Sepulang dari membei onde-onde ceklis, Bu Ghina dan Kirana kembali ke rumah. Sebenarnya tidak langsung kembali ke rumah. Bu Ghina dan Kirana berhenti di rumah boss batiknya Bu Ghina yang dia meminjam motor itu. Karena tadi Kirana tidak ingin diberhentikan di rumah, ingin ikut Bu Ghina mengembalikan motornya, makanya Bu Ghina menurunkan Kirana di rumah boss batiknya itu juga.
Boss batik Bu Ghina adalah seorang perempuan. Bu Ghina sudah bekerja di sana sejak Kirana masih kecil dan masih bekerja sampai sekarang. Meski tidak ada hubungan darah ataupun keluarga sedikitpun, tapi keluarga mereka sudah dekat sekali mengalahkan kekeluargaan.
Beliau selalu memberikan Kirana uang saku ketika ingin berangkat sekolah sewaktu dulu. Dan saat kuliah pun, Beliau selalu melakukan itu. Kalau mendapatkan kabar bahwa Kirana pulang dari kuliah, Beliau akan memberikan sesuatu untuk Kirana walapaun hanya sesederhana mie ayam ataupun bakso. Sungguh tulus sekali kekeluargaan beliau ajarkan. Beliau tidak memandang bulu dalam berbuat baik. Mau orang kaya, mau orang miskin, selagi orangnya baik, kenapa tidak dibantu.
Begitu sampai, Bu Ghina mengatakan pada Kirana untuk silahturahmi sebentar ke Boss ibunya yang benarma Mbah Darti. Mereka masuk sama-sama ke rumah joglo sederhana itu. Meskipun rumahnya biasa, Mbah Darti terkenal sebagai janda kaya raya di daerah Kirana. Sedari dulu, banyak yang berkeinginan untuk menikahinya saat suaminya meninggal dan dia ditinggal dengan dua anaknya. Namun, Mbah Darti tidak menerima lamaran siapapun. Dia justru lebih memilih hidup sendiri dan berjuang untuk membesarkan anak-anaknya sendirian. Dasarnya anaknya laki-laki semua, Kirana sudah dianggap sebagai cucu perempuan dari Mbah Darti. Jadi sedari dulu Kirana selalu mendapatkan hadiah dari beliau.
“Assalamualaikum, Mbah?”
“Waalaikumsalam. Siapa itu?” Mbah Darti yang sudah memakai kacamata melihat agak menyipit saat melihat dua orang baru datang dan mengucapkan salam bersama-sama. Dia pikir ada tamu yang ingin membeli batik malam-malam begini.
“Kirana, Mbah.” Bu Ghina menyahut.
“Lhoh, cucu perempuanku pulang, to?”
Kirana tersenyum senang, kemudian menghampiri Mbah Darti dan mencium tangannya senang. “Assalamualaikum, Mbah? Ini Kirana.”
“Waalaikumsalam. Kamu to, Nduk? Lama sekali baru pulang. Di sana bagaimana? Lancar semuanya kan, Nduk? Temannya baik-baik?” tanya Mbah Darti langsung saja. Mumpung bertemu dengan Kirana langsung. Dia juga sangat merindukan gadis yang sudah dianggap cucunya sendiri ini.
Sekali lagi Kirana mengangguk membenarkan. “Nggih, Mbak. Alhamdulillah lancar, temanku juga baik-baik.”
“Alhamdulillah. Jadi anak yang pinter ya. Ibuk kamu bekerja keras sekali untuk menyekolahkan kamu.”
Kirana mengangguk paham. Kalaupun ada yang sangat mengerti tentang susahnya keluarga Kirana, maka itu adalah Mbah Darti. Beliau yang membantu keluarga mereka sedari dulu.
Mereka berbincang banyak. Entah hanya untuk bercanda atau bahkan seserius Mbah Darti mengatakan kalau Kirana dijodohlan saja dengan putranya yang bungsu. Bahkan, meskipun keluarga Kirana dianggap remeh karena memang bukan keluara yang berada, Mbah Darti tetap tidak memandang status itu. Baginya, orang kaya adalah orang yang baik. Dia juga sudah tahu seluk beluk keluarga Kirana itu seperti apa. Kalaupun ayahnya yang dulu pamit kerja tidak kembali, beliau tetap berpikir positif dengan logikanya.
Mbah Darti berpikir kalau bisa jadi ayahnya Kirana sudah meninggal. Hanya saja, karena tidak ada sanak keluarga yang kenal dengan ayahnya, orang-orang mungkin memakamkan baliau di sana karena tidak tahu alamatnya dimana. Itu pemikiran Mbah Darti yang tidak ingin menjelek-jelekkan. Karena Bu Ghina juga pernah bercerita kalau dia pernah bermimpi melihat almarhumah mertuanya bersama dengan suaminya itu. Ya meskipun tidak bisa dijadikan sebagai tolak ukur kebenaran, tapi Bu Ghina merasa kalau suaminya dalam mimpinya itu seperti pamit. Sedangkan, sampai sekarang pun, suaminya memang tidak pernah pulang dan tidak ada kabar sama sekali. Entah masih hidup atau sudah tiada, hanya Allah Yang Maha Mengetahui.
Selama itupun, orang-orang menjatuhi dirinya gelar ditinggal suaminya pergi. Namun, Bu Ghina juga tidak mempermasalahkan karena memang seperti itu kenyataan yang ada. Dia tidak keberatan kalau dirinya dicemooh ini dan itu. Tapi, beliau tidak tega jika Kirana yang dibicarakan orang. Kalau memang suaminya sudah meninggal, itu artinya Kirana sudah menjadi anak yatim. Kasihan dia karena tidak pernah melihat wajah ayahnya. Walaupun pernah diurus waktu kecil, Kirana pasti tidak akan ingat dengan wajahnya. Dia juga tidak akan ingat dengan suaranya. Kalaupun pernah bermimpi ayahnya, Kirana pasti akan menangis karena dia sendiri tidak tahu wajah ayahnya itu seperti apa.
Setelah lama bercerita banyak hal, kemudian mereka pamit pulang setelah beberapa waktu lalu puas melepas rindu. Saat perjalanan pulans rumah seraya berjalan kaki, Bu Ghina dan Kirana sesekali berbicara. Untung jarak rumah mereka dekat, jadi tidak terlalu lelah untuk sampai ke rumah. Dianggap saja sebagai olahraga karena sudah kebiasaan sehari-hari seperti itu. Tidak perlu dianggap sesuatu masalah yang besar. Kalau begitu saja dianggap susah, masalah yang mudah harus bagaimana lagi, bukan?
Terkadang mereka disapa oleh orang-orang yang kebetulan sedang bersantai di beranda rumah. Namun, ada juga yang seperti berpura-pura tidak melihat mereka lewat sehingga Bu Ghina ingin menyapa pun segan karena dia sadar diri, rumah yang dilewatin ini rumah orang kaya. Jadi daripada diabaikan dan malah membuat Kirana sedih karena sikap orang-orang terhadap dirinya yang terkadang tidak selalu baik, jadi Bu Ghina diam saja.
Sampai akhirnya, tiba juga mereka di rumahnya sendiri. Bu Ghina dan Kirana langsung duduk di kursi panjang yang berada di beranda rumah. Setelah mencuci tangan, mereka memakan onde-onde ceklis yang sudah menghangat itu bersama-sama. Namun, bagi mereka tetap enak dengan ditemani suara jangkrik yang bernyanyi sepanjang malam tanpa kenal lelah.
“Besok pulangnya jam berapa, Na? Jangan siang-siang nanti kemalaman.” Bu Ghina megingatkan saat satu onde-onde sudah masuk ke dalam perutnya.
“Jam delapan pagi, Buk.”
“Oalah, besok bangun lebih pagi.”
Kemudian ibu dan anak itu diam karena mereka sibuk memaka onde-onde dengan begitu khidmat. Meski hanya onde-onde, nyatanya sudah membuat mereka bersyukur sekali masih bisa berkumpul bersama. Di malam yang begitu cerah ini, dengan bintang yang bertaburan di langit.
Kalau di Depok sana, Kirana yang jarang keluar dari kontrakan kecuali memang keperluan penting sampai terkadang lupa penampakan langit saat dihiasi jutaan bintang itu bagaimana. Di sini sekarang, bersama ibunya, memang saat-saat seperti inilah yang dirinya rindukan. Tidak ada tempat terbaik selain ada ibunya di sampingnya.
"Kalau di sana, aku ndak bisa lihat bintang kayak di rumah, Buk. Kalau lihat, biasanya langitnya gelap. Kalaupun terang, aku ndak bisa lihat bintang-bintangnya, padahal tidak mendung."
Bu Ghina hanya tersenyum mendengar perkataan putrinya. "Sebagus apapun kota orang, Nduk. Rumah pasti selalu jadi tempat ternyaman untuk pulang. Kalau kangen ibuk, sekarang ibuk sudah punya hape sendiri, sering-sering kabarin ibuk, ya. Tadi kan sudah kamu ajari supaya awet pulsanya kalau bertelfonan. Besok kalau sudah sampai, kalau kamu ndak capek, langsung kita praktikan, ya?"
Kirana langsung tersenyum riang, dia antusias sekali. "Siap, Buk. Nanti telfonan sampai berjam-berjam. Temanku yang satu kamar, itu setiap hari selalu bertelfonan dengan keluarganya yang di rumah. Biasanya kalau habis Magrib, dia pasti telfon semua keluarganya. Ayah, Ibuk, Nenek, adik-adik. Aku suka bingung mau mengabari ibuk dari mana."
"Yo wes to, besok setiap ba'da Magrib langsung telfon ibuk saja. Ibuk pasti langsung angkat. Mejet tombol ini, kan?" Bu Ghina menunjukkan tombol yang memang tadi sudah Kirana sebutkan keguanaannya yaitu untuk mengangkat panggilan masuk.
"Nggih, Buk. Leres."
"Tenang, Na. Kalau begini saja mah, ibuk pasti bisa. Gampang." Kata Bu Ghina bangga.
Kirana sekali lagi tertawa. "Itu juga bisa untuk mendengarkan radio, Buk. Bisa buat game ular juga."
"Lhoh bisa radio to? Coba ibuk ajari, Na. Biar kalo sendiri, ada radio yang menemani."
"Memangnya Mbah tidak radionan, Buk?"
"Yo tetep, Na. Cuma kadang diganti sama mbak-mbak yang lebih muda, ibuk mana mengerti diputarkan lagi zaman sekarang. Ibuk taunya Bengawan Solo, Stasiun Balapan."
Mereka malah tertawa bersama-sama menikmati kebersamaan. Kirana selalu suka menghabiskan waktu seperti ini.
"Di sana, aku ndak bisa mewarnai batik, Buk. Jadi selalu kangen rumah. Ingin bekerja bareng Ibuk, nanti kalau gajian seminggu sekali buat beli capcay kuah di rumahnya De Yarsi."
"Yah, pulang kali ini ndak bisa beli capcay ya, Nduk. Besok pagi sudah harus pulang." Bu Ghina berujar agak sedih. Biasanya mereka sempat membeli capcay kesuksesan Kirana bersama-sama.
"Ndak papa, Buk. Kan kalau liburan nanti bisa makan sepuasnya."
"Memang liburnya kapan, to?" Bu Ghina menggantung onde-onde nya di udara, menunggu jawaban dari Kirana terlebih dahulu.
"Januari sepertinya, Buk. Masih satu bulan lagi."
"Sebentar lagi itu. Nanti kalau liburan, kamu mau jalan-jalan ke mana? Mbah Darti ada acara ziarah. Mau ikut?"
"Wali berapa, Buk?" tanya Kirana antusias.
"Yang di Jawa Timur. Mau?"
Kirana langsung menggeleng begitu saja. Gadis ini mengingat waktu ziarah tahun kemarin, ibunya malah tiba-tiba sakit di perjalanan. Jadi daripada ibunya kenapa-kenapa, Kirana memilih tidak pergi saja meski untuk ongkos perjalanan dibiayai oleh Mbah Darti. Namun, tetap saja kalau untuk jajan ibunya sendiri yang menanggung. Bu Ghina memang sudah tidak bisa diajak berpergian jauh. "Uangnya ditabung aja, Buk. Nanti kalau aku sudah bekerja, aku sendiri yang mengantar Ibuk ziarah. Doakan aku terus ya."
"Lhoh ya pasti didoakan dong, Nduk. Kamu anak ibuk satu-satunya. Kamu juga jangan lupa doakan ibuk, semoga sisa umurnya tidak sia-sia. Kalau ibuk sudah ditakdirkan memilki umur panjang, ibuk pengen lihat kamu menikah, biar ada yang menjaga."
Kirana menunduk menatap kakinya. Dia tidak tersenyum, juga tidak cemberut, hanya saja pandangannya yang sendu, seakan-akan menahan tangis.