45. Meninggalkan Bandung

1575 Kata
Menempuh jarak ratusan kilometer dari titik awal hingga titik akhir bukanlah perkara mudah bagi Kirana. Dia bisa melakukan apapun untuk membuat orang yang disayanginya bahagia. Hanya saja, dia seperti tidak tahu jalan keluar bagaimana membuat orang yang disayangi terlepas dari rasa kecewa terhadap dirinya. Kirana mengerti seandianya Anggi cemburu sampai sebegitunya. Gadis itu pasti merasa kalau Kirana adalah saingannya. Padahal, tidak pernah sekalipun terlintas dalam pikiran Kirana untuk mendekati Pak Damar. Lalu untuk apa Anggi cemburu? Bahkan hanya dengan melihat status di antara mereka yang jomplang jauh, seharusnya Anggi mengerti. Pak Damar bukan orang sembarangan, pasti tidak mungkin memilih gadis seperti dirinya yang tentu saja tidak memiliki apa-apa dalam hal materi. Makanya itu Kirana bertanya-tanya memangnya apa yang Anggi cemburui darinya. Biasanya malah sebaliknya. Namun, Kirana sudah terbiasa hidup dalam kesederhanaan dan kekurangan yang semakin membuatnya mengerti akan setuju syukur. Di detik ini, Kirana sangat berterima kasih sekali. Mungkin hanya semalam, tapi Kirana semakin tahu kebesaran Allah. Dia akan pulang sebentar lagi, kembali menuju kontrakannya, meninggalkan Silvi yang sebenarnya mengajaknya. Kirana akan meminta maaf nanti seandainya memilki kesempatan untuk bertemu lagi dengan adik wali dosennya itu. Kalaupun setelahnya Kirana tidak bisa bertemu dengan Silvi lagi, Kirana akan meminta maaf melalui jalur langit. Dia tidak pernah tahu apa-apa yang akan terjadi seandainya dia dipertemukan dengan Silvi lagi. Daripada terjadi sesuatu yang tidak-tidak dan Anggi yang tahu malah semakin membencinya, maka cukup kebencian Anggi untuk Kirana, dia akan sangat sedih sekali. "Hati-hati ya, Mbak." Meisya memeluk Kirana penuh haru. Menjadi anak perempuan satu-satunya membuat Meisya merasa memiliki teman saat bersama dengan Kirana. Jadi meskipun hanya semalam dia menemani Kirana, rasanya berat sekali kalau harus meninggalkannya begitu saja. "Iya, Mei. Makasih banyak, ya." Kirana mengusap punggung Meisya menenangkan, dia juga sama sedihnya berpisah sekarang. Di lain waktu semoga Kirana dapat bertemu dengan mereka lagi dan membalas semua kebaikannya meskipun dengan sesuatu sederhana. Satria dengan setia menunggui adiknya itu melepas rindu bersama Kirana. Nanti belum tentu mereka bisa berkumpul lagi setelah ini. Makanya sekarang mumpung masih ada waktu, biar mereka menghabiskan waktu sebaik-baiknya. Satria juga tidak bisa menghalangi mereka untuk segera berhenti melepaskan dalam karena dia sudah tahu sakitnya ditinggalkan. Makanya Satria dengan sabar menungguinya. "Ya Allah, aku pasti kangen sama Mbak Kirana. Jangan lupa main ke sini ya, Mbak. Aku tuh nggak punya kakak perempuan, adanya kakak sama adik cowok, makanya aku seneng sekali ada Mbak, jadi merasa ada temennya, aku dulunya minoritas di keluarga." Ingin tertawa, tapi takut dosa. Namun, Kirana tetap tertawa. Begitupun dengan Satria yang sudah mesem sedari tadi. Meisya memang putri satu-satunya, jadi tahu lah sendiri bagaimana keluarga memerlakukan dirinya. Meisya sama dengan putri ratu. Semua yang dimau, pasti kemungkinan besar akan dipenuhi oleh keluarganya. "Aku pasti kangen sama kamu, Mei. Makasih banyak ya, aku senang sekali bisa kenal dengan kamu, dengan Kiki juga." Ada haru yang tidak bisa Kirana bendung. Mereka baru saja bertemu, tapi sudah terasa dekat sekali. Allah memang Maha Baik sekali. Ketika sahabatnya sedari kecil yang tak lain adalah Anggi seperti menjauhinya karena kesalahan yang sama sekali tidak Kirana sengaja, ada Meisya yang menjadi penglipur laranya. Tingkat manjanya seperti Silvi, juga membuatnya rindu Silvi di waktu bersamaan. "Ayo Mei, kita mau balik ke Depok." Satria mengingatkan saat sang supir menekan klakson yang membuat sebagian orang berjengit kaget. Memang ada-ada saja ulah supirnya itu. Dengan berat hati, Meisya terpaksa melepaskan pelukannya dari Kirana, Begitupun sebaliknya. "Nomor telfonku jangan sampai disimpan ya, Mbak. Nanti aku hubungi juga, jangan dikira nomor nyasar." Meisya mengingatkan dengan mata berkaca-kaca. "Iya, nanti aku SMS ya. Jangan lupa." Kirana balik mengingatkan. "Aku balik dulu, ya." Pada akhirnya, mereka memang harus terpisah. Kirana jadi mengingat ibunya. Kalau sudah di rumah, dia suka malas kembali ke Depok, tapi kalau sudah di Depok Kirana selalu ingin kembali ke rumah. Karena Kirana tahu, di sanalah surganya. Kemanapun dia pergi, selama ibunya tidak ikut bersamanya, Kirana tidak pernah merasa damai. "Hati-hati." Seraya melambaikan tangan, punggung Meisya ditepuk-tepuk oleh Kiki, ya bisa dibilang ingin menenangkan sang kakak juga. Hingga bus besar antar kota itu pun melaju dengan cepat menjauh dari titik awal perpisahan mereka. Meisya tahu kalau dia akan bertemu dengan kakaknya lagi, tapi dia tidak tahu apakah memilki kesempatan lagi bertemu dengan Kirana atau tidak. Baru juga perjalanan, Kirana tanpa sadar menitikkan air mata di balik masker wajahnya yang sangat membantunya ketika berada di ruangan bus yang ber-AC. Doanya mereka sampai ke tujuan dengan selamat dan tidak mengalami mabuk seperti yang sudah-sudah. Kirana dan Satria duduk di tempat yang berbeda. Tentu saja Kirana bersebelahan dengan seorang perempuan. Dia menatap tepi jendela karena memang suka melihat pemandangan-pemandangan di tepi jalan. Untuk masalahnya dengan Pak Damar, Kirana serahkan kepada Allah. Dia hanya berusaha berperilaku baik dengan tidak merugikan orang lain seperti yang selalu ibunya katakan. Namun, jika orang-orang merasa kalau perbuatan Kirana ini termasuk dengan merugikan pihak-pihak lain, maka Kirana akan selalu memohon ampun kepada Tuhannya. Satria yang menatap diam-diam terus saja diam di tempat duduknya. Dia sadar dengan melihat tampilannya saja, Kirana begitu menjaga kehormatannya. Jadi sebagai lelaki, dia tentu saja harus mendukungnya. Ya walaupun orang-orang, terutama para lelaki pasti tahu isi kepala dari kebanyakan lelaki yang lain itu apa. Satria tidak akan merasa sok suci. Lelaki ini memang tidak tahu apa yang tengah menimpa Kirana. Namun sekilas cerita dari Meisya yang memang ikut masuk meskipun hanya sampai mengantar di depan ruangan, adiknya itu mengatakan kalau Kirana sepertinya tengah ditegur seseorang. Dan untuk menjaga privasi, tentu saja Satria memilih menutup mulutnya rapat-rapat. Memangnya dia siapa juga sehingga bisa ikut campur. Karenanya, Satria hanya bisa membantu sebatas yang Kirana bisa terima. Kalau tidak, Satria tahu mana yang seharusnya dan tidak seharusnya dirinya lakukan. Dia jelas orang lain yang tidak bisa mengusik ketenangan Kirana begitu saja hanya karena rasa tertariknya yang begitu besar. Kalau berbicara soal tertarik, Satria sudah tertarik dengan Kirana sejak masa orientasi dulu. Anaknya yang polos, jujur, baik, selain itu sederhana sekali. Kirana mengingatkannya pada sosok gadis yang dulu pernah dicintainya tapi lebih dulu menghadap Tuhan, mendahului kita semua. Namun tetap saja, bagi Satria sosok itu tidak aka tergantikan meskipun ada yang jauh lebih baik sekalipun. Karena Satria, tidak akan pernah bisa melupakan gadis yang teramat dicintainya itu. Mungkin perasaan yang sekarang tengah dirasakannya hanya sebatas kekaguman pada Kirana yang begitu mudah berbagi dengan orang lain di saat perempuan itu sendiri pun tengah dilanda kesusahan. Sementara Kirana sendiri sesekali dalam diam menghapus air matanya. Dia tidak pernah berharap kalau akan jadi seperti ini. Namun, Kirana tidak menyesali apapun. Dia tahu kalau semua yang terjadi sudah menjadi kehendak Tuhan. Jadi apapun yang akan terjadi setelah ini, Kirana hanya bisa berdoa untuk hal yang terbaik, serta tak lupa untuk selalu memohon ampun dengan mengakui dosa-dosanya karena sering kali, Kirana berpikir yang tidak-tidak kepada orang lain. Baiklah, Kirana memang manusia yang tak luput dari kesalahan. Namun, bukan tempatnya Kirana menjadikan kelemahannya sebagai seorang manusia itu untuk memaklumi dirinya sendiri saat melakukan sesuatu yang tidak benar. Contohnya saja adalah ketika Kirana merasa tidak suka dengan salah seseorang. Seperti dia yang kecewa dengan Anggi, tapi tidak menilai dirinya sendiri terlebih dahulu sebelum mempertanyakan orang lain. Dan untuk Pak Damar, Kirana tidak bisa melakukan apapun kecuali mendoakan yang terbaik untuk beliau. Kirana bukan siapa-siapa yang akan menjelaskan. Dia tidak mau kalau Anggi semakin salah paham terhadap dirinya. Di sisi lain, Pak Damar pun hanya diam di ranjang rawatnya dengan wajah suntuk. Ingin marah juga ingin marah dengan siapa. Rasanya tidak berguna sekali ketika dirinya sakit begini dan terjadi masalah yang dirinya tahu kalau ini ada masalah internal yang melibatkan hati. Hanya saja, beliau malas sekali kalau sudah membahas masalah hati. Pak Damar ini sebenarnya tidak memilki atau bisa dikatakan belum pernah menjalin hubungan percintaan sebelumnya. Dan sampai sekarangpun beliau masih enggan membuka hati meskipun belum pernah disakiti oleh perempuan sekalipun. Dia hanya ingin menyelesaikannya semua proyeknya terlebih dahulu, setelah itu baru fokus mencari istri. Karena kalau dia punya istri sekarang, kasihan juga ujung-ujungnya ditinggal pergi dinas. Mungkin banyak yang berpendapat kalau itu semua bisa diatur, tergantung pasangannya bersedia atau tidak. Hanya saja, pemikiran Pak Damar sedikit berbeda. Dia mencari istri yang memang baik akhlak dan budi pekertinya. Urusan cantik, kaya, setara, Pak Damar tidak memikirkan itu semua. Beliau bisa jadi seperti ini tidak mudah. Dulu keluarga serba kekurangan dan bisa sampai di titik ini beberapa belas tahun yang lalu. Namun perlu diingat, mereka tidak tinggal menutup mata untuk bisa mendapatkan kehormatan yang keluarganya miliki sekarang. Jadi jangan sangka kalau Pak Damar kaya, istrinya nanti juga dari keluarga yang setara. Pak Damar bukanlah lelaki yang berpikiran sempit. Menikah adalah ibadah seumur tahun. Dan baginya, menikah hanya sekali. Kalaupun teman-temannya sudah menikah dan dirinya selalu dikompor-kompori ketika berkumpul, Pak Damar tak pernah sekalipun terburu-buru untuk menikah. Kalau memang jodohnya belum bertemu, orang-orang bisa apa, kan? Karena jodoh di tangan Tuhan, bukan di tangan orang-orang di sekitar. Nanti kalau sudah kembali ke Depok, Pak Damar akan berbicara baik-baik lagi kepada Kirana. Semalam dia terlalu lelah yang membuatnya jadi seperti itu. Semoga saja Kirana mengerti. Pak Damar suntuk sekali kalau direcoki perempuan, apalagi sepantaran dengan anak didiknya seperti Anggi yang bahkan memangilnya dengan sebutan, 'Mas'. Bukannya tidak suka, hanya saja tidak nyaman. Orang yang pernah berada di posisi Pak Damar pasti mengerti. Apalagi dalam hal ini Pak Damar adalah pihak lelaki yang memang terkenal tidak peka dengan perasaan perempuan. Dan walaupun Pak Damar tahu tentang perasaan Anggi pun, dia lebih memilih pura-pura tidak tahu. Karena sandiwara dengan diri sendiri itu tidak menyenangkan sama sekali. Apalagi sampai membohonginya diri, itu lebih menyakitkan lagi.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN