Semua orang masih setia menunggu keputusan Anggi bagaimana karena perempuan itu malah menolak pinangan Pak Damar di saat beberapa hari terakhir, selalu hal itu yang Anggi kemukakan bahwasannya, dia ingin sekali menikah dengan Pak Damar.
Makhluk Tuhan yang bernama perempuan itu memang aneh. Pak Damar tidak habis pikir yang sebenarnya diinginkan oleh Anggi itu apa. Bukan ingin marah tepatnya, hanya saja, tidak tahukah kalau Anggi ini membuat anak orang tidak bisa tidur dan terus menangis.
“Anggi, bukannya ini yang kamu mau? Kenapa malah ditolak di saat Pak Damar meminang kamu sekarang?”
Pertanyaan Kirana yang begitu lembut ditujukan pada Anggi membuat gadis itu menghela napas berat. Kalau keadaannya tidak seperti ini, Anggi juga ingin sekali menikah dengan Pak Damar. Hanya saja, Anggi khawatir kalau keputusannya menerima Pak Damar sebagai suaminya hanya akan membuat lelaki itu susah nantinya. Anggi tidak ingin menjadi sebab kesedihan Pak Damar.
“Memang.” Kata Anggi menerawang jauh ke depan. “Tapi Na, setelah kupikir-pikir, apa permintaanku ini membuatnya senang? Maksudku, bagaimana kalau dia mencintai perempuan lain dan lamarannya hanya untuk membuat gadis sekarat ini senang? Bukankah itu hanya akan menyakiti kami nantinya?”
Kirana mencelos mendengar Anggi berkata demikian. Entah bagaimana ini seharusnya. Dia merelakan Pak Damar untuk Anggi, tapi Anggi malah tidak bersedia menerimanya. Sebenarnya, ini bukan masalah rela tidak rela, hanya saja. Kirana juga cukup sadar diri dirinya siapa sampai memimpikan Pak Damar sebagai kekasih—suaminya. Kirana sungguh masih sadar posisinya.
Kata orang, bermimpilah setinggi langit. Namun, untuk hal ini, Kirana hanya mengharapkan kebahagiaan Anggi dengan lelaki yang dicintainya. Kirana tahu kalau setiap manusia itu berhap bahagia. Hanya saja, untuk sekarang mungkin memang belum gilirannya dan Kirana akan sabar menunggu. Dia juga tidak kecewa sama sekali dengan takdir yang sudah Allah gariskan akan hidupnya. Lagipula, Kirana juga merasa bahagia sekarang, jadi apapun itu harus disyukuri. Mengeluhkan ketetapan Tuhan tidak akan membuat hati merasa lebih baik, yang ada terus merasa kurang.
“Anggi, dicoba saja dulu, kan? Atau paling ndak, tanyakan kepada Pak Damar secara langsung apa tujuannya ingin menikah dengan kamu. Kalau kamu sudah mendapatkan jawabannya, semua keputusan ditangan kamu. Tapi Nggi, dengarkan Pak Damar dulu, ya. Kamu pasti tahu Pak Damar adalah sosok yang cerdas. Beliau ndak mungkin asal pilih pendamping hidup.”
Melihat bagaimana Kirana tersenyum tulus ke arahnya seolh-olah gadis itu mengatakan bahwa Anggi yang terbaik, Anggi tidak mampu menyembunyikan senyuman tulusnya yang iringi dengan anggukan bahwasannya dia setuju untuk berbicara dengan Pak Damar lagi. Semuanya belum terlambat. Pak Damar tidak pergi, beliau hanya menunggu di luar dengan keluarganya.
“Aku panggilkan Pak Damar, ya?” dengan keceriaan yang tercetak jelas di wajah, Kirana langsung keluar untuk memberitahukan kabar kepada Pak Damar bahwa Anggi bersedia bericara dengan beliau kembali setelah tadi Anggi menangis tersedu-sedu karena merasa tidak pantas untuk menjadi pendamping siapapun karena Anggi sudah berpikir bahwa sakitnya tidak akan sembuh.
“Pak Damar, Anggi ingin berbicara dengan Bapak.”
Pak Damar yang semula diam termenung di tempat duduknya tidak melihat ke arah Kirana sama sekali. Dalam hati dia berbicara, “niat benar kamu melakukan semua ini, Na.”
“Pak Damar, ditunggu Anggi.” Ulang Kirana sekali lagi karena merasa Pak Damar tidak mendengarkannya padahal kebenarannya, Pak Damar yang paling mendengar perkataan Kirana.
Usai menagmbil napas, Pak Damar langsung meninggalkan semua orang dan masuk ke dalam ruangan Anggi seorang diri. Jendela kaca besar yang menjadi batas membuat semua orang yang ada di luar bisa melihat semua yang Pak Damar dan Anggi kerjakan. Hanya saja, mereka tidak akan bisa mendengar apa yang mereka bicarakan.
Kirana yang menunggu di luar hanya berdiri di samping ibunya, dia hanya tersenyum melihat Pak Damar yang begitu baik hati. Allah pasti membalas niat baiknya.
Di sisi lain, Silvi yang sudah tahu kebenarannya siapa yang kakak pertamanya itu cintai, hanya bisa memandang Kirana nanar dalam diam. Di saat perempuan itu bisa menangis sejadi-jadinya, Kirana malah memilih tersenyum—enggan menunjukkan kesedihannya di depan semua orang. Sampai, orang-orang pun berpikir bahwasannya Kirana turut bahagia tanpa ada kesedihan sama sekali. Padahal jauh di lubuk hatinya yang paling dalam, Kirana merasa tak pantas tersakiti di saat tak ada hubungan apa-apa antara dirinya dengan Pak Damar. Jadi, untuk apa Kirana harus bersedih. Kalaupun Kirana bersedih, perempuan itu tidak akan menunjukkannya di depan siapapun. Cukup Allah yang mengetahui tangisannya.
Saat Pak Damar masuk, Anggi sudah menyiapkan berbagai pertanyaan untuk pak Damar. Dia juga harus meyakinkan dirinya sendiri bahwasannya keputusannya jika memang menerima Pak Damar adalah sudah benar.
“Anggi?” panggil Pak Damar yang sudah duduk di samping Anggi yang tengah duduk selonjoran. “Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Anggi tersenyum menanggapi pertanyaan Pak Damar yang langsung pada tujuannya. Anggi suka sekali dengan lelaki seperti Pak Damar. Namun sekali lagi Anggi berpikir, apa rasa sukanya, rasa cintanya ini mampu atau paling tidak cukup untuk membuat Pak Damar bahagia.
“Apakah Mas tidak sedang mencintai perempuan lain? Maksudku, aku tidak tahu dan asal meminta menikah waktu itu. Aku hanya takut kalau Mas terpaksa melamar karena sekadar kasihan, bukan didasarkan karena cinta.”
Pak Damar tersenyum tipis, beliau menatap kening Anggi. “Apa itu penting untuk kamu ketahui?”
“Hu’um, sangat penting sekali. Aku tidak mau bahagia di atas penderitaan orang lain. Kalau memang ada yang Mas cintai, aku bisa membantu Mas untuk memperkenalkan ke orang tua. Orang yang Mas cintai pasti gadis yang begitu beruntung.”
“Saya sangat mencintai adik terkecil saya, Silvi. Saya sangat mencintainya.”
“Hm?” Anggi malah bingung. “Tapi, bukankah itu sudah suatu hal yang pasti ketika anggota keluarga saling mencintai?”
“Ya kamu benar.” Kata Pak Damar. “Saya sangat mencintai Silvi dan mama saya.”
Secara tidak langsung, Pak Damar memang ingin mengelabuhi Anggi dengan tidak memberikan kebohongan karena Pak Damar sangat mencintai dua perempuan dalam hidupnya itu. Harapan Pak Damar, Anggi menganggap bahwa perkataannya ini menunjukkan bahwasannya dirinya memang tidak sedang mencintai siapa-siapa.
“Bapak betul tidak sedang mencintai siapa-siapa?”
Lagi-lagi tidak ada yang Pak Damar katakan kecuali senyum tulus di awal. “Saya sudah mengatakannya sama kamu. Percaya atau tidak, itu urusan kamu.”
Anggi kembali terdiam dan merenung, dia masih bingung harus percaya pada Pak Damar atau kata hatinya sendiri.
“Anggi?” panggil Pak Damar lagi, begitu lembut hingga membuat perempuan itu bersedia melihat ke arah Pak Damar lagi. “Saya memang bukan orang baik, saya mungkin juga tidak seperti ayah dan kakak laki-laki kamu yang begitu sayang dengan kamu karena kita baru mengenal. Tapi, izinkan saya mengenal kamu lebih dalam. Biar saya tahu, siapa itu Anggi sebenarnya. Karena itu, saya bertanya sekali lagi dan tidak akan saya ulang kembali,”
Hening, benar-benar hening. Anggi hanya terdiam menunggu Pak Damar hendak mengatakan apa. Sampai akhirnya, lelaki itu memulai juga kalimatnya.
“Bersediakah kamu menikah dengan saya?”
Anggi mengerjap dengan bibir terbuka tapi tidak ada satu katapun yang keluar dari mulutnya. Sampai entah bagaimana, Kirana yang semula menjauh dari semua orang langsung berjalan mendekat ke arah jendela. Dia mengangguk di sana dengan senyuman yang begitu tulus yang membuat Anggi tanpa sadar menangis dan perlahan mengangguk ke arah Pak Damar. “Aku… aku bersedia, Mas.”
Pak Damar menarik napas cukup panjang saat mendapati dentuman dahsyat di ulu hatinya. Dia bisa melihat Kirana dari pantulan kaca di sana. Dia juga tahu Kirana yang meyakinkan Anggi.
‘Akan saya penuhi janji saya sama kamu, Kirana.’
"Terima kasih, Anggi."
Anggi tersenyum senang sampai tanpa sadar air matanya mengalir. "Saya tidak bisa menghapus air mata kamu, kita belum sah." Bercandanya.
Gadis itu sekali lagi hanya tertawa kemudian Pak Damar pamit sebentar karena dia akan mengabarkan kepada keluarganya.
Begitu Pak Damar keluar, menatap keluarganya dengan wajah datar yang tak pernah berubah, beliau berkata. "Aku diterima, Ma."
Ada jerit yang tanpa sadar ibunya Anggi keluarkan saking senangnya. Sementara Kirana turut bahagia dan memilih untuk memeluk ibunya, menyembunyikan wajahnya di balik tubuh ibunya itu. Dan Silvi, gadi yang sudah menganggap Kirana sebagai kakak kandungnya ini sendiri langsung memeluk Kirana dari belakang sehingga mereka bertiga berpelukan.
"Aku nggak akan pernah lupain Mbak Kirana. Mbak Kirana tetap kakak perempuanku. Yang tegar ya, Mbak."
Pak Damar yang di tempatnya berdiri melihat adiknya begitu mencintai Kirana hanya bisa menunduk dalam dengan senyum tipis yang harus tetap dirinya tunjukkan di depan orang.
Lihatlah, bahwasannya berkorban itu tidak mudah seperti yang dikatakan. Banyak hati yang terluka pun tersakiti dalam hubungan ini demi membuat satu orang bahagia. Namun masing-masing Kirana dan Pak Damar percaya bahwa niat mereka murni baik, pasti Allah akan memberikan yang terbaik juga. Hanya kepada-Nya mereka bergantung. Sekarang, esok, dan nanti,