Ketika lamaran Pak Damar diterima, pastilah semua orang bahagia meskipun orang yang tahu kenyataannya seperti apa hanya bisa menangis dalam diam—menangis dalam hati. Pak Roggo—ayah Pak Damar yang memang belum tahu kalau putra sulungnya mencintai perempuan lain sebenarnya bisa merasakan, hanya saja memilih bungkam karena dia sekali lagi juga tidak bisa mengubah keputusan meskipun itu tentang anaknya sendiri. Karena pada dasarnya, Pak Damar sendiri yang membuat keputusan tanpa paksaan dari siapapun. Pak Damar secara sadar memang ingin memperistri Anggi yang kalau dibandingkan dengan umurnya, memang beda 12 tahun. Seandainya kalau dengan Kirana, malah 13 tahun.
Tangis haru yang pecah di luar ruangan Anggi masih berjalan hingga sekarang. Rasanya, sedih bercampur haru. Sedih karena putrinya sakit dan haru karena ada pemuda baik hati yang tetap ikhlas menerima Anggi apa adanya.
“Mbak Kirana, Mbak Kirana kuat.” Silvi berbisik tanpa mau melihat dimana Kirana berada. Dia hanya ingin memeluk. Sementara Bu Ghina juga hanya bisa menabahkan putrinya tanpa ada suara yang keluar.
“Nah, Ghinah.” Mamanya Anggi memanggil ibunya Kirana sehingga beliau lepaskan dekapannya pada Kirana dan ganti berpelukan dengan wanita paruh baya yang hatinya tengah lega itu. “Anak kita mau menikah, Nah. Anggi akan ada yang jaga.” Kata beliau penuh haru.
“Iya, Mbak. Anggi ndak perlu takut apapun lagi. Sudah akan ada yang menjaga.”
Pak Roggo yang memang tidak jauh dan lingkup di sekitarnya memang orang-orang itu saja membuatnya jelas mendengar setelah tadi Kirana yang dipanggil oleh putrinya sendiri Silvi, sekarang Ghinah—Ghina yang suaranya medok khas orang Jawa dipanggil oleh sahabat istrinya sendiri yang memang asli orang Yogjakarta.
Tanpa sadar, beliau langsung mengambil tindakan untuk bertanya. “Sebentar, tadi yang dipanggil Kirana dan Ghinah orangnya yang mana, ya?”
Karena perkataan Pak Ronggo barusan, semua orang jelas langsung memfokuskan diri kepada Pak Ronggo yang wajahnya serius sekali, termasuk Pak Damar karena dia sadar raut wajah ayahnya ini serius sekali, apalagi wajah mamanya langsung memucat seperti baru melihat sesuatu saja.
“Orangnya yang mana?” tanya Pak Ronggo lagi.
“Ini Mbak Kirana, Pah.” Silvi mengenalkan Kirana, begitupun dengan ibunya dia juga yang mengenalkan. “Ini Ibuk. Bu Ghina, ibunya Mbak Kirana. Masih inget Mbak Kirana kan, yang temenin aku dulu waktu ke Bandung?”
Pak Roggo langsung melihat ke arah istrinya dengan wajah syok berat, kemudian melihat ke arah Bu Ghina yang terlihat bingung. “Saya ingin berbicara dengan Bu Ghina dan Kirana, apakah bersedia?”
Meskipun bingung, Bu Ghina mengiyakan dan seluruh anaknya Pak Ronggo diajak semua, yang ditinggalkan di depan ruangan Anggi memang keluarga besar Anggi sendiri.
Mereka berjalan tidak jauh, hanya berhenti di kursi tunggu yang kosong. Kursi yang hanya lima itu ditempti oleh Bu Tari, Pak Ronggo, Bu Ghina dan Kirana berbataskan satu kursi yang kosong di tengah. Sementara keempat anak Pak Ronggo hanya berdiri memperhatikan.
“Maaf, ini ada apa ya, Pak?” Bu Ghina bertanya agak penasaran tapi juga tidak enak hati.
“Apa benar nama ibu ini Bu Ghina dan putri ibu bernama Kirana? Asalnya dari Yogjakarta?”
“Iya, betul, Pak.” Jawab Bu Ghina apa adanya karena memang seperti itu kenyataannya.
“Maaf, kalau boleh tau, nama suami Ibuk siapa dan sekarang ada dimana, ya?”
Wajah Bu Ghina seperti orang yang menahan tangis akan kerinduan juga akan senyum yang dipaksakan karena tidak ingin terlihat menyedihkan di depan siapapun. Sementara Kirana hanya bisa diam, memangnya Kirana bisa berbuat apa?
“Anu, Pak. Bapaknya Kirana bekerja di kota waktu Kirana umur 2 tahun, tapi sampai sekarang tidak pulang-pulang,”
Kalian tahu, Bu Ghina masih mampu tersenyum di depan semua orang ketika mengatakan hal menyakitkan itu.
“Nggak coba dicari, Buk?”
“Sudah tanya Parjo, temennya yang berangkat bareng, tapi katanya dulu masih kerja kok gitu. Saya sendiri ndak punya ongkos buat nyusul.”
“Kalau boleh tau, namanya siapa ya, Bu?”
“Fajar, Pak.”
Pak Ronggo langsung meremas tangan istrinya, matanya memanas tapi tidak mengeluarkan apa-apa. “Ma?”
Bu Tari hanya bisa menguatkan suaminya itu. “Katakan saja, Pa.”
Tidak ada yang mampu Pak Ronggo katakan, kecuali tangannya bergerak mengeluarkan gawai dari dalam sakunya. Kemudian tanpa merasa ada beban, Pak Ronggo langsung mengeluarkannya dan menunjukkannya kepada Bu Ghina.
“Ya Allah, Na. Ini Bapak kamu. Yang gendong dua anak itu, Na. Itu Bapak kamu, Na…” Kaki Bu Ghina bergerak menghentak ke lantai, seperti mengeluarkan kesahnya yang tertahan selama ini. Baliau ingin menunjukkan wajah suaminya kepada Kirana yang seumur hidup belum tahu rupa wajah ayahnya seperti apa.
Kirana menatap ibunya dengan seluruh tubuh yang gemetaran. “Bapakku ya, Buk?”
“Iya, itu Bapak kamu.”
Tanpa tending aling-aling, Kirana langsung menajamkan penglihatannya. Dia menatap penuh potret ayahnya yang selama ini dirinya rindukan. Kemudian dia bawa ke dadanya, dipeluk begitu lirih dengan menyebut namanya. “Bapak…”
Silvi yang tidak tega ikut memeluk Kirana dari samping. Di foto itu, terlihat Pak Fajar tengah menggendong dua anak yang tak lain adalah Silvi dan Dika. Sementara Pak Damar berdiri di depannya. Kalau Pak Fajar, Pak Damar jelas ingat sekali. Beliau bahkan menangis ketika Pak Fajar berpulang. Waktu Pak Fajar tidak ada, umur Pak Damar sudah 11 tahun. Jadi Pak Damar masih ingat betul dengan Pak Fajar. Orang sampai sekarangpun, keluarga mereka tidak pernah absen ziarah ke makam beliau.
“Terus Mas Pajarnya dimana ya, Pak? Ini anaknya mau ketemu, belum pernah lihat wajah bapaknya.” Bu Ghina menghapus air mata menggunakan kerudung yang tengah dipakai. Sementara Kirana masih mendekap gawai milik Pak Ronggo dengan tangis yang terdengar pilu sekali.
Pak Ronggo menelan ludah susah payah, beliau tidak mampu untuk menjawab. Apalagi melihat Kirana yang menangis seperti itu karena baru pertama kali melihat wajah ayahnya. Ayah yang selama ini begitu dirinya rindukan, tapi tak pernah tahu dimana keberadaannya dan sekarang seperti dimudahkan untuk bertemu dengan ayahnya.
“Orangnya dimana ya, Pak?” Bu Ghina bertanya sekali lagi. Bagaimanapun, mereka belum bercerai dan tidak pernah bertengkar yang tidak-tidak. Bu Ghina juga sangat mencintai suaminya itu.
Di sisi lain, Pak Ronggo dan semua anggota besar jelas tidak tega mengatakan yang sebenarnya kalau Pak Fajar ini sudah meninggal beberapa tahun yang lalu karena sakit.
“Tidak apa-apa, Pak. Katakan saja, biar anaknya bisa bertemu.”
Melihat ketabahan di wajah Bu Ghina, Bu Tari yang semula duduk di pinggir, langsung ganti posisi di depan suaminya yang tentu saja berhadapan langsung dengan Bu Ghina. Bu Tari langsung memeluk Bu Ghina tanpa izin terlebih dahulu. “Yang sabar ya, Bu. Yang sabar.”
Bu Ghina tidak membalas karena beliau seperti kehilangan fungsi logikanya selama beberapa waktu sampai akhirnya, terucap sudah apa yang mengganjal di ulu hati Bu Tari.
“Pak Fajar sudah meninggal 11 tahun yang lalu, Buk.”
Seperti dihantam kenyataan yang begitu menyakitkan, tanpa mampu mengatakan sepatah kata, Bu Ghina Cuma bisa menangis dalam diam. Dia seperti tuli tapi mendengar. Juga seperti buta tapi melihat. Sementara Kirana sendiri, gadis itu langsung tidak sadarkan diri yang membuat Silvi memekik, Pak Damar sampai berjalan cepat ke sisi Silvi kalau-kalau butuh bantuan.
“Mbak Kirana?!”
Bu Ghina melepas pelukannya dari Bu tari dengan gerakan kaku layaknya robot, kemudian menoleh ke arah Kirana yang ditahan oleh Silvi. Tangan Bu Ghina terulur ke arah putrinya itu, menariknya dalam pelukan. “Na, bangun, Nak. Ndak papa, masih ada ibuk. Bangun, Nak.”
Silvi ganti berjalan cepat ke arah mamanya dan ikut menangis saat memeluk mamanya. Dia tidak menyangka kalau keluarga mereka ternyata berhubungan. Memang waktu itu Silvi baru saja lahir, tapi Silvi punya banyak foto Pak Fajar ini karena memang dulu mereka tinggal di satu tempat dan sudah seperti saudara sendiri karena kebaikan Pak Fajar. Semoga Allah membalas semua kebaikannya.
Silvi tidak bisa membayngkan kalau menjadi Kirana. Kirana yang tidak pernah melihat ayahnya sendiri, bahkan foto saja Kirana tidak memilikinya. Sementara Silvi yang bisa dibilang bukan siapa-siapa kalau keluarganya sedang mengenang Pak Fajar, mereka dengan bebas memandang Pak Fajar.
Sementara Pak Damar, tangan beliau terkepal kuat. Dia tidak sadar kalau yang diceritakan oleh Pak Fajar selama ini itu Kirana. Ketika Pak Fajar membantu untuk mengasuh adek-adeknya, Pak Fajar selalu bercerita kalau beliau punya anak perempuan di kampung. Dan ternyata, setelah bertahun-tahun lamanya, Pak Damar dipertemukan secara langsung dengan putri pengasuhnya itu. Bahkan Pak Damar ingat janjinya dulu karena Pak Fajar sangat menyayangi beliau seperti putranya sendiri, Pak Damar waktu besar ingin menjaga putrinya Pak Fajar. Namun sekarang, apalah yang bisa Pak Damar lakukan ketika kenangan tinggalah kenangan.
Pak Fajar sudah melamar Anggi, beliau tidak bisa melakukan apapun sekarang. Karena bisa dibilang pun, ini semua juga karena Kirana. Karena ketulusan Kirana ingin melihat sahabatnya bahagia meskipun Kirana sendiri yang harus menanggung nestapanya. Begitupun Pak Damar sekarang yang ingin membawa Kirana dalam rengkuhannya. Namun Pak Damar sadar, beliau tidak bisa melakukannya demi menjada martabat Kirana sebagai perempuan yang terhormat. Baliau tidak akan membiarkan cintanya menghancurkan kesucian Kirana hanya karena napsunya. Cinta Pak Damar kepada Kirana tidak secetek itu. Beliau sangat mencintai Kirana. Dan sekarang, kian membesar perasaannya di saat Pak Damar sendiri sudah melemar anak gadis orang lain.
'Ya Allah, apa yang harus aku lakukan sebagai hamba yang lemah ini'
Pak Damar tidak mampu melihat Kirana seperti ini, tapi sayangnya, beliau juga tidak bisa apa-apa. Beliau hanya bisa mendoakan dalam diam. Dalam diamnya menangis.