Sebelumnya, Kirana sudah berpikir kalau dirinya akan membantu Pak Damar sampai tugasnya selesai. Namun sayangnya, karena kejadian Anggi yang salah paham dan cemburu terhadapnya, hubungan Kirana dengan Pak Damar yang semula baik-baik saja jadi tidak menguntungkan banyak pihak.
Sebut saja Faisal yang menjadi korban. Ketua kelasnya itu diminta secara langsung oleh Pak Damar melalui panggilan telfon kalau selama jam mata kuliahnya mulai besok pagi, Kirana tidak lagi diamanahi untuk memberikan materi kepada teman-temannya, Faisal yang akan menggantikannya.
"Ini udah baik-baik lo yang kasih materi, kenapa jadi gue lagi ah elah?" Faisal protes kepada Kirana saat perempuan itu masuk ke dalam kelas. Lelaki itu sampai niat berangkat pagi-pagi sekali hanya untuk mendemo Kirana secara perseorangan. Dan begitu bertemu, langsung dilabrak juga orangnya. Sebenarnya perkataan Faisal halus, hanya saja Kirana yang sadar kalau itu memang kesalahannya karena bersikap tidak sopan sebelumnya dengan Pak Damar, akhirnya Kirana pasrah saja saat dipertanyakan, tidak mengelak sama sekali.
Kirana paham karena sebagai ketua, Faisal juga sudah sibuk sendiri karena dia merupakan ketua umum di salah satu UKM yang berada di universitas. Setiap hari kerjaannya rapat terus. Dengan adanya pengalihan ini, Faisal semakin berat kerjanya. Sementara Kirana juga tidak melakukan apa-apa, kenapa juga malah seperti dibebas tugaskan.
"Ya maaf, Sal. Mungkin Pak Damar lebih tahu kalau kamu yang pantas mengajari yang lain. Ilmuku masih cetek." Kata Kirana dengan wajah melas. Rasanya dia lelah dipersalahkan. Mana mereka juga belum tahu kapan tepatnya Pak Damar bisa kembali lagi mengajar karena katanya beliau tidak jadi melanjutkan proyek untuk sementara waktu tapi memilih mengajar lagi saja.
Dasarnya suasana hati Faisal sudah suntuk, dia langsung duduk di kursinya sendiri dan sibuk dengan gawainya. Kirana hanya bisa menghela napas pelan melihat ketidak nyamanan di wajah Faisal. Namun, Kirana juga tidak bisa membantu banyak karena Pak Damar sendiri yang memerintahkan demikian. Kalaupun Kirana mau menawarkan diri, gadis ini sudah khawatir lebih dulu ditegur jika mengingat kelakuannya di Bandung pasca hari libur kemarin. Sudah tidak ingin mengganggu, tapi ujung-ujungnya malah menyusahkan. Ya itulah Kirana. Dan perasaan seperti ini yang tengah Kirana rasakan sekarang. Tidak enak hati kepada semua orang.
Sampai kegiatan perkuliahan pun di mulai. Mata kuliah pertama ini dua jam pelajaran. Kemudian di jam ketiga dan keempat, dosen masuk ke dalam kelas. Jangan tanya bagaimana kagetnya mereka saat masuk dan mendapati Pak Damar sudah masuk dengan lengan kiri digendong karena memang kabarnya patah tulang.
"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Selamat pagi semuanya."
"Wa'alaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh. Pagi Pak!"
Pak Damar tersenyum tipis mendapatkan respon yang begitu antusias dari anak didiknya.
"Sudah sehat, Pak?" Ari yang memang terkenal suka menyeletuk langsung bertanya kepada Pak Damar.
"Alhamdulillah. Tinggal pemulihan."
Jangan tanya bagaimana wajah pucatnya Kirana sekarang. Padahal dia tahu kalau Pak Damar belum sehat betul, kemarin saja dia masih ingat kalau Pak Damar mengeluh sakit kepala. Namun sekarang, tidak ada angin, tidak ada hujan, tiba-tiba Pak Damar datang seolah-olah dia hanya kecelakaan biasa.
Entah mereka semua hanya berbincang. Namun dari semua arah, hanya tempat duduk Kirana yang tidak dilihat ataupun dilirik sedikitpun oleh Pak Damar. Kirana hanya bisa menundukkan kepalanya. Bukan sedang berpikir berat, tapi malah memikirkan Anggi. Dia belum bicara lagi dengan Anggi setelah insiden dirinya diberikan uang itu. Bahkan uangnya masih Kirana simpan sampai sekarang. Dia tidak ingin berhutang. Dia sudah berhutang banyak pada Anggi dan keluarganya. Kalau Kirana sampai berhutang materi, Kirana khawatir kalau dia tidak bisa membalas kebaikan mereka. Lihat saja, dia malah membuate Anggi kecewa.
Sebenarnya, mau dilihat dari sudut pandang manapun, Kirana tidak salah sama sekali. Kalaupun Silvi lebih suka dengan Kirana, bukan salah Kirana. Silvi sudah besar, mahasiswa juga, apalagi anak psikologi. Dia pasti lebih memahami tingkat laku seseorang dengan orang di sekitarnya. Karena itu Silvi secara terang-terangan berani mengatakan kalau Anggi cemburu dengan Kirana waktu itu dan memang seperti itu kenyataannya. Makanya Kirana yang memang peka waktu itu, memilih pergi saja daripada masalahnya semakin tidak terkendali.
"Pak izin tanya?" Faisal mengangkat tangan yang langsung Pak Damar persilakan. Akhirnya dia lega juga melihat Pak Damar. Hanya saja, tetap saja kepikiran ini nasibnya yang akan menggantikan beliau jadinya bagaimana—sementara beliau juga sudah kembali ke kampus.
"Ya. Silakan."
"Kan yang kemarin sama Kirana. Nah sekarang Bapak minta saya. Lalu untuk ke depannya, jadinya bagaimana ya, Pak?"
Pak Damar hanya tersenyum tipis. "Kalau kalian bersedia pindah ke laboratorium untuk beberapa waktu ke depan, saya bisa mengajar. Tapi kalau di gedung TA seperti sekarang, saya minta yang di lantai bawah seperti ini. Kemungkinan juga akan banyak jam kosongnya karena saya masih harus kontrol. Jadi kalau kamu bersedia memberikan materi kepada teman-temanmu, itu sangat membantu sekali."
Faisal jadi bingung sendiri, karena itu kembali bertanya suapaya mendapatkan kejelasan yang sejelas-jelasnya dengan sistem pembelajarannya ini nanti seperti apa. "Sebelumnya ada Kirana, Pak. Dia kalau menjelaskan rinci sekali. Bapak bisa melihat catatan kami."
Sekali lagi Pak Damar tersenyum. "Saya tidak meragukan Kirana. Saya juga percaya sama kamu."
Hening langsung melanda karena Faisal langsung diam ketika Pak Damar mengatakan bahwa beliau mempercayainya. Kalau begini, Faisal mana berani bertanya lagi. Dia seperti sudah diskakmat, tak ada jalan keluar lain selain menerima pengalihan yang dilakukan oleh beliau.
Karena hening seakan terasa begitu menyiksa, Ari yang memang suka menjadi icon kelas langsung bertanya juga kepada Pak Damar. Dia memang tidak bisa tenang, sukanya merusuh, tapi sebenarnya anaknya pintar.
"Pak, kalau kami datang ke kediaman Bapak apakah boleh? Maaf karena kami belum sempat menjenguk karena keterbatasan tempat dan waktu."
Pak Damar menggangguk paham. "Tidak apa-apa. Kalau kalian ingin datang ke rumah saya, silakan. Kalian request apa, nanti sekalian saja saya syukuran sudah diberikan keselamatan dari kecelakaan maut itu."
Faisal yang tadinya lemas langsung menyahut kegirangan. Dalam hati membatin kalau dosen muda seperti Pak Damar orangnya loyal sekali. Sementara mulutnya juga selaras mengutarakan hal yang sama. "Wah, kapan kami bisa datang, Pak? Pulang matkul nanti boleh, sekitar jam 3? Nanti setelah salat Ashar langsung menuju ke kediaman Bapak?"
Anggukan pelan Pak Damar berikan sebagai penerimaan yang tulus. "Teman-temannya jangan ditinggal." Beliau mengingatkan.
"Siap Pak, satu kelas kita berangkat semua."
Kirana yang diam sedari tadi sampai dibuat berpikir keras. Kira-kira dia ikut atau tidak? Kalau ternyata di rumahnya ada Silvi dan gadis itu menghampirinya seperti teman lama yang tidak pernah bertemu, orang-orang pasti bisa berpikiran yang tidak-tidak dengan Kirana. Jangankan teman satu kelasnya, sahabatnya sedari kecil juga sudah salah paham. Pesona Pak Damar benar-benar mengalihkan mereka dari kerasionalan.
"Lalu untuk hari ini langsung pembelajaran atau apa, Pak?"
"Kalian belajar mandiri tentang materi yang sudah saya kirim lengkap dengan videonya. Ada tugas. Cuma tiga. Silakan dikerjakan. Deadline nanti malam, pukul 23.59. Yang telat mengumpulkan saya anggap tidak mengerjakan."
Pak Damar memang sudah pulih. Lihat saja, beliau tidak pernah berubah ketika memberikan tugas tidak ada 24 jam untuk mengerjakan. Kejam sekali. "Apa ada yang ingin ditanyakan lagi?" Pak Damar melempar tatapannya ke penjuru depan."
"Belum, Pak."
"Baik. Kalau tidak, saya cukupkan untuk hari ini. Terima kasih untuk perhatiannya. Wassalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh."
"Waalaikumsalam warahmatullahi wabarakatuh." Jawab anak-anak di kelas itu serempak, begitu bersemangat.
Pak Damar berdiri, lantas berjalan seperti biasa, menuju pintu luar tanpa sepatah kata, lantas hilang di baliknya. Kirana yang sedari tadi duduk sendirian dan hanya menunduk lantas mengangkat kepalanya untuk menengadah, menghalau air matanya yang terus saja ingin menangis. Dia tidak tahu kenapa. Mungkin karena hormon dia sedang haid, makanya sensitif sekali. Apalagi ditambah dengan sikap dingin Pak Damar tadi yang tak melihat ke arahnya sama sekali, Kirana merasa sangat bersalah sekali.
Kirana tahu kalau Pak Damar memang dingin orangnya. Dari dulu memang seperti itu. Namun, bukan itu yang paling Kirana pertanyakan, melainkan kecewanya Pak Damar terhadap dirinya. Sungguh kalau boleh memilih, Kirana ingin menunjuk Sebuah Silvi agar pura-pura tidak mengenalnya. Namun belum mengatakan apa-apa, dengan melihat perlakuan Anggi ke Pak Damar. Dari cara menatapnya, cara bicara, juga cara bertutur katanya, Silvi tahu kalau Anggi ingin menarik perhatikan Pak Damar yang sayangnya tidak berhasil sama sekali. Yang ada Pak Damar merasa risih.
Sebelum pikirannya lari ke sana ke mari tidak jelas lagi, Kirana melangitkan doanya agar lebih tenang. Karena kalau dia memiliki suatu masalah, Kirana selalu berlari kepada Tuhannya. Memangnya Kirana mau meminta kepada siapa lagi? Dia tidak mau bergantung pada orang lain karena berharap pada ciptaannya juga tidak menjamin akan selalu berakhir bahagia. Kirana sudah paham betul dengan konsep itu. Untung ibunya selalu mengingatkannya. Jadi, di keadaan seperti ini, Kirana sudah memilki pegangan, yakni kepercayaan yang begitu teguh kepada Tuhannya. Ibunya pasti sudah merasakan di awal bahwa hidup di dunia ini memang kejam. Bukan Pencipta yang kejam, tapi ciptaannya yang tidak memilki apapun tapi berani menindas karena merasa hebat akan harta yang tak seberapa. Karena kalau dibawa mati pun, orang-orang malah berebut hartanya. Dunia memang tidak sedang baik-baik saja. Namun Kirana percaya dibalik semua kejadian pasti ada hikmahnya. Kirana mendapatkan bahwa persahabatan terkadang tak cukup kuat untuk mengalahkan cinta yang telanjur buta.
Kirana paham kalau cinta itu fitrah yang datangnya langsung dari Tuhan. Hahya saja, seseorang yang dianugerahi rasa cinta ini seharusnya bisa mengatur perasaannya sendiri. Kalau semua orang yang jatuh cinta seperti Anggi, akan ada jutaan atau bahkan miliaran orang menangis karena kehilangan sahabatnya akibat rasa cinta yang tidak bisa dikendalikan.
Namun apapun itu, dia bersyukur sekarang Pak Damar sudah masa pemulihan. Nanti dia akan mencoba menghubungi Anggi lagi dan meminta maaf. Kirana tidak akan malu untuk meminta maaf karena meminta maaf bukan berarti kalah, bukan berarti tidak punya harga diri. Justru, orang yang mau meminta maaf lebih dulu meskipun tahu kalau dirinya tidak bersalah adalah orang yang hebat, orang yang berlapang d**a.
Kalaupun ada yang mengatakan jika terlalu sering meminta maaf maka terkesan tidak memilki harga diri, maka Kirana tidak mempersalahkannya. Selagi permintaan maafnya bisa memperbaiki apa yang sudah rusak, Kirana rasa itu jauh lebih mulia daripada harus keras kepala menunggu seseorang meminta maaf duluan. Pikiran seseorang yang lain tidak sesederhana pemikiran orang lainnya. Karena itu juga sampai ada ilmu psikologi. Ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dan interaksi dengan individu lain.
Bagi Kirana menjalin silaturahmi adalah keharusan. Bahkan kepada orang yang membencinya sekalipun. Kita tidak pernah tahu kuasa Allah yang Maha membolak-balikkan hati. Bisa saja yang membenci jadi mencintai. Jadi luruskan dulu niatnya.