Di saat orang sakit seharusnya tidak dibuat kepikiran, justru kali ini serba berkebalikan. Pak Damar tidak ada hentinya mempertanyakan Silvi tentang kelalaiannya dalam mengajak Kirana pergi. Kalau dia mengajak seseorang pergi—sama artinya Silvi harus menanggung semua keperluan yang Kirana butuhkan karena memang Silvi yang mengajak, bukan Kirana yang mau menyalonkan dirinya sendriri.
Masalahnya, Kirana anak orang. Bisa-bisanya malah hilang di kota orang seperti ini. Mana Kirana pasti buta jalan. Mau pergi kemana juga tasnya masih di ruangan rawat Pak Damar. Jelas saja Pak Damar khawatir. Walaupun hanya sebatas khawatir pada anak didik sendiri, itu rasanya wajar-wajar saja kecuali Pak Damar memang memiliki rasa berlebih pada Kirana. Maksudnya, kekhawatirannya tidak hanya sebatas hubungan dosen dan mahasiswinya saja, melainkan lelali kepada perempuan.
“Kenapa tidak boleh menelfon polisi?” Silvi menatap Pak Damar nanar. Apalagi wajah adik perempuan kesayangannya itu sudah bengkak karena mencari Kirana di sekeliling rumah sakit sedari tadi tidak kunjung ketemu juga.
“Ini belum 24 jam. Mau laporan pun pasti diminta kembali, Vi.” Kalau dihitung-hitung, sudah hampir tujuh kali Pak Damar menjawab dengan sabar pertanyaan adiknya ini. Dan kalau dihitung sejak Kirana keluar dari kamar untuk berbicara pada Kirana, itu sudah hampir enam jam berlalu yang artinya sebentar lagi tengah malam. Ingin menghubungi juga hanphone Kirana ada di ruangan itu. Jadi mereka bingung sendiri.
“Ini pasti gara-gara Mbak Anggi! Dari tadi dia kayaknya nggak suka banget sama Mbak Kirana. Padahal kan, aku yang ngajak Mbak Kirana, udah izin Mama dan boleh, nggak kayak dia yang datang tanpa diundang, tapi menganggap seolah-olah Mbak Kirana mengganggu. Tamu macam apa sih dia itu?! Kenapa juga bisa jengukin Mas bahkan ikut jaga sampai berhari-hari?!”
Pak Damar menghela napas pelan mendengar amukan Silvi. “Dek, nggak baik berpikiran negative sama orang kayak gitu. Mamanya Anggi temennya Mama. Entah kebetulan atau apa, bisa datang ke sini. Jadi ya udah, malah kayak meet up sama Mama Papa. Ikut jagaian Mas juga.
Wajah masam dengan tangan bersedekap d**a langsung Silvi layangkan. “Memangnya kita nggak bisa jagain Mas sampai mereka harus repot-repot ikut jagain. Kalau mau ikut jaga ya jaga aja, jangan ngomong yang enggak-enggak. Aku nggak suka banget sama Mbak Anggi, kenapa mukanya sama cara bicaranya ke Mbak Anggi begitu banget! Emang ya, kalo orang kaya itu selalu mandang rendah orang nggak punya? Mbak Kirana itu baik banget, kok. Dan menurutku, dia kaya hati, kaya kesehatan, terus kurang apa lagi? Mbak Anggi kali yang kurang pengetahuan tentang arti kaya sendiri itu apa!”
Sudahlah, Pak Damar sampai memijit batang hidungnya karena terasa nyeri. Dia mau menjelaskan apapun kepada Silvi pun tidak akan didengar karena adiknya itu terlanjur kesal. Apalagi melihat wajah Anggi tadi, itu benar-benar wajah yang menunjukkan ketidaksukaan sama sekali.
Jangankan Silvi, Pak Damar yang sebelumnya sudah mengetahui kedekatan persahabatan antara Anggi dan Kirana saja dibuat bingung kenapa perempuan itu bisa bersikap demikian dengan sahabatnya sendiri. Anggi yang biadanya sangat menundukung, dan bisa dibilang menjadi penguat pula, malah seakan-akan ganti haluan untuk menjatuhkannya di depan banyak orang.
“Mas Damar kalau Mbak Kirana ilang beneran gimana, Mas?! Aku udah telfon Mbak Simi sama Mbak Nisa, katanya Mbak Kirana belum sampai kontrakan juga. Ini udah larut banget lhoh! Kalau di luar ada yang ganggu gimana?! Masak mau lapor harus nunggu 24 jam dulu? Kalau keduluan orangnya kenapa-napa, polisi mau tanggungjawab? Coba aja yang ngalamin ini keluarganya sendiri, pasti prosedurnya diterjang!”
“Ini bukan masalah uang, Vi. Polisi hanya melakukan tugasnya. Kita tunggu sampai besok, kalau masih tidak ada kabar juga, minta Aldi ke sini untuk bantu cari kalau tugasnya di sana sudah selesai.” Ada perasaan yang begitu berat ketika Pak Damar mengatakan sampai besok pagi. Kalau sampai besok pagi, itu artinya mereka harus menunggu 12 jam lebih lagi.
“Kalau Mbak Kirana kenapa-kenapa gimana, Mas? Aku yang bawa Mbak Kirana ke sini supaya aku nggak sendirian naik mobil perjalanan jauh.
Tidak mengimentari ketakutan adiknya, Pak Damar mengingatkan Silvi tentang satu hal. “Dek, kalau besok Anggi datang, coba kamu bicara baik-baik sama dia. Siapa tahu dia tahu Kirana dimana.”
“Dih, ogah! Nggak mau!” Silvi langsung menolak begitu saja. “Aku nggak mau bicara sama orang sombong.”
“Buat cari informasi, Dek?” Pak Damar berupaya membujuk.
Silvi jadi ingin menangis kalau merasakan ketidakpekaan kakak laki-laki tertuanya ini. “Mbak Anggi itu suka sama Mas tauuu! Masak Mas nggak bisa lihat? Dia itu cemburu tidak pada tempatnya. Padahal dia bukan siapa-siapa Mas, kan? Lalu kenapa malah begitu dengan Mbak Kirana. Mas itu yang tegas kalau jadi laki-laki. Mbak Anggi ya Mbak Anggi, Mbak Kirana ya Mbak Kirana!”
Kepala lelaki yang masih diperban itu bergetar nyeri ketika berupaya memahami kalimat yang Silvi tujukan kepda dirinya. Salahnya dimana kalau seandainya ada yang menyukai dirinya? Jelas bukan siapa-siapa karena cinta itu sendiri datangnya dari Tuhan. Orang hanya bisa merasakan dan tersiksa akan perasaannya itu sendiri. Kalau Anggi merasa demikian, lain hal dengan Pak Damar yang biasa saja.
Jujur saja Pak Damar risih setiap kali Anggi datang berkunjung, entah hanya untuk mengajaknya bicara, atau nekad ingin menyuapi makan yang sebenarnya Pak Damar juga bisa sendiri. Dan tentu saja permintaan Anggi itu ia tolak dengan mentah-mentah. Namun, Anggi tetap datang setiap hari, tanpa absen dan selalu membawa topik yang kadang membuat Pak Damar tertarik—terkadnag membuat merasa bosan juga.
“Jangan bilang Mas Damar juga suka dengan Mbak Silvi?!” gadis itu menatap kakaknya curiga. “Kenapa Mas Damar diam saja?!”
“Lalu mas haru apa?” Pak Damar bertanya kepada adiknya ini lemah.
“Ya diusir kali, Mas. Sebel banget aku liat dia, kayak sok iye banget!” gadis itu masih saja kesal jika mengingat apa yang dilakukan Anggi kepada Kirana. Kalau Kirana mengatakan dengan tulus sekali bahwa Anggi adalah sahabat kecilnya, justru Anggi malah terlihat mengingkari itu. Mungkin Anggi berpikir kalau keluarga Silvi adalah keluarga yang tidak terpelajar sehingga hany melihat seseorang dari luarnya saja. Jelas saja Silvi semakin tidak suka. “Pokoknya, aku nggak mau kalau sampai ada Mbak Anggi lagi! Kalau tetap ada dia, aku nggak mau jenguk Mas sampai itu orang hilang! Dasar tamu tidak diundang!”
“Vivi nggak baik bicara seperti itu. Kamu orang terpelajar. Kalaupun Kirana mendengar, dia akan menegur kamu. Yang kamu katai tadi, dia itu sahabat Kirana. Mungkin memang ada sedikit masalah. Tapi jangan kaitkan dengan, Mas. Mas tidak memiliki hubungan apapun apalagi sampai hubungan special dengan Anggi. Tidak ada.”
Sayangnya, Silvi tidak langsung percaya begitu mudahnya. “Memangnya Mas pertama kali bertemu dengan Mbak Anggi dimana?”
“Waktu Mas bantu Kirana.” Jawab Pak Damar pelan.
“Tuh, kan?! Apa aku bilang. Udah pernah ketemu sebelumnya, Mbak Anggi pasti suka sama Mas.”
Pak Damar menggeleng pelan dengan ringisan yang kentar sekali dalam. “Tolong panggilkan perawat, Vi. Kepala mas sakit sekali.”
Silvi yang tadinya masih ingin mengintrogasi, langsung berjalan cepat mencari perawat yang berjaga. Kalau Pak Damar sampai kenapa-kenapa, dia juga yang kena karena yang menunggui, mamanya sudah pergi dengan mamanya Anggi, sementara papanya masih di luar.
Tak selang lama, pintu terbuka. Gadis yang masuk ke dalam kamar rawat itu memekik kencang sekali saat melihat Pak Damar sudah jatuh di lantai sampai infusnya lepas semua. "Pak Damar?! Ya Allah, Pak Damar?!"
Kirana. Gadis yang memekik kendang itu benar Kirana. Dia yang semmulaberniat mengambil barangnya tengah malam agar tidak ketahuan dengan diantarkan oleh Meisya adik Satria, dia masuk ke ruangan Pak Damar seorang diri. Kirana pikir, akan ada satu atau dua kelurga yang menemai Pak Damar. Namun begitu dibuka, di dalam hanya ada Pak Damar yang posisinya sudah terjatuh di lantai.
"Pak Damar, mari saya bantu, Pak."
Kirana sudah ingin memapah Pak Damar sebisanya, tapi Pak Damar menolak dan mengamti Kirana dalam diam sampai akhirnya keluar beberapa suku jata dari dalam mulutnya. "Kamu dari mana saja? Adik saya cari kamu kemana-mana!"
Gadis itu langsung menunduk mendengar suara Pak Damar yang begitu tegas, apalagi tatapan matanya yang tidak sengaja Kirana tanggap, seperti tersimpan kekesalan di dalamnya.
"Maaf, Pak."
"Habis darimana malam-malam begini? Di luar sana bahaya, Kirana. Kamu baru pertama kali di Bandung, jangan pergi jauh-jauh. Sekarang istirahat saja."
"Tapi, Pak-"
"Lhoh?! Mbak Kirana?!" Silvi memekik heboh yang tentu saja tidak sampai mengganggu ruangan sebelahnya saat masuk ke ruang rawat kakaknya yang pintunya sudah terbuka begitu saja. Sementara perawat yang datang langsung membantu Pak Damar untuk naik ke ranjang.
"Pegangi Kirana, nanti dia pergi lagi." Kata Pak Damar lesu saat Silvi sudah berdiri bersisihan dengan Kirana yang menunduk dalam. "Minta dia istirahat, Vi. Temani." Lanjutnya lagi.
Kirana semakin tidak enak hati. Namun jika mengingat persahabatannya yang dipertaruhkan di sini, Kirana memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya ketika perawat sibuk memasangkan infus Pak Damar yang kembali terlepas. "Maaf, Pak. Saya harus pergi, sudah ditunggui teman di depan, tidak enak kalau ditinggalkan sendirian."
"Memangnya mau kemana? Ke rumah teman siapa? Jangan aneh-aneh di kota orang Kirana. Kamu di sini sama Silvi, pulang juga sama Silvi." Pak Damar mendebat.
"Ada adik dari kakak kelas saya, Pak. Alumni dari UKM yang saya ikuti, tadi kebetulan bertemu dan sudah dapat yang untuk menginap semalam."
Pak Damar langsung saja menjawab datar. "Kamu tidak tahu etika? Kalau pergi pamit biar orang tidak panik mencari kamu."
"Maaf, Pak. Saya juga mau sekalian pamit. Silvi, aku besok pulang duluan ya, ada rabes sama teman-teman UKM."
"Apa saya perlu menelfon Pak Bagus untuk menanyakan pada UKM bimbingannya, apa yang sedang sibuk dikerjakan minggu ini?"
Kirana langsung merasa sesak di dadanya. Entah salahnya apa? Kenapa mau pergi saja dipersulit seperti ini. Tadi si sana seperti disia-sia, sekarang malah seperti tidak diizinkan untuk pergi sama sekali.
"Kalau kamu mau pergi karena Anggi, pergi besok saja, tetap istirhat di sini. Akan saya minta orang untuk mengantar teman kamu kembali ke kontrakannya."
"Ini sudah malam, Pak. Bahaya." Kata Kirana tanpa sadar.
"Itu tahu kalau bahaya, lalu kenapa pergi tengah malam seperti ini? Silvi hampir saja memanggil kakaknya yang di Depok Kirana, kamu kenapa kekanakan begini."
Silvi yang tadinya marah sekarang bingung mendapati Kirana dimarahi oleh kakaknya. Untung perawat selesai melekaukan tugasnya langsung keluar, sehingga hanya menyisakan tiga orang di dalam sana.
"Kok malah Mbak Kirana yang Mas marahi?" Silvi tidak terima melihat wajah Kirana yang seperti orang tertekan.
"Tanya saja sama dia, kenapa pergi seperti anak kecil. Kalau memang ada masalah, bicara baik-baik, saya daritadi dimarahi sama Vivi."
"Kok aku disebut-sebut!" makin tidak terimalah Silvi disalahkan lagi oleh kakaknya. "Mas kali yang nggak peka, orang Mbak Anggi cemburu sama Mbak Kirana."
"Lalu Mas harus bagaimana kalau memang tidak ada rasa. kamu aneh-aneh sekali. Pergi tidur!" perintahnya dingin. "Dan kamu Kirana, kamu bisa pergi, terserah kamu ingin dimana. Kamu punya hak atas hidup kamu sendiri."
Kirana menunduk sedih menyadari nada bicara Pak Damar yang beitu dingin terhadapnya. Namun, Kirana juga tidak punya jalan lain selain melanjutkan niatnya untuk mengambil tas lusuhnya itu dan kembali ke kontrakan temannya Meisya. Besok pagi, kemungkinan Anggi akan datang juga, sahabatnya itu pasti akan cemburu lagi. Cemburu dengan orang yang seharusnya tidak dirinya cemburui.
"Aku saja deh yang ikut Mbak Kirana, Mas kan di sini dijaga sama perawat. Mana aku dimarahi, aku nggak mau jagain." Kata Silvi agak merajuk. Sebenarnya niatany hanya untuk membuat Kirana tetap tinggal di ruangan itu bersama dengannya. Hanya saja sekali lagi, Anggi benar-benar berarti untuknya. Kirana benar-benar khawatir kalau persahabatannya jadi hancur karena seorang lelaki-yang bahkan rasanya Kirana tidak pantas untuk melirik ke arah Pak Damar sekalipun. Siapa dirinya sampai berani bermimpi seperti itu?
Karena Kirana masih diam, mungkin juga bungung dengan perasaannya sendiri, Pak Damar akhirnya kembali bersuara. "Kalau kamu mengkhawaturkan Anggi, maka nanti mari kita bicara baik-baik jika memang saya yang membuat kalian bertengkar."
"Bukan Pak, bukan seperti itu." Kata Kirana cepat-cepat, Kalau memang ada yang seperti Pak Damar katakan tadi, bisa jadi malah sebagai ajang pengungkapan rasa cintanya Anggi, Kirana tidak mau ikut-ikutan. Dia sungguh tidak mau. Kirana ingin pergi saja daripada persahabatannya dipertaruhkan karena cinta sepihak.
Betul bukan, cinta sepihak? Pak Damar tidak mencintai ataupun menyukai Anggi.
"Apa yang kamu takutkan Kirana? kalau memang yang dikatakn oleh adik saya itu benar, maka Anggi memang menyukai saya." Perkataan Pak Damar memang terkesan santai, tapi itu jelas tidak main-main. Silvi yang biasanya cerewet saja malah diam di tempat, numpang bernapas saja.
Duh, Kirana jadi mau menghilang saja. Dia tidak mungkin terang-terangan mengatakan iya, kan meskipun dia juga tahu memang itu kebenarannya. Hanya saja, bukan tempatnya Kirana untuk ikut campur dengan perasaan orang. Apalagi, Anggi pasti bisa mengatakan sendiri dengan Pak Damar, tanpa harus lewat pernatara seperti ini sekarang. Kirana takut kalau dia salah menjawab, hubungannya dengan Anggi semakin tidak karuan.
"Itu bukan hak saya untuk menjawab, Pak. Saya datang ke sini karena hanya ingin menemani Silvi. Sekarang dia sudah sampai, jadi saya mohon maaf kalau harus kembali ke Depok lebih dulu."
Pak Damar hanya mengangguk. "Mulai sekarang, tolong alihkan semua amanah yang saya berikan pada kamu kepada Faisal. Terima kasih. Hati-hati di jalan."
Kirana benar-benar menunduk dalam tanpa berani mengangkat kepalanya. Dan tak mau membuang-bunag waktu, dia tersenyum ke arah Silvi, bermaksud pamit. "Aku duluan ya, Vi. Maaf tidak bisa menemani. Assalamu'alaikum."
Silvi membalas pelan, "Waalaikumsalam. Ati-ati, Mbak."
Begitu Kirana hilang di balik pintu, Silvi langsung menatap kakak tertuatnay itu tidak suka. "Semuanya gara-gara Mas Damar."
Pak Damar tidak berekspresi apa-apa ketika Silvi langsung membanting tubuhnya di sopa, ingin tidur. Yah, memangnya mau bagaimana lagi? Laki-laki selalu salah, kan? Memang kapan laki-laki pernah benar. Perempuan yang sellau benar meski salah sekalipun.