tapi perkataan-perkataan Silvi yang terang-terangan tidak suka juga membuat Anggi sama sadarnya. Dia bukan anak kecil yang tidak akan benci ketika di dorong. Namun selain di lingkungan itu, dia pasti paham. Sementara Kirana yang sudah tidak nyaman sedari tadi benar-benar ingin melarikan diri dari ruangan itu saat itu juga. Kenapa malah seperti keadaannya. Padahal, niat Kirana hanya mengantar. Tapi sekali lagi tanpa sadar, seperti Kirana yang menyulut apinya. Karena sebelum Kirana datang bersama dengan Silvi, Anggi diprioritaskan semua orang terdekatnya Pak Damar.
"Memangnya Mas mau disuapi?" Silvi berdiri, berjalan lebih dulu ketika Anggi ingin mengambilkan makanan untuk Pak Damar. Jangan tanyakan bagaimana ekspresi Kirana waktu itu karena dia tanpa sadar meringis dengan detak jantungnya yang berdebar-debar tidak karuan. Khawatir saja kalau terjadi keributan di antara mereka semua yang sebenarnya tidak perlu.
"Vi, aku keluar dulu, ya?" Kirana langsung pamit pada Silvi pertama kali. Dia tidak mau mempermalukan Anggi dengan mengajak perempuan itu berbicara yang pastinya tidak akan dijawab. Daripada terlihat kalau sedang marahan, Kirana langsung saja pamit keluar. Hanya keluar, bukan langsung pulang. Siapa tahu, dengan memilih keluar, Anggi bisa berbicara baik-baik dengan Silvi dan mereka bisa berteman baik, tidak saling salah paham seperti yang terlihat.
"Mbak Kirana mau kemana? Jangan pulang ke Depok lhoh, Mbak? Kalau mau pulang hari ini juga, aku antarkan."
"Ndak." Kirana melambaikan tangannya, "aku cuma mau duduk di luar dulu, udaranya dingin di sini."
"kamu tidak membawa jaket, Vi?" Pak Damar menatap Silvi yang sudah berdiri seraya membawa nampan makanan, ingin menyuapi Pak Damar.
"Tidak. Kan aku suka dingin, Mas."
Fokus Pak Damar yang tadinya terarah kepada Silvi langsung teralihkan kepada Kirana. "Kamu mau memakai jaket saya, Na. Saya ada beberapa di sini, ada yang belum saya pakai."
Aduh, sepertinya Kirana makin salah lagi dengan berkeinginan keluar dari ruangan itu. Apalagi wajah Anggi makin masam saat Kirana tidak sengaja melirik ke arahnya.
"Ndak usah, Pak. Saya keluar saja." Kirana menggeleng tidak enak. Meskipun alasan kedinginan itu memang benar adanya, tapi Kirana juga pikir-pikir kalau sampai akan dipinjami oleh jaket dosennya.
"Tidak apa-apa daripada kedinginan kalau malam. Atau minta Silvi ini beli selimut baru."
"Ih nanti aku bersin-bersin karena belum dicuci selimutnya." Silvi manyun tidak setuju karena sebelum menggunakannya sesuatu yang baru, barang itu harus disterilkan terlebih dahulu sebelum sampai pada Silvi. Kulit gadis itu sangat sensitif sekali, mudah sekali gatal-gatal.
"Pakai jaket saya saja, Na." Pak Damar meyakinkan sekali lagi.
"Aku permisi dulu." Anggi yang sudah berdiri ketika berbicara langsung melipir keluar bahkan tanpa menunggu orang-orang menjawab izin pamitnya.
Di waktu itu, Kirana makin meringis tidak enak. Silvi terlihat senang dan Pak Damar juga terlihat biasa saja, tapi wajahnya datar sekali. Ya memang wajahnya seringnya seperti itu. Jadi ya sudah mau diapakan lagi.
Karena tidak ingin masalah di antara mereka semakin runyam—sebut saja seperti itu, Kirana ingin segera mengakhirinya dengan menyusul Anggi dan berbicara dari hati ke hati. Kirana tidak mau kalau hanya masalah laki-laki, persahabatan yang sudah seperti persaudaraan ini malah jadi hancur berantakan.
"Silvi, Pak Damar, saya keluar juga, ya? Mau berbicara dengan Anggi sebentar." Pamitnya.
"Di sini saja sih, Mbak? Memangnya dia di luar?" Silvi bertanya agak tidak suka, dan Kirana jelas-jelas bisa melihatnya. Jadi karena keinginan untuk bertemu dengan Anggi makinlah besar.
"Mau berbicara dengan Anggi dulu. Ada sedikit urusan. Saya pamit, ya. Assalamualaikum."
"Waalaikumsalam." Jawab dua orang itu serempak. "Jangan pergi jauh-jauh ya, Mbak. Awas ilang wajahnya Mbak aku print terus aku tempel di seluruh pelosok kota Bandung, nanti Mbak terkenal."
Kirana tersenyum mendengar candaan Silvi yang tertawa renyah sekali. "Aku hanya di depan, Vi. Nanti juga masuk ke sini lagi."
"Siap, Mbak. Jangan lama-lama, aku nggak ada temennya."
Saat itu, keluarlah Kirana dari dalam ruangan. Begitu keluar, melihat kanan kiri, dia juga tidak bertemu dengan Anggi dimana. Karena itu, dia yang mendadak mual lagi langsung kembali ke depan ruangannya Pak Damar. Bukan untuk apa-apa, hanya duduk bersandar di kursi tunggu depan dengan tangan yang tak ada hentinya memijat kepala. Pusing sekali kepalanya."
Tak selang lama, ada ibunya Pak Damar yang sekali lagi Kirana lupa namanya siapa jadi bingung saat mau menyapa. Alhasil, dengan senyum seadanya, Kirana mengapa perempuan paru baya yang terjaga kecantikannya itu. "Bu." Kirana menunduk.
Kirana kira, ibunya Pak Damar pasti lah langsung masuk ke ruangan anaknya. Namun Kirana salah besar, justru ibunya Pak Damar malah berhenti dan duduk tepat di samping Kirana.
"Nak?" panggil ibunya Pak Damar begitu lembut, tangannya terulur menepuk paha Kirana yang berbalut rot panjang pelan. "Adakah yang sakit? Wajahmu pucat sekali."
Gadis yang memang wajahnya pucat sekali ini hanya menggeleng yang langsung ditanyai lagi oleh perempuan paruh baya yang ada di sampingnya. "Masih mual, ya? Kening kamu berkeringat dingin itu."
"Saya ndak papa, Buk."
"Sebentar ibuk carikan minyak kayu putih. Kalau kamu masih sakit, istirahat di dalam saja, jangan di luar. Keinginan, ya? Tangannya gemetar?"
Terulang lagi, ibunya Pak Damar tanpa sungkan langsung menyentuh telapak tangan Kirana yang memang terasa dingin. "Masuk ke ruangan saja, yuk. Nanti kalau makin parah gejalanya, diperiksakan juga di sini."
"Saya ndak papa kok, Bu." Kirana meringis tidak enak hati. "Nanti juga mendingan sendiri, Bu. Memang kalau mabuk pejalan suka seperti itu. Maaf ya sudah sangat merepotkan sekali."
"Ah kamu." Kirana agak terhuyung ketika tubuhnya terdorongnya pelan oleh rengkuhan pelan ibunya Pak Damar. Kalau begini, mereka malah terlihat akrab sekali, bukan seperti orang yang baru kenal tadi.
"Omong-omong, tahu Anggi di mana, Nak? Tadi izin mau cari makan, tapi ibu ndak ketemu di kantin."
Kirana langsung menggeleng tidak tahu. Jujur Kirana tidak bermaksud ingin membuat ketidaknyamanan di antara semua orang karena kehadirannya. Namun, dengan perginya Anggi semenjak dirinya datang, Kirana sadar betul dia sudah pasti menganggu sekali.
Sungguh, Kirana tidak ada maksud seperti itu. Kalau boleh, dia ingin kembali ke Depok saja daripada kehadirannya membuat Anggi, yang tak kain adalah sahabatnya sendiri menjadi susah.
Dalam lubuk hatinya yang paling dalam, Kirana sudah terlalu sadar diri dirinya siapa jika dibanding dengan Anggi yang pintar, cerdas dan tentu saja memiliki segalanya m
Namun Kirana, apa yang Anggi cemburui dari apa yang Kirana miliki? Kenapa malah seperti ini. Kirana lebih takut hubungan perusahaannya dengan Anggi berantakan daripada mendapat nilai jelek pada mata kuliahnya. Kalau nilau jelek bisa dicari, tapi kalau sahabat sedari kecil seperti Anggi, Kirana mau mencarinya dimana lagi? Tidak akan bisa.
"Seperti saya pulang ke Depok saja, Bu. Di sini saya tidak bisa membantu apapun. Saya pamit dulu ya, Bu?"
"Lhoh jangan. Di sini saja, sebentar lagi malam, bahaya pulang sendiri."
Namun, Kirana tetap bersikeras ingin kembali ke Depok apapun caranya.