3. Onde-onde Ceklis

1493 Kata
Selama perjalanan pulang, Kirana tersenyum memandangi jalan yang ramai lancar. Banyak sekali orang-orang yang keluar malam ini. Ya makhlum saja karena memang malam minggu. Banyak orang menghabiskan waktu di akhir pekan meski hanya motor-motoran saja. Kirana sesekali tersenyum melihat beberapa perempuan maupun laki-laki yang sepertinya seumuran dengan dirinya tengah duduk beramai-ramai di sebuah lamongan. Mereka tengah makan bersama-sama. Kirana juga seperti itu dengan teman-temannya kalau di kota. Mereka suka mencari tempat atau warung makan yang masakannya enak tapi tetap memperhatikan kebersihan dan harganya. Ramah di kantong atau tidak, kalau tidak ya mereka mencari tempat yang lain. Kirana dan dua teman dekatnya di kontes kalau makan memang selalu memperhatikan harga. Masalahnya, pernah sekali mereka gaya-gayaan tanpa melihat harga, endingnya uang mereka dikumpulkan semua dan masih kurang untuk menutup biaya yang telah mereka habiskan saat makan di sana. Alhasil, mereka jadi babu mencuci piring di tempat tersebut. Namun, mereka tetap mensyukurinya. Karena hal itu mereka semakin paham kalau tidak berlebih-lebihan itu sangat penting dalam melakukan sesuatu. Kalau berlebih-lebihan dalam melakukan amal tidak apa-apa. Tapi kalau berlebih-lebihan dalam hal makan atau yang lain, pasti ada efek buruknya. Karena itu Tuhan sudah berfirman kalau tidak menyukai hambanya yang berlebih-lebihan dalam hal dunia. Intinya seperti ini. "Mau makan, Ndok?" Bu Ghina bertanya agak keras agar Kirana mendengar, yang saat itu juga berhasil menyadarkan Kirana dari lamunannya akan pengalaman di kota. "Apa beli onde-onde ceklis?" "Onde-onde Pak Yoyok masih buka to, Buk?" "Ha?" Kirana tersenyum mendengar suara ibunya, kemudian mendekatkan bibir di dekat telinga sang ibu karena memang posisinya jalanan ramai, Bu Ghina juga sedang menggunakan helm. Jadi wajar saja kalau ibunya ini tidak bisa mendengar dengan jelas meski Kirana sudah balik berteriak sekalipun. "Onde-onde Pak Yoyok masih buka, to?" tanyanya memastikan sekali lagi. Pasalnya, Kirana sudah lama tidak datang. Hampir tiga bulan kalau tidak salah. "Yo masih to. Kamu mau? Ibuk antarkan ke sana yo. Nanti kamu jalan sedikit, ibuk jaga motor." "Nggih, siap Buk." Jawab Kirana bersemangat. Masih mengendarai motor bututnya begitu santai, Kirana yang duduk di belakang begitu senang sekali. Walaupun besok dia sudah harus pulang. Tapi yang penting sekarang dia bisa bertemu dengan ibunya. Karena bagi Kirana, ibuk adalah segala-galanya. Dialah surganya. Tak lama kemudian, Bu Ghina berhenti di pinggir jalan, Kirana bergegas melepas helm dan berjalan menuju ke kedai kecilnya Pak Yoyok untuk membeli makanan favoritnya sedari dulu. Kirana suka sekali dengan onde-onde kecil, apalagi yang masih hangat, yang baru saja digoreng. Dia bisa menghabiskan porsi banyak kalau onde-onde nya masih hangat. Kirana berjalan melewati berbagai orang jualan di pinggir jalan. Mulai dari chicken, martabak, getuk, wedang ronde, sampai akhirnya sampai di tempatnya Pak Yoyok. "Assalamualaikum Pak Yoyok, beli onde-onde ceklis, Pak. Sepuluh ribu, ya." Pak Yoyok, lelaki paruh baya yang memang sampai hafal dengan Kirana memekik girang, "lhoh, Kirana? Libur kuliah to, Nduk? Walah, sekarang tambah cantik yo. Bapak sampai pangling." Kirana hanya tertawa. "Bapak bisa saja. Saya mau beli onde-onde, Pak." "Duduk dulu, ini bapak baru goreng. Wah pas sekali. Tunggu sebentar." Pak Yoyok terlihat begitu senang melihat Kirana datang. Beliau ini memang hanya memiliki anak laki-laki. Makanya kalau ada anak perempuan yang baik dan memang sudah dekat lama, Pak Yoyok sudah menganggapnya seperti anak sendiri. Kirana lantas duduk. Dia memandangi sesekeliling sesekali menjawab pertanyaan Pak Yoyok saat ditanyai. Namun yang membuat Kirana bingung, ibunya menyusul. "Lhoh, Buk. Kenapa?" tanya Kirana kebingungan. Pasalnya, tadi kan sudah mengatakan kalau akan menunggu di motor saja. Kirana pikir ada yang tertinggal atau apa. "Ndak papa. Orang ibuk mau nungguin bareng kamu aja." "Lungguh-lungguh, Mbak." Pak Yoyok yang melihat kehadiran Bu Ghina langsung mempersilahkan. "Ditunggu yo, lagi digoreng ini." "Ya, Pak." Jawab Bu Ghina singkat. Mereka memang sudah saling kenal sejak dulu. Terkadang, Kirana membayangkan, apakah kalau dia memiliki seorang ayah—maksudnya kalau ayahnya di sini, apakah lelaki itu akan bersikap seperti Pak Yoyok yang ramah sekali dengan dirinya padahal mereka jelas orang asing. Meskipun terkadang Kirana denial dengan perasaannya sendiri, tapi rasa rindu itu tetap ada. Dia merindukan sosok ayah. Ya, ibunya memang bisa menjadi segalanya baginya. Hanya saja, terkadang Kirana ingin menangis saat melihat interaksi seorang anak perempuan bersama dengan ayahnya. Dia merindukan sosok itu. Namun Kirana tidak tahu gerangan beliau berada. Dia juga tidak pernah bertanya pada sang ibu karena Kirana tahu itu hanya akan membuka luka lama ibunya. Yang Kirana dengar dari orang-orang, dulu ayahnya pamit bekerja di kota, tapi sekarang tak pernah kembali ke kampung halamannya. Jangankan kembali, kabar burung pun tak ada. Ayahnya seolah-olah menghilang begitu saja. "Heh, jangan ngalamun." Bu Ghina menegur seraya menepuk rok Kirana pelan saat melihat putrinya diam saja menatap jalanan. "Orang ndak melamun kok, Buk. Aku lagi keinget sesuatu." Kata Kirana dengar senyuman khasnya. Bagian bawah matanya yang terdapat lesung, langsung mempermanis wajahnya ketika tersenyum. "Anaknya ayu tenan, tak jadikan menantu boleh ndak, Buk? Anak saya sudah kerja, insya Allah mapan walopun bapaknya jadi tukang onde-onde begini." Kirana dan Bu Ghina kompak tersenyum. "Anak saya masih kuliah, Pak. Perjalanannya masih panjang. Tapi kalau memang ada yang cocok, baik, seiman, bagus agamanya, ya monggo kalo ingin meminang anak saya." "Buk, kok begitu?" malah Kirana ganti menepuk paha ibunya, agak tidak terima ibunya berbicara seperti itu. Kirana antara malu dan tidak terlalu suka. Dalam pikirannya itu, belum terlintas tentang pernikahan atau menjalin hubungan dengan lawan jenis. "Ndak, Ndok. Ibuk cuma bercanda." Bu Ghina menenangkan. Jujur saja, Kirana tidak suka saat ada yang membahas hal seperti ini meski hanya bercandaan saja. Dulu setelah lulus SMA, ada beberapa orang yang datang ke rumah untuk melamarnya. Dan Kirana tidak mau sehingga Bu Ghina harus menolak beberapa pinangan lelaki itu dengan sehalus mungkin agar tidak sampai menyakiti hati mereka. Ibunya menggunakan alasan kalau Kirana ingin kuliah. Namun dari mereka ada yang bersikeras untuk menunggu. Tapi sekali lagi, Bu Ghina menjawab dengan penolakan yang sekiranya tidak menyakiti hati mereka. Bu Ghina ini sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi kecuali hartanya yang paling berharga yakni, Kirana. Dia tidak mungkin menyerahkan putrinya begitu saja dengan lelaki yang bahkan Bu Ghina jelas-jelas tahu ada buruknya. Bukan maksudnya ingin menghakimi orang lewat matanya sendiri, hanya saja Bu Ghina tidak ingin kalau Kirana berakhir seperti dirinya, ditinggalkan oleh suaminya tanpa ada status yang jelas sampai sekarang. Entah masih hidup atau tiada, Bu Ghina tidak tahu. Namun, setiap doa dalam salatnya, Bu Ghina tidak pernah berhenti mendoakan suaminya tersebut. Bagaimanapun, lelaki itu tetap suaminya karena mereka memang tidak pernah bercerai. Kalau memang suaminya menikah lagi, maka biarlah kesadarannya ini menjadi sebab turun rahmatnya Tuhan menaikkan derajatnya. Namun, apabila suaminya sudah meninggal dan orang-orang di sana kebetulan tidak tahu kalau lelaki itu memiliki keluarga yang senantiasa menunggu kepulangannya, maka biarlah doa-doa Bu Ghina dapat membuat mereka berkumpul kembali di surga-Nya. Tentu saja semua di tangan Tuhan. Bu Ghina hanya bisa berusaha senantiasa bersabar dan ikhlas menerima semua ketepatan Allah. Dia tidak pernah membahas ini dengan Kirana karena tidak ingin putrinya ini sedih. Namun, seandainya Kirana bertanya, maka Beliau akan menjelaskan yang sebenar-benarnya agar Kirana tidak salah paham. Karena selama ini, Bu Ghina juga tidak pernah berbicara buruk tentang ayahnya. "Ini sudah, Buk." Pak Yoyok memberikan onde-onde yang diwadahi dalam kardus bertuliskan selamat makan itu dengan senyuman tipis kepada Kirana. "Jangan cemberut to, Nduk. Bapak tadi cuma bercanda." Mereka jadi tertawa. "Nggih, Pak. Makasih ya. Ini berat sekali, pasti isinya banyak banget." "Khusus konsumen Bapak dari zaman SD-nya sampai sekarang sudah kuliah, apa sih yang tidak?" Mereka sekali lagi tertawa. Kemudian pamit setelahnya. Kirana digandeng ibunya saat menyebrang jalan karena lalu lintas yang memang sedang padat-padatnya. Begitu sampai di parkiran motornya, Kirana melihat ibunya memberikan tukang parkir uang. Saat tukang parkir ingin memberikan kembalian, Bu Ghina menolak dan mengatakan. "Tidak usah, Pak. Tolong doakan anak saya saja, Pak. Semoga menjadi anak yang bermanfaat untuk orang lain." "Baik, Buk. Terima kasih banyak, ya. Semoga anaknya sehat, panjang umur, sukses dan berhasil. Bermanfaat bagi orang banyak." Bu Ghina balas berterima kasih. Ini. Ini yang selalu Kirana rindukan. Dia rindu melihat ibunya tersenyum. Bersama ibunya, Kirana jadi paham betul kalau berbagi tidak perlu menunggu kaya raya. Buktinya dengan sedikit uang itu, mereka bisa saling berbagi tawa. Bisa saling membantu satu sama lain. Semoga di sisa umurnya ini, Bu Ghina diberikan panjang umur dengan maksud—menghabiskan masa tuanya dengan selalu melakukan kebaikan dan selalu bermanfaat bagi orang banyak seperti yang memang beliau cita-citakan. Menjadi orang yang berguna bagi sesama. Karena sebaik-baiknya orang adalah orang yang bermanfaat bagi orang lain. Kalaupun tidak bermanfaat, setidaknya tidak merugikan orang lain. Mereka lantas kembali menaiki motor, ganti jalan menuju rumahnya yang berjarak kurang lebih tiga kilometer kalau dari alun-alun desanya. Kalau di sekitar alun-alun jelas ramai, maka di desanya sudah terlihat sunyi meksi ada banyak yang duduk-duduk di beranda rumah. Jalanan yang tidak terlalu terang menambah kesunyian malam mereka hari ini. Di kota yang terang bahkan di sudut manapun, selalu membuat Kirana merindukan gelap dan sunyinya desanya di malam hari. Begitu di hari esok, maka terangnya tak tertandingi. Panasnya kota selalu membuat Kirana merindukan desanya yang sejuk. Juga polusi yang menjadi teman berjalan Kirana di setiap harinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN