Setelah kesepakatan yang terjadi di antara Kirana dan Silvi di rumah sakit itu, semuanya terus berjalan seperti biasa. Kirana sudah sembuh dan akan menepati perkataannya bahwa dia akan membayar biaya perawatanya yang dibayarkan oleh keluarga Silvi dengan cara menyicil ke Silvi.
Ini sudah hampir tiga bulan berlalu sejak saat itu dan sayangnya, hubungan Kirana dan Anggi juga belum membaik juga. Maksdunya, Anggi masih saja kecewa karena Pak Damar selalu menolaknya di saat Pak Damar juga sudah tidak pernah lagi terlihat dengan dengan Kirana kecuali dalam kelas ketika ada mata kuliah yang diajarkan oleh beliau.
Untung masalah penggantian rugi biaya rumah sakit pun, Kirana sudah menyicil mendapat tujuh ratus ribu rupiah. Dia sampai mencari kerja sampingan di jasa fotokopi dan print untuk mendapatkan tambahan pemasukan. Kalau Bu Ghina tahu, beliau pasti langsung melarang. Namun, Kirana tidak punya pilihan lain. Yang penting baginya, dia mendapatkan uang halah. Dia tidak mau membiarkan hutangnya berlarut-larut. Selain itu, Kirana juga bekerja sebagai pencuci piring di salah satu kedai lamongan dan soto yang yang sangat ramai di pusat kota. Biasanya, banyak anak kampusnya yang makan di sana. Kalau tempat cuci piringnya terlihat dari luar, pasti Kirana langsung dikenali dan pasti muncul lagi berita di kampus. Untungnya, tempat cucinya di dalam, jadi dia tidak akan terlihat.
Kiran takut dilihat bukan karena malu, tapi karena tidak ingin dikasihani saja. Dia juga khawatir terlihat bukan karena takut dianggap miskin, tapi karena tidak mau menjadi bahan pembicaraan orang-orang lagi di saat masalah pembullyannya sudah hampir tak terdengar beritanya lagi. Jadi, Kirana tidak mau ada persoalan ataupun berita baru tentang dirinya. Orang-orang tidak perlu tahu kalau dirinya sedang susah kesusahan.
Selain jadi tukang cuci piring, Kirana juga menerima jasa menggambar teknik yang setiap lembar kertasnya dihargai sepuluh ribu karena memang gambarnya yang sulit. Melakukan jasa ini bukan berarti Kirana mendukung kecurangan, bukan. Justru dosennya sendiri waktu masih semester satu dulu yang menawarinya pekerjaan itu dan tentu saja Kirana terima. Kirana merasa kalau Allah memberinya pertolongan lewat pekerjaan yang Pak Surya tawarkan padanya satu bulan yang lalu. Semakin banyak gambar teknik yang Kirana hasilkan, maka semakin banyak pula pemasukan yang Kirana terima. Dalam seminggu yang terdapat tujuh hari, Kirana bisa menyelesaikan lima belas sampai dua puluh gambar, jadi Kirana bisa mendapatkan tambahan sebesar seratus lima puluh ribu rupiah sampai dua ratus ribu rupiah. Dengan uang ini, juga dijumlah dengan dari jasa mencuci piringnya tadi, Kirana bisa menyicil Silvi sedikit demi sedikit. Dan sekarang masih kurang setengahnya lagi. Jadi, Kirana harus bersemangat.
Kalau semester baru nanti, jika hutangnya pada Silvi belum lunas juga, Kirana bisa menggunakan uang dari beasiswanya dulu seandainya sudah turun lebih dulu. Alhamdulillah sekali atas semua pertolongan yang Allah berikan sehingga Kirana bisa sedikit demi sedikit melunasi hutangnya.
Seperti malam ini, kedai lamongan dan soto yang begitu ramai membuat Kirana pulang hampir tengah malam. Selama ini, dia dipinjami motor oleh Nisa setelah diajari putar-putar lapangan dan jalan di g**g-g**g, sampai akhirnya saat lancar, baru ke jalan raya. Sebenarnya Kirana agak ngeri juga naik motor di jalan besar. Saat dia tidak sengaja berdampingan dengan truk besar-besar, tronton, mobil bak besar, terkadang jantungnya berdetak significant, kepalanya tiba-tiba pusing. Apalagi kalau dari arah belakang tiba-tiba ada yang menyalakan klakson yang membuat Kirana sering kali terkejut hingga ingin menangis karena saking kagetnya. Belum lagi saat dia mengendarai motor sudah hati-hati tapi banyak sekali orang yang tidak sabaran sampai menyenggol spion, untung tidak sampai pecah. Kalau spion motornya Nisa sampai pecah, bisa gantu rugi juga Kirana.
Selain itu, Kirana juga pernah melihat ada bapak-bapak kecelakaan dengan anak muda—bukannya meminta maaf, malah anak muda itu marah-marah karena motor yang disebut-sebutnya jatuh itu baru dan harganya mahal pula, padahal anak muda itu yang tidak hati-hati. Kalau melihat seperti itu, Kirana selalu ingin menangis. Seandainya anak dari bapak itu melihat, pasti tidak terima dan sedih ayahnya diperlakukan demikian. Dan sayangnya pun, Kirana tidak bisa membantu karena dari arah belakang lautan kendaraan seakan paduan menyalakan klakson agar yang depan segera berjalan. Jarang ada yang berhenti membantu kecuali yang kecelakaan benar-benar parah. Kiraa selalu miris kalau pergi ke jalan.
Ya karena seperti itu, semuanya seperti tidak peduli satu sama lain. Namun, Kirana juga tidak bisa memukul rata. Bisa jadi, mereka yang tergesa mengendari kendaraan karena memang dalam keadaan urgent. Misalnya mobil melaju kencang karena di dalamnya ada orang sakit yang butuh segera dilarikan ke rumah sakit. Seperti juga ada bapak-bapak yang ngebut sekali di jalanan dan terkesan menaiki motor ugal-ugalan karena istrinya di rumah akan melahirkan. Intinya memang semua kembali kepada berusaha untuk berprasangka baik.
Seperti halnya malam yang begitu cerah hari ini, Kirana tidak berhenti berdiri sedari tadi karena cucian gelas dan piring seakan tidak ada hentinya. Dia berdiri hampir empat jam karena baru bisa bekerja pukul tujuh malam tadi setelah memastikan semua pekerjaannya untuk besok selesai semua. Dan sekarang pekerjaannya hampir selesai karena makanannya juga sudah habis, jadi Kiran tinggal menyelesaikan sedikit pekerjaan cuci piringnya ini.
Selain langsung mendapat gaji harian, Kirana juga selalu mendapat satu porsi makan malam besar yang membuat Kirana selalu memasaknya kembali di kontrakan ketika pagi hari. Tak lupa dia selalu menawari teman-temannya untuk makan juga lauknya karena ayamnya lumayan besar jadi bisa dimakan untuk beberapa orang. Meskipun bisa dibilang ayam kemarin, mereka tidak masalah, yang penting belum basi dan mereka dengan semangat memakannya. Kesederhanaan ini yang begitu Kirana syukuri. Dia merasa berada di lingkungan yang tepat bersama dengan teman-temannya yang lain. Suatu hari nanti, mereka pasti berpisah dan Kirana pasti merindukan ketika mereka saling berbagi satu sama lain.
Sibuk mengenang, Kirana terkejut ketika punggungnya ditepuk oleh ibuk-ibuk yang menjadi istri pemilik kedai lamongan soto itu.
“Kirana?”
“Eh, iya, Buk?”
“Ini, terima kasih, ya. Besok datang lagi, jangan lupa ya.” Ibu itu mengulurkan bungkusan plastik makanan untuk Kirana juga uang lima puluh ribu.
Mata Kirana berbinar penuh syukur. “Terima kasih banyak ya, Buk. Iya besok saya datang ba’da Magrib ya, Buk.”
“Iya. Ya sudah, ibuk ke dalam dulu. Hati-hati ya pulangnya, lewat jalan yang ramai saja, nanti ibuk belikan untuk uang transprtnya.”
Kirana langsung menggeleng tidak enak mendengar bossnya bilang seperti itu. “Terima kasih, Buk. Ndak usah. Ini bayarannya sudah lebih dari cukup kok.”
Namun, ibu itu juga sama tidak maunya ditolak. “Semua yang kerja sama bapak dapat uang transport semua. Jadi kamu nggak bisa nolak. Diterima saja ya, ndak papa kok,”
Pada akhirnya Kirana mau menerimanya. “Terima kasih banyak ya, Buk.” Kata Kirana mengucapkan terima kasih lagi.
“Sama-sama. Sudah sana cepat pulang, nanti makin larut,”
“Siap, Buk.”
Kirana bergegas keluar dengan langkah semangat. Di depan masih ada mas-mas maupun mbak-mbak yang menjadi pelayan masih bersih-bersih meja.
“Mbak, mas, aku duluan ya.” Kirana pamit dengan senyum sumringah di wajahnya.
“Iya, Kirana. Hati-hati.”
Perempuan itu langsung menuju motornya yang diparkir tidak jauh dari sana. Namun memang tidak terlihat jika dari kedainya. Begitu sampai di motornya, masih ada tiga motor di sana, Kirana menggantungkan plastik ke gantungan yang ada di dekat kaki dengan kepalanya yang menunduk, kemdian menggunakan helmnya. Namun, tanpa diduga-duga, ada yang manarik helm yang sudah Kirana pakai di kepala dengan kencang hingga Kirana hampir terjatuh karena posisinya Kirana yang menjagang motor itu sendiri. Alhasil, dia betulan jatuh bersama dengan motornya, untung Kirana tidak ketimpa, tapi motornya pasti lecet apalagi suara seperti ada yang pecah membuat Kirana khawatir. Namun lebih dari apapun itu, dia lebih khawatir dengan apa yang akan menimpanya.
Kirana yang sudah terjatuh buru-buru berdiri, dia melihat seoarang anak pemuda, tinggi besar, entah maksudnya apa melakukan hal semacam itu.
“Hai, manis?”
‘Hah’ Kirana hanya bisa membatin dalam hati. ‘Apa-apaan maksdunya?’ Kirana tidak mengenal orang ini siapa. Tapi dengan kurang ajarnya memanggilnya seperti itu. Mana motor Nisa sampai jatuh terbanting juga.
“Ayo ikut abang.” Kata pemuda itu lagi kian tidak tahu tata krama, apalagi tubuhnya kian mendekat yang membuat Kirana melihat kanan dan kiri begitu waspada. Dia ingin berteriak kanan kirinya tembok semua. Mau lari ke kedai juga harus melewati pemuda itu dulu. Kirana jelas berpikir panjang menentukan harus mengambil jalan yang mana dulu. Jangan tanyakan paniknya seperti apa karena tubuhnya sudah gemetaran. Dalam hatinya merapalkan doa memohon keselamatan dan dihindarkan dari kejahatan orang yang ada di depannya ini.
Kirana memekik saat pemuda itu semakin mendekat yang membuat perempuan itu tentu saja berlari menghindar. “Jangan mendekat!”
Sayangnya, meskipun Kirana sudah memberinya peringatan, pemuda itu tetap mendekat dengan senyum beringas yang membuat Kirana langsung lari secepat mungkin menuju kedai untuk meminta bantuan. Namun sayangnya, usaha Kirana seperti sia-sia karena pintu kesai sudah tertutup semua. Kirana jelas bingung apalagi melihat kesana kemari tidak ada siapa-siapa yang bisa dia mintai bantuan. Kalaupun ada, Kirana juga akan berpikir berkali-kali, takutnya yang dimintai tolong malah sama berniat jahat seperti orang yang mengejarnya ini.
Karena Kirana tidak mungkin putar balik untuk mengambil motor Nisa, dia langsung berlari lurus saja, yang penting dia aman dulu. Kalau menyelamatkan motor malah nyawanya yang dalam bahaya, Kirana akan mengutamakan dirinya dulu. Kalau dia hidup, dia masih bisa mengganti rugi motor Nisa yang dia rusakkan. Tapi kalau dirinya sampai kenapa-napa karena kejadian ini, Kirana jelas tidak akan tahu akhir dari hidupnya akan seperti apa.
Sedari dulu, Bu Ghina memang tidak pernah mengajari Kirana untuk mengutang. Namun, di dalam keadaan mendesak seperti waktu itu, Kirana tidak punya pilihanlain selain hutang terlebih dahulu. Dan untuk motor Nisa, Kirana akan memikirkannya nanti, yang penting Kirana sekarang selamat dulu.
Sampai akhirnya, geraman amarah yang seakan berlomba dengan derap langkah yang begitu cepat, membuat Kirana tanpa berani menoleh terus saja berlari dengan melihat depan. Hingga tikungan itu tiba, Kirana yang tidak sepat berpikir untuk berhenti langsung berbelok begitu saja dan refleks mulutnya terbuka untuk berteriak saat ada mobul di depannya dan menabrak Kirana hingga tubuhnya tersungkur di kerasnya aspal.
Dan karena kejadian ini pula, dimanfaatkan oleh pemuda yang mengejar Kirana tadi untuk mendekati Kirana, hendak membawanya paksa. Kirana yang sadar, hanya kepayahan untuk bangkit berdiri langsung berontak. Bahkan masih sempat melepas sandal jepitnya untuk menghantam wajah pemuda kurang ajar itu, juga tak lupa memukul lututnya hingga ikutan terjatuh meskipun tidak sebanding dengan rasa sakit yang tengah Kirana rasakan karena habis ditabrak mobil, ditambah takut ada orang yang ingin bermaksud jahat dengannya.
“Ikut aku!”
“Pergi kamu!” Kirana sekali lagi menghalau tangannya jangan sampai tersentuh oleh orang tidak bermoral itu. Dia terus menghindar di waktu beberapa detik yang terasa sangat lama sekali itu. Untung yang menabrak Kirana juga bergerak dengan cepat untuk menyelamatkan.
Awalnya orang yang menabrak ini turun karena ingin membantu korban yang ditabraknya. Namun melihat ada pemuda yang memaksanya, lelaki itu mengatasi pemuda yang meganggu perempuan itu lebih dulu dengan menariknya menjauh secara paksa dan tak lupa memelintir tangannya hingga mengaduh kesakitan memohon ampun, juga tak lupa bagian lipatan lututnya ditendang cukup keras dari belakang yang membuat pemuda tidak bermoral itu langsung berlutut menghantam aspal. Pasti langsung memar di sana.
“Mbak Kirana?!”
Seperti orang setengah tidak sadar, Kirana baru tersadar ketika namanya dipanggil. Dia melihat Silvi yang memandangnya begitu khawatir. “Mbak Kirana?” panggil Silvi lagi.
“Kirana?! Kirana?!”
Semua orang jadi beralih menatap beberapa orang yang berlari menghampiri Kirana dari arah yang sebenarnya akan Silvi dan Pak Damar tuju.
“Kenapa, Ki? Tadi kita mau pulang lihat motor kamu udah jatuh, makanya kita cari.” Kata Mbak Ela bingung sendiri ketika melihat Kirana sudah duduk di jalanan.
Kirana belum bisa merespon yang langsung Silvi gantikan untuk menjawab. “Mbak tolong pegangi Mbak Kirana dulu ya, mau ambil minum.”
Belum juga Mbak Ela menjawab, Silvi lebih dulu berjalan cepat menuju mobil, mengambil botol mium yang kebetulan masih penuh—masih disegel pula untuk Kirana. Begitu mendapat yang dicari, Silvi kembali menghampiri Kirana dan langsung membukakannya, memberikannya pada Kirana agar bisa meminumnya. “Minum dulu, Mbak.”
Lelaki yang tak lain adalah Pak Damar itu tak segan untuk menguatkan plintirannya ketika pemuda yang dibuatnya bertekuk lutut ingin mendekati Kirana lagi. “Gerak, saya patahkan tangan kamu!” ancam Pak Damar tidak main-main dengan perkataannya.
“Pemuda ini gangguan kejiwaan, Mas. Rumahnya di sebelah kedai.” Mas Asep—yang ikut berlari dengan Mbak Ela memberikan penjelasan singkat.
Kirana yang sepertinya sudah lebih baik hanya bisa menghela napas lega, tak lupa melangitkan syukur atas semua pertolongan semua orang. “Aku ndak pernah liat dia Mbak.”
“Memang dikurung di rumah. Nggak tau kenapa bisa keluar. Kamu tadi diapain, nggak diapa-apain, kan? Motormu deknya pecah.”
Ah, Kirana lupa dengan motor Nisa. Dia hanya bisa meringis. Hutang di Silvi saja belum lunas, sekarang dia harus ganti lagi motor Nisa yang tidak sengaja ia rusakkan karena jatuh tadi. Namun apapun itu, Kirana bersyukur sekali karena dirinya masih diberikan keselamatan oleh Allah. Nikmat mana lagi yang ia dustakan? Kalaupun Kirana mendapat musibah—itu bersamaan dengan rahmatnya. Jadi kenapa Kiran harus bersedih. Seperti yang dia pikirkan tadi. Yang penting dia hidup dulu sehingga bisa menganti rugi.
“Kenapa tadi nggak bareng kita aja sih pulangnya, Ki? Biasanya juga kamu nunguin kita selesai kerja dulu.” Kata Mbak Ela lagi, tidak tega melihat Kirana masih terlihat syok. Untung Kirana tidak sampai diaapa-apakan oleh pemuda yang katanya gangguan itu. Ya meskipun tertabrak mobil, sekali lagi Kiran baik-baik saja. Hanya saja, memang beberapa bagian tubuhnya nyeri. Mungkin karena efek menghamtam aspal dengan keras tadi.
“Mbak Kirana kerja?!” tanya Silvi tidak habis pikir. Apalagi tatapan matanya terkejut sekali seperti itu. Sementara yang ditanyai hanya diam saja, Kirana mau menjawab apa juga, memang sudah jelas dia bekerja. Mau mencari alasan apapun juga, rasanya percuma. Alhasil, diam adalah jalan ninjanya.
“Bantu berdiri, La. Kita antar pulang.” Mas Asep memerintahkan Mbak Ela untuk membantu Kirana yang wajahnya tertekan sekali.
Untung dari pihak keluarga dari pemuda yang berniat jahat dengan Kirana ini ada yang datang dan langsung meminta maaf kepada Kirana karena perbuatan anaknya. Bahkan Kirana ingin diberi amplop yang langsung Kirana tolak begitu saja. Kirana tahu kalau niat orang tua pemuda itu baik jika ingin meggantikan kerugian kerusakan motor Nisa yang terjatuh karena k*******n yang anaknya lakukan tadi. Namun, kalau itu hanya untuk sogokan, maaf saja Kirana tidak akan bisa menerimanya. Dia bisa mencari dana sendiri untuk memperbaiki kerusakan motor itu ke bengkel. Kirana tidak mau kalau kesannya seperti sogokan.
“Tolong diterima, Nak. Maafkan kelalaian kami karena tidak sadar kalau dia keluar rumah.”
“Ndak apa-apa, Pak. Ndak usah diganti.” Kata Kirana menunduk sopan, tapi tetap tidak mau menerima uluran amplop itu. Bagi Kirana, mendapatkan uang harus bekerja terlebih dahulu. Dia tidak mau menjadikan musibahnya sebagai ajang untuk menyusahkan orang. Belum tentu orang tua dari pemuda yang hendak mengganggu Kirana ini orang beruang. Karena kalau beruang, mungkin anaknya diberobatkan sehingga sembuh atau memang anaknya yang tidak bisa diatur.
“Sayangku, hai!” pemuda itu memanggil Kirana lagi yang memabuat Kirana meringis. Apalagi wajah dari orang tua si pemuda terlihat sendu sekali melihat sikap putranya yang demikian.
“Calon istri anak saya meninggal waktu dibonceng motor sama dia. Putra saya nggak papa, tapi calon istrinya tidak tertolong karena cidera kepala parah.”
Semua orang turut prihatin mendengar cerita dari sang ayah. Tidak ada satupun orang tua yang ingin anaknya seperti pemuda yang tengah Kirana amati sekarang. Tatapan matanya yang kosong, juga senyuman sendunya yang seperti merindukan seseorang.
“Tolong maafkan anak saya, Nak.”
Kirana jadi tidak tega melihat orang tua itu sampai ingin menunduk kepadanya. “Pak jangan!” Kirana mencegah. “Ndak papa, yang penting kan saya tidak apa-apa.” Katanya berupaya menenangkan. Selaras kemudian, Kirana melihat ke arah Pak Damar, tapi tidak langsung menatapnya terang-terangan. “Pak Damar tolong lepaskan masnya,”
Pak Damar pun menuruti keinginan Kirana tanpa banyak kata. Dia lepaskan pemuda itu yang langsung dipegangi oleh ibunya yang wajahnya sedih sekali merasakan putranya bisa sampai seperti ini karena ditinggalkan gadis yang telah lama dilamarnya. “Terima kasih banyak ya, Nak.”
Kirana tersenyum menenangkan pada sang ibu yang kuat menahan tangis sedari tadi. Sementara sang ayah juga akhirnya pamit karena Kirana terus saja menolak diberikan sesuatu sebagai pengganti. Namun pada akhirnya, malah Kirana yang meminta sesuatu. “Tolong doakan saya supaya bisa menemukan ayah saya, Pak.”
Tak banyak kata, sang bapak itu langsung mendoakan seperti yang Kirana inginkan. Tangannya lantas tengadah menghadap langit. “Ya Allah… pertemukanlah gadis berhati mulia ini dengan ayannya, Ya Allah. Lindungilah dia dalam pencarian ayahnya. Semoga mereka kelak bisa dipertemukan dengan keadaan yang sama-sama baiknya. Lindungilah gadis berhati mulia ini Ya Allah. Aamiin.”
Kirana tersenyum penuh haru dan mengaminkan semua yang dikatakan oleh seoarang ayah di depannya ini. Dia juga mengharapkan hari itu datang. Jika memang diizinkan, Kirana ingin membawa ayahnya pulang untuk bertemu dengan ibunya agar mereka bisa hidup bersama-sama lagi, kembali memulai hidup yang sempat terpisahkan puluhan tahun lamanya. “Terima kasih banyak ya, Pak. Semoga anaknya bapak juga cepat sembuh.”
“Iya, Nak. Terima kasih banyak. Kalau begitu, saya pamit dulu, ya. Tadi motornya sudah saya minta orang untuk dibawa ke bengkel biar besok pagi diperbaiki.”
“Terima kasih banyak, Pak. Nanti kalau sudah selesai saya minta tolong sama Mbak Ela untuk diantarkan ke sana ya, Pak.”
“Iya, Ela tahu. Langganan di bengkel saya dia. Nanti tolong antar ya, La. Ini siapa namanya?”
“Kirana, Pak.” Jawab Kirana sendiri dengan senyuman. Kirana bahagia sekali bisa berbuat baik seperti yang dilakukannya sekarang.
“Ah iya Kirana. Kalau begitu, bapak pamit dulu.”
Kirana lantas mempersilakan begitupun dengan yang lain. Sampai Mbak Ela yang masih setia di samping Kirana menegur peremuan itu kembali. “Ayo aku antar, Na. Nanti keburu malam.”
Sadar karena didahului, jelas saja Silvi tidak mau kalah dalam berbuat kebaikan. “Mbak Kirana pulang sama saya saja, Mbak. Saya saudaranya.”
Mbak Ela tidak langsung pergi begitu saja. Dia melihat ke arah Kirana dulu yang langsung diangguki Kirana daripada Silvi membuat keributan. Oh ayolah, Kirana sudah tahu sifat Silvi saking seringnya bertemu, salah satunya adalah sangat-sangat keras kepala. Makhlum saja anak terakhir dari keempat bersaudara, mana perempuan sendiri pula. Pasti dimanja seluruh anggota keluarganya.
“Kalau begitu aku sama Mas Asep duluan dulu, ya. Assalamualaikum. Mari Mbak, Mas.”
Mbak Ela dan Mas Asep dipersilakan lagi oleh Kirana, Silvi juga Pak Damar. Sampai akhirnya, Kirana juga harus pasrah saat harus masuk ke dalam mobil. Memang keputusannya sendiri pula yang memilih ikut bersama Silvi. Jadi, dia juga harus menerima konsekuensi kalau ditanya-tanyai tanpa henti.
“Mbak Kirana kerja buat apa? Jangan bilang buat bayar hutang waktu diopname itu?”
Kan, apa dibilang? Kirana pasti ditanyai ini itu. Untung Pak Damar berbaik hati menunggu di luar sehingga dia pun tidak perlu mendengar perbincangan antara Silvi dan Kirana karena tidak ingin membuat suasananya menjadi tidak nyaman.
Karena Kirana tidak menjawab, alhasil Silvi berbicara lagi. “Mbak, kok diem aja sih?”
“Iya,” jawab Kirana akhirnya meskipun dengan embusan napas yang terlihat lelah. “Tapi ndak itu juga kok, kan memang aku dari dulu pengen nyambi kerja, tapi ndak dikasih izin sama ibuk, diminta buat fokus. Tapi, aku ngerasa tetap bisa fokus meskipun kuliah sambil kerja. Jadi kenapa ndak sekalian aja. Gitu.”
Silvi menggeleng tak habis pikir. “Ya Allah Mbak, udah nggak usah kerja lagi kayak gitu.”
Kirana hanya diam saja.
“Kalau tadi Mbak Kirana kenapa-napa gimana? Aku nggak akan bisa maafin diriku sendiri karena Mbak celaka gara-gara pengen bayar utang. Padahal aku udah ngomong sama Mbak kalau nggak usah nggak papa, tapi mbak maksa. Kenapa keras kepala banget sih?”
Silvi 100% sadar dengan apa yang dirinya katakan. Dia mungkin tanpa sengaja menyakiti Kirana dengan perkataannya barusan. Namun, Silvi akan merasa semakin bersalah kalau memilih diam saja di saat dia tahu kalau Kirana sampai bekerja tengah malam begini untuk menyicil hutangnya.
“Mbak?”
“Yang namanya hutang itu harus dibayar, Vi. Aku nggak mau nanti kalau mati, aku ditagih karena hutangku semasam di dunia belum aku lunasi.”
“Aku bahkan lebih ikhlas kalau Mbak nggak menganggap itu sebagai hutang. Ya Allah Mbak, Mbak kerja dari kapan?” tanya Silvi masih tidak percaya melihat ini semua. “Tadi kalau aku sama Mas Damar nggak lewat jalan sini, gimana coba nasib Mbak di tangan pemuda itu?”
“Yang penting kan aku ndak papa, Vi. Makasih banyak ya.”
Melihat wajah Kirana yang tersenyum tulus seperti itu, Silvi hanya bisa membuang napas kasar. Kemudian memanggil masnya untuk masuk ke mobil.
“Mas Damar, ayok?” panggilnya.
Tanpa membuang waktu, Pak Damar langsung masuk ke bagian kemudi dan bergegas mengendarai mobilnya untuk menuju jalan raya.
“Ke rumah sakit ya, Mas. Mbak Kirana harus dirontgen, takutnya ada yang patah atau retak. Kalau aku tanya ada yang sakit apa enggak, Mbak Kirana pasti jawab nggak ada yang sakit. Jadi kita cari aman aja, Mas.”
Kirana yang duduk di jok belakang hanya bisa meringis dengan perkataan Silvi yang sangat blak-blakan itu. Mereka benar menuju rumah sakit. Pak Damar juga sadar kalau tadi dia menabrak Kirana lumayan keras juga. Semoga saja yang dikatakan Kirana benar kalau tidak apa-apa. Pak Damar bukannya takut ganti rugi, tapi dia lebih khawatir kalau Kirana sampai kenapa-kenapa karena ulahnya.
Begitu sampai di rumah sakit, Pak Damar langsung berbicara pada perawat yang berada di IGD, dia melaporkan bahwasannya Kirana adalah korban tabrak, sehingga langsung diambil tindakan rontgen saat itu juga untuk melihat jika ada yang luka dalam. Dia diinapkan sehari di rumah sakit untuk melihat hasil rontgen keesokan harinya.
Pak Damar dan Silvi yang menunggui hanya bisa berjaga dalam diam. Pak Damar sudah bisa menebak kalau jari tangan kanan Kirana ada yang patah saat dilihat sekilas oleh perawat tadi. Namun dengan tabahnya, perempuan itu tidak mengeluh kesakitan sama sekali di saat dia bisa mengeluh dan orang di mobil itu pun akan mengerti. Namun sekali lagi, ini Kirana. Perempuan itu hanya diam, hanya mengeluh dengan bibirnya yang terkatup rapat. Tidak ingin memamerkan rasa sakitnya sedikitpun kepada orang lain.
"Apa ada orang lain lagi selain Kirana?" Pak Damar bergumam tiba-tiba yang langsung Silvi tangkap maksudnya. Karena itu Silvi tersenyum sendu saat menjawab.
"Zaman dulu ada, Mas. Tapi sekarang," Silvi tidak perlu melanjutkan perkataannya karena dia tahu kalau kakak tertuanya ini sudah mengerti . Karenanya, Pak Damar hanya bisa memejamkan matanya dalam-dalam dengan napas yang terasa begitu berat.