Seperti janjinya untuk mengantarkan Kirana, Satria benar memastikan kalau Kirana sampai kontrakan dengan keadaan sehat wal afiat tanpa kekurangan suatu apapun. Setelah turun dari terminal, Satria yang sebelumnya secara khusus sudah menghubungi temannya untuk menjemput langsung disambut ketika turun dari bus.
"Oeh, Sat?" Abbas memanggil, di sampingnya ada sosok perempuan berhijab membawa motor sendiri juga.
"Langsung balik aja, ya. Ayo, Ki." Kirana yang sebelumnya berdiri di belakang Satria juga awalnya sudah merasa kalau akan diminta untuk bersama gadis ini. Sebelumnya, Kirana belum pernah melihatnya, bukan alumninya juga.
"Balik ke mana, Mas?"
"Lah?" Satria menoleh, melihat ke arah Kirana dengan wajah agak kebingungan juga. "Ke kontrakan kamu lah, memangnya kamu mau ke mana? Kamu boncengan sama Jihan. Nanti dikawal dari belakang. Ayo, biar cepat istirahat."
Agak tidak enak, tapi akhirnya Kirana menghampiri Jihan, langsung memperkenalkan diri. "Aku Kirana, Mbak." Tangan yang Kirana ulurkan diterima begitu saja oleh Jihan dengan tangan terbuka, dia juga tidak berpikir dua kali untuk tersenyum riang yang membuat Kirana merasa senang juga. Orang-orang di sekitar Satria energinya positif semua, tidak membedakan mana miskin mana kaya, mana yang cantik dan tidak cantik versi mereka.
"Aku Jihan, temen sekelasnya Satria. Ayo naik, Kirana."
Dengan begitu semangat, Kirana naik ke jok belakang motor. Kemudian sebagai penunjuk arah karena memang biasanya kalau naik bus pertama berhenti di terminal itu dulu, Kirana hanya ingat kalau sudah sampai di terminal atas, jadi sepanjang perjalanan, mereka bercerita dengan hati yang tak ada hentinya menyebut lafaz Allah.
Satria yang dibonceng Abbas hanya melihat kanan kiri, sesekali fokus ke depan melihat jalanan meskipun dia yang dibonceng. Atau sesekali memastikan Kirana dan Jihan tidak tertinggal di belakang. Ya walaupun Jihan tahu arahnya naik ke atas sekalipun, tapi Satria tidak akan tenang. Lelaki harus menjaga perempuan dan memperlakukannya dengan baik, itu yang dipengangnya sedari dulu. Apalagi dia memiliki adik perempuan satu, juga pastinya orang tua perempuan. Makanya, terkadang masih mempertanyakan kenapa lelaki banyak yang menyakiti perempuan. Padahal, laki-laki lahir dari seorang perempuan.
Jalanan berliku yang dilewati membawa tawa di antara mereka ketika tidak sengaja melakukan rem secara mendadak. Kirana merasa lebih baik ketika hampir sampai ke tujuannya. Apapun yang terjadi di Bandung kemarin, Kirana tidak lagi memusingkannya. Dia hanya akan melakukan terbaik yang dia bisa. Karena Kirana juga tahu kalau tidak semua pemikirannya benar dan baik untuk orang lain. Karena itu Kirana pasrahkan saja semuanya pada Tuhan.
Sampai akhirnya, Kirana sampai juga di kontrakan. g**g kontrakannya terpantau ramai karena ada kegiatan bersih-bersih, ada juga ibu-ibu senam di samping lapangan yang luas.
"Ini Mbak kontrakanku." Kirana menunjuk kontrakannya, kemudian Jihan memberhentikannya tepat di depan bangunan tersebut.
Dengan begitu semangat, Kirana turun dari motor. Alhasil dia tidak mabuk perjalanan tadi, jadi dia terlihat biasa saja meskipun rasa pusing tetap ada, tapi tidak separah kalau dia mabuk. Kalau mabuk, dia mana bisa sebiasa itu. Jalan saja rasanya tidak kuat. Karena berdiri lama-lama hanya membuatnya lebih mual.
"Mbak sama Mas di sini dulu, ya. Mau aku buatkan minum." Kata Kirana sumringah. "Aku ambilkan karpet sebentar."
Awalnya mereka ingin menolak, tapi karena Kirana sudah terlanjur masuk dan ingin menghargai kebaikan Kirana juga, akhirnya mereka menunggu di luar. Tak lama Kirana datang membawa karpet sehingga mereka bisa duduk lesehan dan Kirana pamit ke dalam lagi. Dia membuatkan sirup jeruk yang pastinya segar sekali diminum menjelang siang seperti ini, juga camilan yang dia punya, dikasih juga oleh Nisa.
"Memang tamu dari mana sih, Ki? Jogja?" Nisa bertanya saat menuang camilannya ke dalam toples yang memang sering dia gunakan untuk wadah.
"Anak universitas kok, Nis. Cuma kakak tingkat."
"Ooo, ya udah ini aku bantuin bawa." Nisa menawarkan diri yang langsung Kirana berikan ucapan terima kasih.
"Terima kasih, ya."
Bersama-sama keluar, Kirana membawa nampan berisi minuman juga Nisa membawa beberapa toples jajan dengan aneka jenis jajanan juga. Begitu Nisa melihat luar, dia terkejut. "Lhoh Jihan?" pekiknya.
"Eh, Nisa? Kamu ngontrak di sini ya. Akhirnya tahu juga, bisa nih maen, minta jajan." Canda perempuan itu.
Masih agak tidak menyangka sekaligus senang, Nisa ikut duduk di samping Jihan, bertanya bagaimana dia bisa mengenal Kirana, bahkan sampai diantarankan pulang segala.
"Kenal Kirana juga? Baru tau aku kalau kamu temenan sama Kirana."
"Baru kenal tadi. Tuh sepupu kamu tadi. Kalau nggak ketemu Kirana, aku nggak mungkin ketemu sama kamu di sini."
Nisa cuma tertawa dan yang lain hanya menyimak. Hanya Abbas yang meringis karena dia memang sepupu dari Nisa, sementara Jihan adalah kekasih dari Abbas. Makanya tadi dia diminta tolong untuk menjemput dan membawa motor yang berbeda, Jihan saja yang dia minta.
Kirana yang melihat orang yang ternyata sudah ada hubungan dengan Nisa sebelumnya menjadi ikut senang. Tanpa sadar, Kirana membuat mereka bisa berkumpul bersama seperti ini. Biasanya sulit sekali mengumpulkan mereka. Kalaupun berkumpul, pasti waktu lebaran, tidak bisa diragukan lagi.
Sampai tiba-tiba, Nisa mengingatkan Kirana pada satu hal yang sebenarnya tidak Kirana lupakan sedikitpun, dia hanya ingin membahas sesuatu yang memang masalahnya dengan orangnya, bukan membicarakan di belakang. "Oh ya, Ki. Si Silvi tadi hubungin aku, katanya kalau kamu udah sampai ke sini, tolong hubungi dia biar tenang katanya."
Tanpa buang waktu, Kirana langsung mengangguk. Dia tidak akan memutus silaturahmi apapun keadaannya. Silvi sangat menyayanginya meskipun mereka baru bertemu belum ada satu bulan juga. Namun bersama Silvi, Kirana tahu kalau Silvi ini merindukan sosok kakak perempuan yang memang tidak pernah dimilikinya. "Iya nanti aku hubungi, ya."
Nisa menggeleng tidak setuju. "Sekarang saja, ditanyai terus dari kemarin. Memangnya kalian nggak nginep jadi satu, ya? Kan berangkatnya barengan."
Aduh, Nisa malah mengarahkan pembicaraan ke sana lagi. Kirana mana bisa menjawab yang sujujurnya kalau dia diusir oleh Anggi.
"Aku sama adeknya Mas Satria." Jawab Kirana jujur.
Nisa menganggukkan kepalanya paham, kemudian meminta Kirana untuk menghubungi Silvi lagi. "Handphonenya tadi di meja,"
Karena tidak ingin membuat Silvi terus kepikiran juga, sementara mereka yang di luar juga sibuk dengan urusan sendiri-sendiri. Seperti Nisa sibuk berbincang dengan Jihan, juga Abbas dan Satria berbincang sekalian menghabiskan jajanan yang disuguhkan untuk mereka.
Di dalam kamar, Kirana bimbang antara ingin menghubungi atau tidak. Dia hanya duduk di tepi ranjang, menimbang-nimbang keputusannya. Namun pada akhirnya, Kirana tidak punya pilihan lain selain menghubungi Silvi seperti yang Nisa sarankan, dia tidak mau membuat gadis itu terus kepikiran tentang dirinya karena memang Silvi yang membawanya ke Bandung, tapi malah terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan sama sekali.
Sampai akhirnya, Kirana benar memanggil nomor telfon Silvi menggunakan handphone Nisa karena Kirana tidak punya pulsa.
Kurang lebih lima belas detik menunggu sampai akhirnya sambungan terhubung dengan orang di seberang sana. Silvi terdengar antusias sekalu meskipun dia belum tahu kalau yang menghubunginya ini bukan Nisa, tapi Kirana langsung.
"Halo Mbak Nisa, gimana, Mbak? Mbak Kirana udah sampai?"
"Ini aku, Vi. Kirana. Alhamdulillah sudah sampai, tadi berangkat bersama dengan kakak tingkat yang kebetulan rumahnya di Bandung, jadi ada temennya, tidak sendirian."
"Ya Allah Mbak Kirana, maaf banget ya Mbak, aku nggak bisa antar." Terdengar suara Silvi yang penuh penyesalan. "Aku jagain Mas Damar. Kesel banget aku sama Mbak Anggi yang recokin Mas Damar terus sampai sakit kepala."
Anggi lagi, Kirana juga pusing kalau begini. Mana Silvi terang-terangan menyatakan ketidaksenangannya dengan Anggi. Kirana harus bagaimana coba.
"Anggi baik kok, Vi. Dia kan anak kedokteran, mungkin dia khawatir sama Pak Damar, makanya jadi cerewet begitu." Kirana hanya ingin menjelaskan apa yang bisa dia jelaskan tentang Anggi karena memang kenyataannya seperti itu. Anggi adalah sosok baik dan sangat peduli dengan orang yang disayanginya.
Mungkin kalau Kirana bersama dengan Silvi sekarang, Kirana bisa melihat gadis itu memutar bola matanya malas. "Kalau baik dan peduli, mana mungkin mengusir Mbak Kirana pergi. Nggak usah dilindungi Mbak orang kayak gitu. Masak cuma gara-gara cemburu sampai segitunya sama Mbak? Padahal kan dia bukan siapa-siapa Mas Damar. Teman dekat bukan, kekasih juga bukan."
"Ndak boleh begitu, Vi. Bagaimanapun Anggi baik. Dia sampai rela menunggui Pak Damar daripada menikmati masa liburnya. Kamu tahu sendiri kalau anak kedokteran suka sibuk."
"Ya tapi kan nggak sampai merendahkan Mbak Kirana juga. Mbak jangan belain Mbak Anggi terus. Aku lihat waktu Mbak Anggi kasih Mbak Kirana uang kayak Mbak ini orang minta-minta. Itu rumah sakit juga bukan rumah sakitnya, kenapa jahat sekali?!"
Kirana menghela napas pelan. Kalau sudah masalah pandangan terhadap orang memang memiliki pemikiran yang pastinya berbeda. Hanya saja, Kirana tidak mau kalau Silvi berpikiran negatif pada Anggi yang jelas-jelas sampai kapanpun adalah sahabatnya. Karena itu Kirana terus menasihati yang tidak menggurui sampai akhirnya Silvi juga mengerti kalau orang sudah cinta memang terkadang terkesan tidak rasional. Dan keduanya pun lega. Karena pada dasarnya juga, mereka tahu tidak ada satupun orang di dunia ini yang tidak luput dari kesalahan.