5. Bapak

1511 Kata
Di saat malam kian larut, justru langitnya semakin cerah. Jangkrik-jangkrik semakin ribut di luar sana, berlomba-lomba siapa yang paling bagus suaranya sehingga tidak ingin berhenti bernyanyi hingga dini hari. Ibu dan anak yang sekarang tengah rebahan telentang di ranjang ini sama-sama belum tertidur meskipun sudah larut malam. Biasanya, Bu Ghina akan menghadap Kirana kalau ingin tidur. Namun sekarang, mereka sama-sama telentangnya hingga Kirana bertanya. "Buk, kok ndak tidur-tidur?" tanyanya. Mata Kirana yang sayu terlihat kalau sudah mengantuk sekali. Perempuan itu memang tidak betah tidur larut malam. Selalu saja tidur di bawah pukul jam 10 malam. Kalaupun ada tugas, Kirana selalu berusaha menyelesaikan tugasnya dulu sehingga dia bisa istirahat dengan tenang. Bu Ghina yang telentang di samping Kirana pun hanya tersenyum kecil mendengarkan pertanyaan putrinya. "Nunggu kamu tidur, Na. Dulu waktu kamu bayi, selalu kamu yang tidur dulu baru ibuk menyusul." "Bukannya memang seperti ya, Bu?" Kirana jadi berpikir mendengar jawaban dari ibunya. Memang kebanyakan anaknya tidur dulu kan, baru ibunya menyusul tertidur? Kalau tidak, bukannya bayinya akan menangis?" "Ya memang. Makanya tidur, ibu tidur setelah kamu tidur." Kirana memandang langit-langit berupa genteng yang sudah agak kehitam-hitaman. Ada plastik-plastik menempel di sana, untuk mengindari debu. Dan setelahnya, dia mengingat sesuatu. Makanya langsung meringkuk ke arah ibunya dan bertanya mengenai apa yang tengah mengganggu pikirannya sekarang. "Buk, aku mau tanya boleh ndak?" tanya Kirana hati-hati. Pasalnya Kirana tahu kalau pertanyaannya sangat sensitif sekali. "Ya boleh to, Nduk. Kalau bisa menjawab, pasti ibuk jawab." Butuh waktu bagi Kirana untuk meyakinkan dirinya sendiri. Dia melihat ibunya yang masih memandang langit-langit nanar sampai akhirnya pertanyaan itu benar-benar tercetus dari mulutnya sendiri. "Ibuk ndak memikirkan Bapak lagi to, Buk?" Bu Ghina yang sudah merasakan hawa tidak enak sedari dari rumah Mbah Darti tidak terkejut lagi mendengar pertanyaan demikian dari sang putri semata wayangnya. Beliau tahu kalau banyak yang sebenarnya ingin Kirana tanyakan. Namun Bu Ghina juga tahu kalau sebenarnya Kirana takut melukai perasaannya. Bu Ghina sadar kalau Kirana juga berhak mendapatkan penjelasanya sebagai orang tua tunggal. Karena itu, mungkin sudah saatnya beliau bercerita. Mungkin juga dengan mengatakan apa yang menjadi bebannya selama ini, Bu Ghina bisa lebih lega. "Memikirkannya lewat doa, Na." Balasan Bu Ghina yang terkesan tenang membuat Kirana diam saja. Beberapa waktu kemudian, Bu Ghina melanjutkan perjalanan kembali. "Ibuk ndak pernah tahu Bapak kamu di mana sekarang. Dulu, Bapak pergi karena mau cari uang yang banyak di kota. Mau mengadu nasib. Siapa tau jadi orang yang beruntung, bejo, ditolong sama Gusti Allah." Kirana hanya mendengarkan dalam diam. Memandang malaikatnya kian sayu karena wajah ibunya yang seakan redup ketika bercerita tentang bapaknya. "Bapak kamu pergi dengan bapaknya Yanto waktu itu. Dasarnya ibuk tidak punya telfon, jadi tidak bisa berkabar sama sekali. Sampai bapaknya Yanto setahun kemudian pulang, dia memberitahu ibuk kalau Bapak masih kerja, masih ingin mencari uang banyak untuk kita. Yo wes, ibuk lega sudah mendapat kabar seperti itu. Tapi lama-kelamaan, kok bapakmu tetep ndak pulang-pulang sementara bapaknya Yanto sudah pindah ke desa sebelah karena menempati rumah orang tuanya. Ibuk yo bingung, biasanya bawa kamu buat ketemu sama bapaknya Yanto, tapi waktu ibuk tanya perihal bapakmu, bapaknya Yanto ya sama ndak taunya." "Kenapa bapaknya Yanto ndak kembali ke kota yang dituju waktu bekerja dengan Bapak, Buk?" Kirana mulai menanggapi, dia sungguh penasaran sekali dengan kejadian yang sebenarnya itu apa. Dia tidak tega tiap kali mendengarkan gelar-gelar yang tidak seharusnya disematkan oleh orang-orang kepada ibunya. Tidak tahukah kalau itu semua juga menyakitinya sebagai anaknya. "Lha itu." Bu Ghina menghela napas pelan, rasanya berat sekali kalau mengingat suaminya. "Waktu ibu tanya, dia diamanahi almarhum orang tuanya untuk mengurus kebun dan ladang saja. Jadi ya tidak kembali ke kota buat menyusul bapakmu lagi." Mendengarkan kisah bapaknya sendiri, Kirana merasakan sesak di dadanya. "Bapak kamu kirim uang banyak lewat bapaknya Yanto waktu pulang. Kamu juga dibelikan kalung yang untuk anak kalau sudah besar. Makanya ibuk ndak bolehin dijual. Itu satu-satunya kenangan dari Bapak kamu. Ibuk ndak punya apa-apa lagi. Ibuk ndak tau Bapak kamu masih hidup apa ndak, Nduk." Bu Ghina kembali terdiam untuk menarik nafas. Begitu cukup, beliau melanjutkan ceritanya. "Ibuk cuma bisa doain Bapak kamu. Kalau masih hidup, semoga pulang. Ini anaknya rindu, ingin bertemu. Kalau sudah tidak ada, semoga ada orang baik yang dulunya mau mengurus waktu Bapak kamu ndak ada. Bapak kamu itu orang baik, Na. Jangan dbenci ya. Dia sayang banget sama ibuk, sama kamu juga. Bapak pergi demi menghidupi kita, cari nafkah buat kita." Kirana lantas menoleh ke arah ibunya. Hatinya mencelos melihat malaikatnya ini menangis. Padahal selama hidup, Kirana tidak pernah melihat ibunya menangis. Ibunya selalu terlihat tegar. Di depan semua orang, bahkan di depan dirinya sendiri sekalipun. Dan melihat ibunya menangis sekarang, sungguh sangat menyakitkan baginya. "Buk?" Kirana memanggil yang tidak dijawab. Alhasil, Kirana langsung memeluk ibunya. Anak dan ibu itu menangis bersama-sama. Merindukan sosok lelaki yang menjabat sebagai suami sekaligus ayah. Bertahun-tahun diam, sekarang Kirana baru tahu kisah yang sebenarnya tentang bapaknya yang sekarang entah kemana. Semoga Allah melindunginya dimanapun berada. Karena sedari dulu, Kirana selalu diajarkan untuk berprasangka baik. "Ndak papa, Nduk." Bu Ghina berupaya menenangkan, "doakan Bapak kamu terus ya. Kalau salat, jangan pernah lupa doakan Bapak." Kirana mengangguk masih menangis tersedu-sedu. Kemudian Bu Ghina meredakan tangisannya sendiri baru menenangkan Kirana yang terus saja menangis. "Sudah Nduk, ndak apa-apa. Ayo istirahat dulu." Dia tepuk-tepuk punggung Kirana menenangkan agar anaknya ini berhenti dalam tangisan. "Ibuk Ndak pengen nikah lagi?" tanya Kirana tiba-tiba. Tangisannya sudah mereda. Merasa tidak enak kalau sampai menangis lagi. Dia tidak ingin membuat ibunya sedih. Bu Ghina hanya tersenyum mendengar pertanyaan seperti itu. "Ibuk sudah tua, Nduk. Ndak ada pemikiran buat nikah lagi. Ibuk pengen ketemu sama Bapak kamu di langit nanti. Ndak ada yang lain. Sekarang, ibuk cuma mau bekerja buat kamu." Kirana mengangguk mengerti. Ibunya ini memang sosok yang setia. Semoga bapak dan ibunya dipertemukan kembali seperti yang ibunya inginkan. Kirana pasrahkan semuanya pada Allah. Hanya Allah yang Maha Mengetahui apa yang baik dan apa yang tidak baik untuk hamba-Nya. Kalaupun tidak, pasti Allah gantikan dengan yang lebih baik. "Ya sudah, ayo tidur. Sudah malam." Bu Ghina menghadap Kirana dan kembali mengusap-usap tubuhnya supaya tertidur. Dulu sewaktu Kirana belum berangkat, Bu Ghina selalu melakukan hal ini. Dan saat Kiran pulang, kebiasaan itu tidak pernah berubah. Bagi Bu Ghina, Kirana tetaplah putri kecilnya yang sangat dirinya sayangi. Ah—bukan dirinya seorang, melainkan dengan suaminya juga. Kirana adalah kesayangan keduanya. Bahkan waktu Kirana pergi jauh untuk pertama kali, Bu Ghina tidak menangis. Demi terlihat tegar di depan putrinya, beliau baru menangis saat trevelnya sudah berjalan jauh hingga warga sekitar yang melihat membantu menenangkan. Mereka juga prihatin karena Bu Ghina harus hidup sendiri saat Kirana melanjutkan pendidikannya di kota orang. "Makasih banyak nggih, Buk. Aku bangga dan bersyukur sekali memiliki ibu seperti Ibuk." Kirana berbicara lirih di dalam pelukan ibunya saat rasa tegar kembali hinggap dalam dadanya. Dia tidak boleh cengeng. Dia juga harus menguatkan ibunya. Kalau bukan dirinya, mau siapa lagi? Karena pada dasarnya, mereka hanya memiliki satu sama lain. Tangan Bu Ghina berganti tempat. Dia mengusap rambut putrinya yang lebat lembut. Rindu nian dia dengan putri semata wayangnya ini meski tadi sudah menghabiskan waktu bersama. "Iya, Nduk. Ibuk juga beruntung sekali memiliki anak yang pintar dan berbakti seperti kamu. Pokoknya, sekolah yang pinter. Masalah biaya tidak perlu khawatir. Kalau ayam saja punya uang, masak kita yang diberikan akal sama Gusti Allah tidak punya uang, kan? Jangan risaukan rezeki. Masalah itu, sudah Allah yang mengatur. Allah tidak akan membiarkan kita kelaparan." "Nggih, Buk. Kata Ibuk, rezeki sudah ada yang mengatur. Jadi tidak perlu khawatir. Yang penting kita berusaha, ndak diam saja. Tangannya harus mekar, maksudnya bekerja melakukan sesuatu yang bermanfaat untuk melakukan perubahan." Kata Kirana bersemangat. "Nggih, anak ibuk pinter sekali." Kata Bu Ghina bangga. "Ya sudah, ayo tidur. Besok kesiangan, ketinggalan sepur nanti." Mereka sama-sama tertawa sampai akhirnya Kirana tertidur lebih dulu dalam dekapan ibunya. Dengan pencahayaan yang minim sekali ini, Bu Ghina memandang wajah putrinya sendu, kembali menangis jika mengingat putrinya ini tidak pernah melihat sang bapak. Doanya tidak pernah berubah. Semoga putri tunggalnya ini tidak bernasib sama seperti dirinya yang harus kerja banting tulang sendirian untuk menghidupi dirinya sendiri dan juga anaknya. Terkadang, ada niat untuk menyusul ke kota. Ingin mencari suaminya. Bu Ghina tidak berdoa buruk. Hanya saja, jika suaminya menjadi gelandang dan tidak memiliki sepeserpun uang untuk kembali ke desa, Bu Ghina ingin menjemputnya dan membawanya pulang. Namun, keuangan Bu Ghina sendiri juga pas-pasan. Ingin berhutang juga dia tidak punya jaminan apa-apa. Yang terkadang membuat hatinya mencelos, beberapa kali ada orang yang datang ke rumahnya ingin meminang Kirana. Bahkan Kirana dianggap seperti barang yang pertama-tama langsung ditembak akan diberikan mahar sekian demi sekian. Bu Ghina jelas tidak mau. Putrinya adalah harta paling berharga yang dia miliki. Dia tidak ingin putrinya jatuh di tangan orang yang salah. Selama dia masih bernafas, maka Bu Ghina akan berjuang mati-matian untuk kesejahteraan Kirana. Bu Ghina tahu Gusti Allah tidak tidur. Makanya beliau serahkan semua atas kehendaknya. Gusti Allah tidak akan mendzolimi umatnya sendiri yang bekerja keras dalam kebaikan. Semoga Allah selalu melindungi keluarga kecilnya. Allah bersama orang-orang yang senantiasa bersabar saat diberikan cobaan hidup.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN