54. Orang Asing

1205 Kata
Gelap telah menyingsing hingga waktunya sang surya memancarkan cahaya untuk menyinari sang bumi. Angin yang berembus mulai menggerakkan dedaunan kian berat. Sementara perempuan yang tertidur karena obat bius itu tetap terlelap dengan begitu damainya. Tubuhnya yang masih terbalut pakaian panjang lengkap dengan hijabnya membuat harga dirinya sebagai seorang perempuan tetap terjaga. Silvi yang bersedekap d**a di sopa panjang itu benar tidak tertidur semalaman suntuk. Kepalanya seakan memutar berulang kejadian beberapa waktu lalu di saat Kirana meminta sesuatu kepada bapak tadi sebagai ganti rugi. Ada sedikit pertanyaan yang mengganjal dalam benaknya dan Silvi penasaran sekali. Baiklah, bukannya Silvi ingin sok ikut campur atau apa. Hanya saja, kalau Silvi bisa membantu Kirana sekarang, Silvi akan sekali membantunya. Entahlah, Silvi memang baru kenal dengan Kirana. Namun, gadis itu sudah menyayangi Kirana seperti kakak perempuannya sendiri. Menjadi anak paling akhir dari berempat saudara, apalagi perempuan sendiri, Silvi ingin sekali memiliki kakak perempuan sedari dulu. Dan sejak bertemu Kirana, Silvi merasa hal itu benar terjadi. Dia merasa memiliki kakak perempuan yang tidak pernah dirinya miliki sebelumnya. Kembali lagi, sebenarnya tidak ganti rugi juga dengan permintaan Kirana tadi. Namun, Kirana akan sangat bahagia sekali saat ada yang mendoakannya begitu tulus daripada yang memberinya uang. Nominal uang berapapun tidak akan mampu menandingi kekuatan doa. Apalagi doa yang tulus, tidak ada doa yang tidak Allah kabulkan kecuali digantikan dengan yang lebih baik. Karena sesungguhnya, hanya Allah lah yang Maha Mengetahui apa yang baik dan tidak baik bagi umatnya. "Semalaman nggak tidur, Dek? Kenapa?" Silvi tersentak ketika enak-enak melamun malah diajak bicara. Pak Damar bertanya begitu pelan padanya. Tangan kanannya yang semula bersedekap ia tarik untuk merangkul bahu adiknya sayang. "Nggak nyaman, ya?" tanyanya lagi, dengan sorot yang berupaya menenangkan. "Bukan begitu, Mas." Ada gelengan—selaras dengan jawaban yang Silvi berikan meskipun dengan suara yang agak berat. Begitupun dengan matanya yang sudah memerah sayu. "Aku kepikiran dari semalam, penasaran dengan permintaan Mbak Kirana yang minta didoakan bisa bertemu dengan ayahnya. Maksudnya apa? Mas Damar tahu?" Tatapan Silvi yang lurus ke arah mata kakaknya membuat lelaki itu hanya memalingkan wajahnya sekilas, kemudian tersenyum tipis ke arah Silvi yang terlihat sekali menunggu jawabannya. "Mas tidak tahu. Hanya saja, di Akta kelahirannya, dia anak dari pasangan ayah dan ibunya. Namun sekarang, ibunya yang jadi wali untuk semua urusan, termasuk pendidikan, kesehatan dan mungkin yang lain juga." "Mbak Kirana yatim ya, Mas?" "Mas juga kurang tahu." Pak Damar mengembuskan napas pelan, "Tapi tadi kamu dengar dia berharap bisa bertemu dengan ayahnya, bukan? Itu artinya dia juga sedang mencari kebenaran akan keberadaan ayahnya sendiri." Silvi jadi menunduk sedih. Di saat dia bisa berpikir yang tidak-tidak tentang Kirana, justru dia melakukan hal yang sebaliknya. "Kok Mbak Kirana kasihan banget ya, Mas? Padahal kalau sama aku, dia nggak pernah tuh kelihatan sedih, senyum terus, adem bawaannya. Tapi ternyata nyimpan luka juga. Pokoknya nanti, aku mau main ke Jogja sama dia, mau ketemu sama ibuknya di sana. Boleh ya, Mas?" "Anything." Silvi tersenyum senang saat puncak kepalanya diusap dengan gerakan berulang. Namun setelahnya, Silvi ikut murung. Dia yang sudah sebesar ini saja, ayahnya yang bekerja di sering keluar kota suka dirinya telfon pagi, siang dan malam. Pokoknya harus menelfon. Kalau di rumah, papanya diboikot oleh Silvi, pokoknya weekend tidak boleh pergi tanpa ada Silvi bersamanya. Begitu manjanya Silvi kepada papanya itu. Makanya kalau dia berada di posisi Kirana yang ayahnya saja tidak tahu dimana, pastilah Silvi ikut bersedih. Dia jadi membayangkan yang tidak-tidak—sampai berpikir bagaimana kalau hal yang terjdi pada Kirana justru terjadi pada dirinya. Sampai pembicaraan berat mereka harus terhenti saat terdengar suara azan yang menandakan waktu Subuh. Mereka menjawab lafadz azan sampai selesai, kemudian ditutup dengan doa selesai azan. Pak Damar dan Silvi yang semula khusyu' berdoa dibuat kaget saat melihat Kirana yang sudah membuka matanya, menatap keduanya dalam diam. "Eh Mbak Kirana sudah bangun," . Silvi berdiri menghampiri Kirana yang seperti orang bingung. "Ini jam berapa, Vi?" "Habis azan, Mbak. Mbak mau salat?" Kirana mengangguk mantap, sementara Pak Damar langsung bangkit dari sopa dan pamit ingin jamaah di masjid. "Vi, Mas ke masjid dulu." Karena yang diajak bicara adalah Silvi, maka Silvi yang dilihat. Namun saat mengajak Kirana berbicara, justru dinding yang dilihat, "saya duluan," dan setelahnya, Pak Damar benar-benar pergi. Silvi bergegas membantu Kirana untuk melaksanakan salat. Kalau ada yang tahu, Kirana berjalan tertatih menuju tempat wudhu. Ternyata sakitnya baru berasa berkali-kali lipat saat Kirana terbangun dari tidur dan obat pereda sakit ataupun biusnya sudah tidak terasa lagi. Nyeri sekali apa yang Kirana rasakan sekarang. Namun, dia masih mampu dan tetap berupaya untuk melakukan hal terbaik yang bisa dirinya lakukan. Silvi begitu sabar menunggui membantu Kirana sebisanya. Dia agak meringis melihat tangan kanan Kirana. Wajahnya meringis melihat jari-jari tangan perempuan kanan itu yang Silvi berani mengatakan kalau itu benar patah. Apalagi pergelangan tangan Kirana juga bengkak, seperti tulangnya terlepas dari tempatnya melekat. Begitu usai, Silvi kembali menuntun Kirana ke ranjang, Kirana akan salat sambil duduk. Kakinya tidak kuat dibuat berdiri lama-lama. Begitu Kirana salat, gantian Silvi yang berwudhu. Dia langsung menyusul Kirana melaksanakan salat sendiri-sendiri. Tak lupa mengerjakan qobliyah Subuh sebelum iqamah dikumandangkan. Setelahnya disusul salat Subuh dua rekaat. Mereka begitu khusyu' dalam salatnya, kemudian berdzikir setelah salat. Kirana seperti tidak merasakan sakit. Rasa nyerinya itu seakan dihilangkan sejenak setelahnya dikembalikan lagi. Dia bersyukur dengan semua terjadi. Dengan kejadian ini, Kirana dapat memetik hikmah bahwasannya tidak semua orang tua di dunia ini jahat kepada anaknya sendiri. Kalau di televisi sekarang banyak sekali berita yang begitu tidak seharusnya dilakukan oleh seorang orang tua seperti memperkosa anaknya sendiri, melakukan k*******n bahkan pembunuhan. Namun dari ayah seorang pemuda yang istimewa itu kita belajar, bahwasannya dunia ini belum kehabisan dengan orang-orang yang baik, orang-orang yang berhati tulus. Hingga akhirnya mereka menyudahi salat tersebut bersamaan dengan Pak Damar yang mengetuk pintu, lantas masuk, setelah mengucapakan salam. "Assalamualaikum." "Waalaikumsalam." Baik Kirana dan juga Silvi, mereka membalas dengan begitu semangat. Silvi tengah membantu Kirana melepas mukena yang dikenakan Kirana tanpa melepas jilbabnya yang di dalam. Jadi tidak apa-apa meksipun ada Pak Damar sekalipun. Namun tetap saja Kirana malu. Tidak seharusnya Pak Damar ikut menungguinya. Di satu sisi, Pak Damar sendiri juga bingung. Silvi memaksa ingin menemani sementara itu Pak Damar tidak akan tega meninggalkan adiknya sendiri di rumah sakit menunggui Kirana. Karena itu setelah memberi kabar pada orang rumah semalam, mereka menginap di rumah sakit. Lagi pula, ingatkan Pak Damar bahwasannya dia juga yang menabrak Kirana, jadi sudah sepantasnya dia bertanggungjawab. Dan inilah bentuk tanggungjawabnya. Dia bersama Silvi menunggui Kirana semalaman, sekalian menunggu hasil pemeriksaan Kirana juga. Biar nanti kalau perlu tindakan langsung dilaksanakan prosedur pengobatannya. Melihat wajah Kirana yang polos diam saja, Pak Damar seperti bisa melihat rasa sakit sakit yang tersirat di sana. Namun, Kirana mati-matian tidak ingin menunjukkannya kepada orang lain. Biarlah rasa sakitnya ini dia sendiri yang menanggung. Seandainya Pak Damar memilki kekuatan lebih, dia akan membantu meringankan beban di pundak Kirana sekarang. Namun sayangnya, mereka bukanlah siapa-siapa yang mungkin saja hanya bisa saling mendoakan dalam diam. Dalam kata yang tidak pernah terucap sampai membuat Silvi terkadang merasa ada benih-benih yang tumbuh di hati kakaknya itu. Namun, tidak ada yang paling tahu perasaan Pak Damar kecuali orangnya sendiri dan Allah yang Maha Mengetahui. Harapan Silvi memang sebesar itu bisa menjadi Kirana benar menjadi kakaknya. Semoga yang disemogakan, tersemogakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN