6. Persiapan ke Depok

1561 Kata
Pagi buta, Bu Ghina terbangun. Beliau segera membangunkan Kirana juga untuk melaksanakan salat Subuh. Kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan bagi seluruh umat Islam dimanapun berada, mengerjakan salat wajib 5 waktu. Seperti pagi pada biasanya, Bu Ghina bersih-bersih dan masak untuk sarapan mereka nanti. Kirana yang sebenarnya pandai memasak hanya membantu ibunya seperti yang diperintahkan saja. “Bawa bekal kan, Na? Nanti kalau sampai kontrakan tidak perlu keluar untuk membeli makan lagi. Nanti lelah. Ini bawa bekal saja.” Bu Ghina berujar pelan sambil mengulek sambel kesukaan Kirana. “Nggih, Buk. Aku suka malas kalau pergi ke warung untuk beli makanan.” “Lhoh kenapa?” pembicaraan mereka diiringi oleh suara cobek yang bertumbukan dengan ulek-uleknya, digunakan untuk menghaluskan cabai—untuk membuat sambal. “Banyak anak jalanan, Buk. Suka suit-suit. Aku suka tidak nyaman.” Kata Kirana bercerita. Mendengar itu, Bu Ghina menghentikan aktivitasnya. Dia melihat ke arah putrinya serius. “Jangan keluar malam to, Nduk. Kalau mau beli lauk, kan bisa waktu cerah, pas ramai orang. Jadi ndak khawatir kalau diganggu." “Nggih, Buk. Itu posisinya juga ramai orang, tapi tetap disiuli. Padahal aku kan pakai kerudung, pakai pakaian tertutup, tetap saja digoda.” Kalau sudah membahas seperti ini, Kirana suka geregetan sendiri. Dia memang sering digoda orang. Alhamdulillah, Allah selalu melindunginya. Bu Ghina hanya geleng-geleng. “Kalau pergi-pergi sama temen yo, jangan sendiri. Kita memang harus berpikiran baik dengan sesama orang lain Na, tapi tetap harus hati-hati. Ibuk kadang suka miris kalau mendengar berita p*********n yang marak di kota-kota. Ibuk langsung keinget kamu. Anak ibuk di sana bagaimana, ya?. Semoga tidak ada yang berniat jahat sama kamu.” Kirana mengaminkan doa ibunya sejenak sebelum menjawab, “Nggih, Buk. Nanti selalu ajak teman-teman, biar ramai. Tapi terkadang juga di pos ronda ada bapak-bapak yang sudah sepuh, ikut berjaga. Kalau ada pemuda yang iseng begitu, nanti diusir sama bapak-bapaknya, jadi aman, Buk. Jangan khawatir.” Bu Ghina mengangguk mendengarkan. "Ibuk percaya sama kamu kalau bisa jaga diri. Yang penting hati-hati. Jaga batasan sama lawan jenis ya, Nduk. Ibuk tidak suka kalau anak Ibuk pergi dengan lelaki yang bukan mahramnya. Walaupun dengan teman, tidak boleh. Diusahakan dengan sesama perempuan saja." Nasihatnya. Bagi Kirana, nasihat seperti bukan lah suatu bentuk pengekangan. Justru dia senang. Sedari dulu, Kirana memang menjaga batasan sekali dengan seorang lelaki. Bukannya sombong atau merasa apa-apa bisa sendiri tanpa bantuan, hanya saja, Kirana menjaga mertabatnya sebagai seorang perempuan yang hakikatnya suci, jangan sampai terkotori oleh dirinya sendiri yang berhubungan kelewat batas. Karena memang dalam agamanya, hal ini sangat ditekankan. Mungkin bagi sebagian orang, ini terlalu berlebihan. Namun bagi kirana, itu adalah sebuah keharusan. Berhubungan lawan jenis yang bukan mahram jelas dilarang. Karenanya, Kirana tidak peduli meski terkadang ada seorang lelaki mengajaknya berkenalan. Kirana tidak ingin merusak kepercayaan ibunya. Kirana juga makin tidak mau lagi merusak kepercayaan Tuhan yang menjadi tempatnya bergantung. Kirana tidak mau melakukan itu semua hanya karena seorang lelaki. Dia adalah seorang gadis yang berprinsip begitu teguh. “Siap, Buk. Akan aku ingat selalu pesan Ibuk. Doakan Kirana ya, semoga selalu dilindungi dari orang-orang yang berniat jahat.” “Iya, ya sudah. Persiapan kamu sudah apa belum? Dibereskan dulu, nanti kalau ibuk sudah selesai masaknya, ibuk panggil kamu untuk sarapan.” Kata Bu Ghina kemudian. “Nggih, Buk.” Kirana yang memang kurang sedikit beberes langsung kembali ke kamar, menyiapkan persiapannya yang belum dimasukkan. Takutnya nanti tertinggal. Kalau ada yang penting tertinggal, Kirana tidak enak dengan Bu Ghina jika meminta tolong untuk memaketkannya sampai Depok. Bisa kerepotan ibunya. Dulu pernah sekali dan Kirana merasa sangat tidak enak dengan ibunya. Meskipun bu Ghina tidak merasa disusahkan, tapi Kirana sadar kalau hal itu tentu saja menguras waktu ibunya untuk bolak-balik mengirim barangnya yang ketinggalan di kantor ekspedisi. Terkadang, tahu-tahu Kirana terkejut mendapat paket keperluan makan dan lainnya dari rumah. Ibunya memang pengertian sekali hingga tanpa diminta selalu menyediakan hingga Kirana tidak pernah merasa kekurangan di saat orang-orang menganggapnya begitu kekurangan. Mereka memang tidak akan pernah mengerti kalau tidak merasakannya sendiri. Bertepatan selesai berberes, Kirana dipanggil untuk sarapan. Dia membantu membawakan bakul nasi dan kuah ke meja makan usang di rumahnya, kemudian ibu yang membawa lauk beserta sambel dalam cobek. Mereka duduk bersama-sama, kemudian siap-siap makan. Meskipun lauknya hanya ikan bandeng yang digoreng dengan jangan bening atau sayur bening dan tambahan sambel terasi, Kirana sudah berbinar melihatnya. Kalau di kota sana, Kirana selalu merindukan masakan rumah. Hari ini dan kemarin dia bisa menikmati lagi. Kalau liburan akhir semester nanti, Kirana bisa berbulan-bulan di rumah. Kirana tidak sabar liburan. Meskipun di sana Kirana bisa melihat gedung-gedung kukuh berdiri, mobil bagus berlalu-lalang setiap detiknya, bagi Kirana tidak ada pemandangan yang paling indah kecuali senyuman ibunya. Karena Kirana tahu, ibunya adalah surganya. Ibu adalah surga bagi setiap anak. “Gimana, Na? Kurang asin ndak sambelnya? Apa malah kasinan?” Bu Ghina bertanya, memastikan saat Kirana sudah menelan satu suapan. Kirana langsung menggeleng. Dia menatap ibunya antusias. “Enak, Buk. Pas. Ndak kasinan.” Bu Ghina tersenyum senang mendengar jawaban antusias putrinya. “Ya sudah, makan. Nanti kita beli jajan di pasar, buat bekal kamu.” Perempuan itu mengiyakan saja karena memang selalu seperti itu kalau Kirana pulang ke rumah, membawa jajan yang nanti untuk cemilan di sana. Di kota bukannya tidak ada. Tentu saja ada. Malah banyak. Hanya saja, di rumahnya harganya lebih murah. Jadi terkadang Kirana membawa sabun cuci, cemilan, kopi-kopi dari rumah. Karena harganya memang berbeda jauh. Kembali makan dengan khidmat, Kirana menambah nasinya karena masakan ibunya memang enak sekali. Ya, dari dulu Kirana belum pernah menemukan masakan seenak ibunya. Seandainya Kirana sudah bekerja dan memiliki rejeki berlebih, Kirana ingin memodali ibunya untuk mendirikan warung makan. Karena biasanya warga sekitar juga meminta bantuan Bu Ghina untuk memasakkan yang nantinya akan mendapat upah atau bayaran saat acaranya selesai. Kirana membayangkan, kalau ibunya membuat catering atau hantaran, pasti banyak yang menggunakn jasa ibunya karena masakan Bu Ghina patut diacungi jempol. Hanya saja, Kirana belum memiliki uangnya. Kirana juga berpikir tentang kesehatan ibunya. Jika bekerja seperti itu apakah tidak kelelahan. Tapi Kirana juga sudah memikirkan tentang siapa-siapa yang akan membantu ibunya. Sehingga, Bu Ghina tidak akan kelelahan karena punya anak buah sendiri. Sungguh senangnya Kirana bisa bermipi seperti ini. Suatu hari nanti, semiga Allah mengizinkan harapannnya dikabulkan. Kalaupun tidak dikabulkan, Kirana percaya kalau rencana Allah lebih undah dari yang dirinya rencankan. Karena sebaik-baiknya rencana manusia, rencana Allah lah yang terbaik untuk hambanya. Sebagai hamba, Kirana hanya bisa menerima dengan lapang d**a semua ketetapan yang sudah Allah gariskan. Karena sekali lagi, hanya Allah yang Maha Mengetahui apa yang baik dan tidak baik untuk hambanya. "Tambah lagi, Nduk. Besok kalau kamu pulang liburan, ibu masakkan bandeng bakar sama sambel seperti ini lagi. Nanti ibuk juga buatkan cah kangkung kesukaan kamu." "Nggih, Buk. Ibuk juga tambah, biar makin berisi tubuhnya." Ibu dan anak itu terlihat antusias sekali dengan makanan sederhana tapi penuh makna yang ada di hadapannya masing-masing. Bu Ghina tertawa. "Pawaannya ibuk memang seperti ini, Na. Makan banyak ya tidak besar-besar. Kalau kamu nurun sama Bapak postur tubuhnya, tinggi besar, tapi tidak lebar." Kirana jadi ikut tertawa mendengar ibunya mengatakan tinggi besar tapi tidak lebar. "Langsing gitu, Buk." Maksudnya membenarkan, kalau tidak salah. "Lah iya itu." Wanita paruh baya ini tersenyum begitu lebar. "Kamu tumbuhya ke atas. Lah ibuk sudah tidak tumbuh lagi. Tumbuhnya seperti ini seperti ini saja. Ndak ke atas, ndak ke samping. Malah semakin tua semakin mengecil tubuhnya." "Makanya ibuk jangan capek-capek kerjanya." Kirana menyahut, kembali mengatakan pesan kepada ibunya. "Kan kata ibuk rejeki sudah ada yang mengatur. Jadi tidak perlu khawatir." "Iya, Nduk. Ndak perlu khawatir." Bu Ghina mengangguk mantap, mengiyakan perkataan putrinya. Sungguh sederhana sekali kebersamaan mereka. Mereka tidak perlu sesuatu yang mahal sehingga bisa membuat mereka saling melempar tawa kebahagiaan. Begitu mereka selesai makan, Kirana yang mencuci piring. Rumahnya yang masih berupaya tanah terkadang membuatnya menghela nafas pelan saat musim hujan datang. Pernah sekali saking beceknya, dia jatuh terpeleset. Dan hebatnya ibunya yang melihat, bukannya dikasihani, Kirana malah ditertawakan. Meski begitu, Kirana tidak masalah dan merasa lucu juga karena dirinya yang memang dasarnya kurang hati-hati "Ayo, Nduk. Beli jajan kiloan dulu." Bu Ghina memanggil agak kencang dari arah luar saat Kirana masih menata piring di rak kayu dalam dapurnya yang tidak terlalu besar. "Nggih, sebentar, Buk. Mau pakai kerudung dulu." Sambil melihat kaca besar, Kirana memperhatikan ciput yang dirinya gunakan, apakah menutup anak rambutnya dengan sempurna atau tidak. Karena kalau rambutnya masih terlihat, sama saja membuka auratnya dan Kirana jelas tidak mau kalau ada yang sampai melihatnya. Saat tidak mendapati rambutnya yang keluar, jilbab segiempatnya juga sudah menjulur menutupi d**a, Kirana langsung keluar menghampiri ibunya yang lebih dulu di beranda. "Jajan kaki, Buk?" Kirana bertanya demikian karena memang sadar diri kalau mereka tidak memiliki kendaraan bermotor. Mereka hanya memiliki satu sepeda tua yang untungnya masih bagus karena terus dirawat. Biasanya digunakan oleh Bu Ghina saat berpergian. Jangan salah. Zaman sekarang tidak selamanya selalu memakai kendaraan bermotor. Justru, orang-orang naik sepeda untuk berolahraga. Itulah sederhana yang menyehatkan. Bagi orang yang sudah paham kehidupan, pasti akan mengerti akan pentingnya perbedaan. Mereka tidak akan mempermasalahkan materi seseorang untuk menilai kepribadiannya. Karena justru materi itu sendiri yang terkadang merubah sifat manusia yang dulunya rendah hati menjadi begitu sombong saat sudah menjadi orang kaya. Karena itu Kirana bersyukur sekali dibesarkan dalam keluarga yang menurutnya cukup karena Kirana tidak pernah sekalipun merasakan kekurangan karena kerja keras ibunya membanting tulang untuk menghidupi dirinya yang sangat Bu Ghina cintai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN