Seperti yang sudah-sudah, pada akhirnya yang namanya pertemuan pasti ada perpisahan. Setiap kali Kirana ingin meninggalkan rumah, ada rasa berat sekali dalam hatinya. Dia selalu tidak tega jika harus meninggalkan Bu Ghina. Dia ingin berlama-lama dengan ibunya saja. Ingin menemani ibunya di masa-masa tua. Namun—ibunya tidak membiarkan itu semua. Bu Ghina ingin Kirana terbang tinggi melihat dunia tapi harus tetap tahu batasannya. Karena sesungguhnya, manusia hanya aktor Allah. Allah lah yang menjadi sutradaranya. Jadi, apapun yang terjadi pasti memang untuk kebaikan. Mereka selalu percaya akan hal itu. Bisa jadi, apa dianggap buruk, justru itu yang terbaik menurut Allah.
Semua yang ditakdirkan oleh Allah pastilah yang terbaik. Kalau ada yang berpikiran takdir buruk itu memang ada, maka bukannya takdir itu yang buruk—tapi cara pandang manusianya sendiri yang menilainya takdir buruk. Padahal, semua yang terjadi memang untuk kebaikan. Tuhan tidak mungkin mendzolimi umatnya sendiri. Merugi lah bagi orang-orang yang berburuk sangka karena kita diperintahkan untuk senantiasa berprasangka baik.
"Nduk, ayo. Sudah apa belum?" Bu Ghina sudah heboh di luar, menaiki motor butut yang tentu saja dari pinjam Mbah Darti. Meskipun butut, tapi sering dibawa oleh Bu Ghina kemana-mana. Intinya, yang penting masih bisa digunakan daripada tidak bisa digunakan sama sekali.
Kirana yang memang selalu berat jika ingin pergi melihat rumahnya ini baik-baik. Dia akan merindukan rumahnya ini meski saat hujan, bocor dimana-mana. Atau saat musim kemarau, panasnya bukan main di siang hari. Dan tentu masih banyak lainnya yang tidak bisa Kirana ceritakan satu per satu di waktu ini. Namun Kirana tidak bisa membuat ibunya menunggu lama. Dia harus segera pergi. Dan nanti, dia akan kembali lagi ke sini, saat liburan semesteran tiba. Itu yang selalu Kirana tunggu-tunggu. Ketika libur telah tiba sehingga dia bisa pulang ke desanya, melepas rindu dengan sang ibu tercinta.
Menenteng tas kain lumayan besar dan menggendong tas besar pula di punggungnya, Kirana keluar. Dia tersenyum melihat ibunya sudah naik di atas motor, siap mengantarkannya pergi seperti yang lalu-lalu.
"Ibuk?" Kirana memanggil pelan.
"Hayoo to Nduk, ketinggalan kereta gimana? Naik bus ndak sampai-sampai." Kata Bu Ghina agak geregetan karena Kirana tidak keluar-keluar sedari tadi. Begitu anaknya kelihatan, langsung ditegur juga saking gemasnya.
Kirana hanya tertawa. "Lah jam sembilan kok, Buk. Ini masih jam 8. Nunggu lama nanti."
"Wes, pokoknya pergi sekarang. Kan bisa menunggu di sana. Kalau ketinggalan kereta yo malah ndak lucu. Besok sudah Senin, kamu sekolah. Kalau ndak masuk, dimarahi pak dosen bagaimana?"
"Iyaa, Buk. Maaf-maaf." Perempuan muda ini berjalan menghampiri ibunya kemudian memberikan tas tenteng lainnya di depan, sementara Kirana dengan tas punggungnya di belakang.
"Nanti tasnya ditaruh depan. Uangnya di dalem, to? Hati-hati." Kata Bu Ghina sebelum menyalakan motor dan pergi. Karena lokasi rumah jalan sebelah ada perbaikan, mereka melewati rumahnya Mbah Darti, sekalian Kirana mau pamit.
"Turun dulu, pamit sama Mbahmu."
Kirana turun. Kemudian datang ke rumah Mbak Darti, meminta restu mau kembali ke Depok dulu. "Assalamu'alaikum. Mbah, aku berangkat dulu, ya?"
"Wa'alaikumsalam. Kemari aku kasih uang jajan."
"Ndak usah Mbah, terima kasih. Nanti ndak bisa bawa saking banyaknya." Kirana berupaya menolak secara halus.
"Bawaan Kirana sudah banyak, Mbah." Bu Ghina ikut menyahut. "Ndak usah. Matur nuwun nggih, Mbah."
"Oh ya wes kalau begitu, tak tambahin saja uang sakunya."
Kirana menoleh ke belakang. Ingin tahu pendapat ibunya bagaimana. Dan karena ibunya mengangguk saja, makanya Kirana juga iya-iya saja. Terkadang dia malu kalau diberi uang saku orang. Kirana takut kalau itu semua bisa menyakiti hati ibunya tanpa dia sadari.
"Ini, buat jajan di sana ya. Jangan boros-boros tapi beli makanannya yang sehat, yang bergizi, biar sehat. Yo?" Kata Mbah Darti seraya mengulurkan pemberiannya dengan begitu tulus.
Ketika menerima uang yang diulurkan oleh Mbah Darti, Kirana langsung menggeleng begitu saja. Masalahnya, bukan apa-apa. Hanya saja uang itu banyak sekali. Sejumlah uang seratus ribu sepuluh buah. Menurut Kirana, satu juta itu banyak sekali. Sangat banyak sekali meski Kirana pernah menerima uang lebih dari satu juta saat mendapat bantuan pendidikan dari pemerintahan.
"Ndak papa, Nduk. Buat nyambung hidup. Wes, cepat berangkat. Nanti ketinggalan kereta. Sekolah yang pinter ya, Nduk. Angkat derajatnya ibukmu. Bahagiakan ibumu."
Kirana menunduk, jadi ingin menangis. "Terima kasih banyak nggih, Mbah. Semoga Mbah panjang umur. Dilindungi sama Gusti Allah."
"Ammiin, aamiin. Wes cepat berangkat."
Setelah mencium tangan Mbah Darti, Kirana baru kembali ke motor, menghampiri ibunya.
"Sudah siap, Na?"
"Buk, alhamdulillah, dikasih uang saku Mbah banyak sekali. Diberi satu juga, Buk." Kata Kirana antusias.
Bu Ghina tersenyum meskipun ada rona sedih dalam senyumannya. "Alhamdulillah. Dipakai untuk hal yang penting-penting yo. Jangan boros-boros. Digunakan seperlunya saja. Digunakan juga untuk membantu yang lain. Ingat, sebagian harta yang kita punya adalah milik saudara kita yang lain. Jangan pernah lupa, Na."
"Nggih, siap, Buk." Jawab Kirana bersemangat.
Bu Ghina lantas melanjukan motornya. Kirana tersenyum di balik masker yang dia gunakan karena dia memang tipe orang pemabuk. Yang sedikit mencium bau wangi ataupun busuk kepalanya langsung sakit dan mual ketika perjalanan.
Sepanjang jalan, dia menikmati hamparan sawah dan ladang orang yang mulai bersemi. Kirana pasti rindu pulang ke rumah. Untung ibunya sudah memilki telfon. Kirana sungguh bersyukur sekali. Nyatanya, tidak butuh kaya raya untuk menjadi bahagia. Kirana bisa berkumpul dengan ibunya meski hanya makan seadanya saja, sudah senang bukan main. Semoga ibunya ini panjang umur sehingga Kirana bisa meringankan masa tuanya meski Kirana tahu, sampai kapanpun, dia tidak akan pernah bisa membalas jasa ibu yang telah melahirkannya ini.
Di jalan yang cukup dilalui mobil ini, Kirana tersenyum melihat ibunya menyapa teman-temannya yang kebetulan di sawah. Kalau ibunya memang spesialis membatik, jadi kalau ke ladang seperti itu saat benar-benar diminta oleh tentangannya untuk membantu.
"Buk, Ibuk ndak pengen buka jasa masak?" Kirana bertanya, agak mendekat agar ibunya mendengar.
"Ya pengen to, Nduk. Itu kan cita-citanya ibuk. Ibuk pengen jadi apa yang namanya, jasa catering. Lah itu. Masakan ibuk katanya orang-orang enak."
Kirana tersenyum mendengar ibunya menyambung antusias tentang topik yang dirinya bawakan. "Kenapa ndak buka saja, Buk? Pakai uang yang satu juta dari Mbah Darti tadi?"
"Nanti-nanti kalau sampai stasiun, Na. Ibuk ndak dengar."
Baiklah. Kirana mengulas senyum kemudian menikmati pemandangan di kanan dan kirinya lagi. Ada yang masih hijau, atau yang sudah menguning. Kirana senang sekali. Apalagi udara sejuknya. Sungguh, tidak ada desa yang paling dirinya rindukan selain desanya sendiri. Karena pada hakikatnya memang di sini Kirana dilahirkan, dibesarkan, hingga tumbuh menjadi gadis yang pintar dan membanggakan bagi banyak orang.
Lama berjalan, sampai akhirnya mereka sampai di stasiun. Bu Ghina membawakan tas tenteng Kirana, mereka masuk bersama-sama menuju stasiun. Begitu sudah mengatakan tujuannya kemana dan sudah mendapatkan tiket, Bu Ghina menemani Kirana duduk di jejeran kursi tunggu yang tersedia.
"Tadi kamu mau bicara apa, Nduk? Ibuk tidak dengar." Bu Ghina kembali bertanya tentang hal yang sempat Kirana katakan tapi beliau tidak mendengar.
Kirana langsung meyakinkan dirinya sendiri, kemudian baru memandang ibunya. "Tadi kan Ibuk bilang pengen buka catering. Semisal ini," Kirana langsung memberikan uang satu juga itu kepada ibunya. "ini uangnya digunakan sama ibuk dulu, buat catering kecil-kecilan. Nanti kalau balik modal kan sudah dapat labanya, Buk."
"Ndak." Bu Ghina langsung menolak begitu saja. "Lhah wong kamu yang dikasih kok, malah ibuk yang pakai? Ndak. Pakai kamu saja, buat keperluan kamu di sana." Kata Bu Ghina.
"Kan aku masih ada tabungan, Buk. Yang bantuan beasiswa dari pemerintah juga masih ada. Ini buat ibuk saja tidak apa-apa." Kirana juga sama mendebat ibunya.
"Kirana dengarkan ibuk." Bu Ghina menggenggam kedua tangan Kirana yang menggenggam uang itu, kemudian menepuknya pelan. "Ibuk juga punya tabungan. Kamu nggak perlu pusing mikirin ibuk. Yang penting, kamu sekolah. Itu rejeki kamu, pakai yang benar. Ibuk percaya kamu pintar mengatur uangnya. Kalau masalah catering, ndak perlu modal, ibuk bisa kok. Kemarin saja ibuk dikasih uang berapa juta sama Bu Ambar, disuruh untuk membuatkan makanan. Setelah masakannya jadi di antar, Ibuk dapat upah yang alhamdulillah sekali. Jadi wes, kamu bawa uangnya. Gunakan sebaik-baiknya."
Kirana hanya tersenyum. Sampai akhirnya pas sekali waktunya dengan kereta yang datang. Kirana berdiri, mencium tangan ibunya. Mereka berpelukan erat. "Aku berangkat dulu ya, Buk. Ibuk jaga kesehatan. Kalau ada apa-apa, kabari aku. Kan sudah ada telfon sendiri."
Bu Ghina melepas pelukannya, mengangguk mengiyakan. "Iya. Sudah cepat naik sana. Hati-hati ya, jangan capai-capai. Kalau lelah, istirahat."
Meskipun dengan berat hati, Kirana harus tetap menaiki kereta, sementara Bu Ghina tetap menunggu di stasiun hingga keretanya berjalan. Kirana sempat melambaikan tangan yang dibalas Bu Ghina juga dari luar. Begitu keretanya berjalan, Bu Ghina tetap berdiri di sana hingga tidak terlihat lagi oleh pandangan matanya.
Di dalam gerbong sana, ada setitik demi setitik air mata yang Kirana keluarkan. Belum apa-apa, dia sangat merindukan ibunya sekali. Sementara Bu Ghina juga sama sedihnya. Tapi dia tidak ingin membebani putrinya. Cukup hidupnya saja yang merana, jangan sampai putrinya merasa kekurangan.
Karena itu, seperti yang sudah-sudah, Bu Ghina putar balik dan meninggalkan stasiun dengan hati yang bahagia juga teriris-iris. Beliau selalu berdoa semoga perjalanan Kirana menuntut ilmu selalu dimudahkan oleh Allah. Kalaupun ada sedikit sandungan yang melewati jalan putrinya, Bu Ghina percaya kalau itu semua justru demi kebaikan Kirana. Tidak ada suatu apapun yang terjadi tanpa seizinnya. Daun yang gugur saja harus seizin Allah.
Kirana yang duduk tidak ada sebelahnya menatap luar jendela dengan air mata yang masih setia mengalir. Bibirnya tidak kering dari dzikir. Dia tidak pernah tahu takdir Tuhan sedetik setelah ini apa. Karena itu Kirana selalu membiasakan diri untuk berdzikir kepada Tuhannya. Karena Tuhan, Allah lah sebaik-baiknya penolong.