Hasil pemeriksaan Kirana sudah keluar. Dan seperti yang Pak Damar juga Silvi duga hanya dengan melihat bagaimana keadaan tangan Kirana, mereka sudah tahu kalau memang benar patah jarinya, juga pergelangan tangannya.
"Fraktur." Pak Damar memberi tahu. "Di bagian jari tengah, juga pergelangan tangan. Harus dioperasi pemasangan pen."
Wajah Kirana pias, dalam kepalanya langsung muncul nominal-nominal yang sebelumnya belum pernah ia pikirkan sebagai pengeluaran. Kalaupun ada, harapannya itu untuk tabungan masuk yang nantinya bisa digunakan untuk merenovasi rumah agar ketika hujan, rumah tidak kebocoran lagi, begitupun saat musim panen, tidak ada barang maupun bahan yang dimakan tikus karena lantai rumah Kirana masihlah menggunakan tanah.
"Apa tidak ada jalan lain, Pak? Maksud saya—" Kirana tidak mampu mengatakan apa-apa saat pintu terbuka dan muncullah sosok wanita paruh baya dari sana.
"Nak?"
"Ibuk!" Kirana memekik tanpa bisa dicegah. Matanya memerah hebat, dan dengan kasih sayang yang begitu tulus, ibu itu—yang tak lain adalah Bu Ghina—ibu Kirana sendiri langsung mendekat dan memeluk putrinya begitu erat.
"Maaf, Ibuk."
"Ndak papa, Nak. Ndak papa, sudah." Diusapnya punggung bergetar putrinya itu lembut agar Kirana juga merasa tenang.
Semalam, Silvi memberitahu Bu Ghina dan fajar tadi langsung memesan kereta sehingga pagi menjelang siang sampai. Dan tadi di stasiun, Bu Ghina dijemput langsung oleh supir keluarga Pak Damar dan langsung dibawa ke rumah sakit untuk menemui Kirana.
Sebenarnya, Silvi bukan bermaksud untuk mengadu hanya saja dia khawatir kalau Pak Damar ganti rugi dengan membiayai semua pengobatannya sampai sembuh total, Kirana tidak mau dan malah melakukan hal yang sama seperti waktu dengan Silvi dulu, menjadikannya itu sebagai hutang. Makanya Silvi terpaksa menghubungi ibunya, biar Kirana juga lega, tidak terus kepikiran. Lagipula sudah tanggungjawab Pak Damar sebagai penabrak. Beliau harus mempertanggungjawabkan perbuatannya karena sudah menabrak Kirana semalam.
"Sudah Na, ndak papa." Bu Ghina menenangkan Kirana lagi agar tidak terus-terusan menangis. Pakaian panjang sederhana yang Bu Ghina kenakan menyadarkan Silvi kalau Kirana memang dari keluarga yang bisa dibilang kurang mampu. Apalagi dengan melihat kaki Bu Ghina yang—bukan masalah hitam atau putihnya, tapi jelas sekali itu kaki yang terlalu sering bekerja. Kakinya kecil.
Silvi berjalan pelan menghampiri Pak Damar saat dikode. Begitu sampai di dekat Pak Damar, lelaki itu langsung membawa Silvi untuk keluar dari ruangan Kirana lebih dulu.
"Mas Damar!" Silvi menumpukan wajahnya di d**a kakak laki-lakinya itu saat tidak tega melihat kondisi Kirana. Silvi pikir, keluarga Kirana tidak sampai semiskin itu. Namun melihat penampilan Kirana dan Bu Ghina, Silvi tidak perlu mempertanyakan Kirana seperti orang-orang yang lain. Alhamdulillah Silvi tidak mengukur suatu pertemanan hanya dengan materi.
"Kenapa menangis, Dek?" Pak Damar menyingkirkan rambut Silvi yang menjuntai agar tidak menganggu.
"Kok zaman sekarang masih ada yang seperti keluarga Mbak Kirana ya, Mas? Bukannya ini menuju negara maju. Aku nggak nyangka kalau Mbak Kirana yang murah senyum ternyata hidupnya nggak semudah itu. Iya," Silvi menahan napas sebentar. "Iya aku tau kalau Mbak Kirana bukan orang berada, tapi aku nggak tahu kalau sebegitunya. Aku lihat ibunya aja pengen nangis. Badannya kurus sekali. Aku jadi inget Mama. Pokoknya nanti kalau aku pulang, aku bakal larang Mama capek-capek.
Pak Damar tersenyum lirih, kemudian mendekap Silvi penuh sayang, diusapnya punggung bergetar itu dengan perlahan. "Tidak apa-apa, Dek. Doakan mereka yang terbaik."
Tidak ada balasan yang terdengar kecuali balasan tangisan Silvi semakin pilu. Melihat hal seperti tadi saja, Silvi sudah menangis seperti ini. Apalagi kalau lebih. Bisa dilihat bahwa Silvi ini tipe anak yang sangat perasa. Dia peka sekali dengan lingkungan sekitar. Dan juga, dia peka sekali dengan perasaan orang lain hingga mudah sekali menangis, seakan ikut merasakan kesedihan yang sedang dirasakan oleh orang lain.
Karena sudah cukup lama Silvi menangis, Pak Damar mengecup kepalanya pelan, kemudian meminta Silvi untuk berhenti. Khawatirnya mereka yang di dalam menunggu dan tidak tahu harus melakukan apa tanpa petunjuk mereka yang lebih paham. Memang di desa ada puskesmas dan semacamnya, hanya saja ini di kota, yang mayoritas orang kaya semua. Pak Damar khawatir kalau hanya dengan melihat penampilannya, Bu Ghina direndahkan oleh orang-orang.
"Masuk lagi yuk, Dek. Kasihan mereka nunggu kita."
Silvi menarik tubuhnya—wajahnya sudah basah air mata. Pak Damar jadi ikutan tidak tega, Beliau bantu untuk mengusap wajah adik kesayangannya itu. "Nanti mereka ikutan kepikiran lihat kamu menangis."
"Ya gimana Mas, nggak bisa berhenti." Kata Silvi sesenggukan. Melihat keluarga orang lain susah saja, sampai seperti itu tangisan Silvi. Apalagi kalau sampai keluarganya sendiri yang tertimpa musibah. Pasti kesedihan Silvi lebih berkali-kali lipat.
"Iya, nggak papa nangis. Kalau begitu kamu tunggu di sini dulu, biar Mas yang masuk."
"Aku juga mau masuk. Tunggu." Pintanya.
Pak Damar begitu sabar menunggu, tangannya masih setia mengusap puncak kepala Silvi sayang.
"Sudah, Mas."
"Ayo." Pak Damar berdiri, disusul dengan Silvi ikut berdiri. Begitu masuk, mereka sudah disuguhi Kirana yang berhenti menangis dan senyuman tulus dari Bu Ghina.
"Eh, silakan duduk, Nak." Beliau mempersilakan. Kenapa repot-repot keluar, duduk di sini saja tidak apa-apa."
"Tidak merepotkan, Bu." Pak Damar menunduk sopan. Kalau dilihat-lihat, usianya di atas mamanya. Namun, kalau dihitung betul-betul, Bu Ghina lebih muda lima tahun dari mamanya. Beliau terlihat lebih tua dikarenakan beban hidup juga beban mentalnya selama ini yang membuat beliau terlihat lebih tua dari umur yang sebenarnya. Meksipun begitu, Bu Ghina tetap terlihat cantik, seperti putrinya, Kirana.
"Buk, aku mau duduk di sini." Silvi langsung menghampiri Bu Ghina, lantas memperkenalkan dirinya. "Aku Silvi, Buk. Yang semalam—juga tadi pernah telfon Ibuk.'
Mata sayu Bu Ghina berbinar. "Ya Allah, Nak Silvi? Cantik sekali. Terima kasih banyak ya Nak atas bantuannya."
Silvi mengangguk antusias. "Sama-sama, Buk. Mbak Kirana juga nggak pernah berhenti bantuin aku. Mbak Kirana baik banget. Aku juga harus banyak terima kasih sama Mbak."
Pak Damar tersenyum samar melihat adiknya yang tadi sedih sekarang mendadak ceria. Pak Damar bangga sekali dengan adiknya yang pintar menempatkan diri itu.
"Oh iya, itu Mas-nya kenapa tidak disuruh duduk? Duduk dulu, Mas. Ibuk duduk di samping Kirana saja."
"Eh, nggak usah, Buk!" Silvi menahan tangan ibunya Kirana, lantas meminta Bu Ghina untuk kembali duduk seperti semula. "Mas Damar kan cowok, Buk. Dia berdiri tidak apa-apa. Mas Damar kan kuat."
Bu Ghina jadi tertawa. "Ya ndak boleh gitu to, Nduk."
"Mas Damar tahu Buk yang nabrak Mbak Kirana sampai patah jari sama tangannya."
Ada kibasan tangan pelan yang Bu Ghina lakukan, kepalanya juga turut menggeleng tidak membenarkan. "Mbak, ndak boleh gitu. Bagaimanapun yang terjadi itu musibah. Mas-nya juga pasti tidak mau sampai menabrak orang, apalagi sampai pergelangan tangannya patah."
Silvi hanya meringis. Namanya juga orang baik, mau mencoba membujuk yang tidak-tidak pun, tidak akan mempan. Bu Ghina sangat positive vibes sekali. "Maaf ya, Buk." Tak memberikan jeda lama, Silvi langsung menjelaskan. Tangannya menunjuk Pak Damar dengan sopan. "Mas Damar ini kakakku, Buk. Beliau juga wali dosennya Mbak Kirana di kampus."
Mata Bu Ghina langsung membulat, tatapannya beralih ke arah Kirana. "Kamu mencari masalah sama dosen to, Na?"
"Ehh, bukan begitu, Buk." Silvi ingin meluruskan. Bukannya Kirana dibela, ibunya malah menegur. Silvi jadi tidak habis pikir. Didikannya benar-benar keras sekali meksipun terbalut kelembutan.
"Saya yang salah, Buk. Di tikungan saya tidak menurunkan kecepatan. Saya yang mohon maaf sudah menabrak Kirana sampai tangannya patah. Ibuk jangan khawatir, saya akan bertanggungjawab karena itu memang kelalaian saya sebagai pengandara. seharusnya saya lebih hati-hati lagi ketika menyetir sehingga tidak merugikan pengguna jalan lainnya."
Bu Ghina menatap Pak Damar dengan anggukan penuh pengertian. Sorot mata Bu Ghina yang teduh—yang terlihat tidak ingin menggurui, membuat Pak Damar merasa lebih baik. Kalaupun Bu Ghina ingin menyalahkannya sekalipun, Pak Damar tidak keberatan karena memang seperti itu kenyataannya.
"Saya akan menjaga Kirana sampai sembuh, Buk. Dengan bantuan adik saya, Silvi."
Ada embusan napas lega yang keluarkan oleh Bu Ghina. Tadi dia sudah ingin menolak maksud baik Pak Damar. Namun mendengar perkataan selanjutnya dari pemuda ini, Bu Ghina seakan bisa menilai bahwa Pak Damar adalah orang beradab. Kalau cerdas, tidak perlu disebutkan lagi karena pada kenyataannya, Pak Damar memang seorang dosen yang cerdas dan begitu berkompeten.
Kirana yang dibicarakan tidak ada niat untuk ikut-ikutan nimbrung pembicaraan mereka. Dia hanya diam sambil menahan nyeri tangannya yang terasa makin menjadi-jadi.
"Tuh Mbak dengerin, Mas Damar yang ngurus semua keperluan rumah sakit, jadi Mbak nggak usah khawatir lagi. Kalau Mbak nggak mau ditanggung sama Mas Damar, nanti Mas Damar ditangkap polisi karena tidak bertanggungjawab."
Ada tawa yang terlepas di antara candaan semua orang. Sampai akhirnya Bu Ghina yang semula sudah lega kembali mengingat sesuatu.
"Oh iya, Na? Anggi kok ndak ada, dia ndak dikasih tau, to? Nanti dia marah kalau tahu kamu masuk rumah sakit tapi ndak ada yang kasih tau dia."
Dan seusai itu, hanya keheningan yang bersambut. Semua orang seolah-olah sepakat untuk diam yang jelas saja membuat Bu Ghina kebingungan.
Untung saja, Silvi berani buka suara di saat semua orang yang lain hanya mampu bungkam dengan keterdiamannya. "Mbak Anggi sibuk kuliah, Buk. Nanti kalau izin tanpa sebab, jatuhnya dihitung tidak masuk kelas dan kena kompensasi. Nanti dia harus bayar."
Bu Ghina mengangguk paham dan tidak bertanya lagi setelahnya—benar-benar membuat semua orang di sana lega.
'Terima kasih, Vi.'
Sekiranya itu yang bisa Silvi tangkap dari tatapan teduh Kirana dan juga sang kakak. Dan tentu saja Silvi balas dengan senyuman yang begitu lebar. Dia senang sekali bisa bermanfaat untuk orang banyak.