Belum apa-apa, Kirana sudah menahan tangis melihat kesedihan di wajah Bu Ghina karena permasalahannya dengan Anggi. Biasanya, kalau pertengkaran anak kecil langsung selesai. Namun sekarang, pertengkaran orang dewasa seperti mereka, kalau dibiarkan begitu saja pasti tambah runyam yang ada. Apa lagi ini melibatkan hati yang pastinya rumit, tidak akan semudah kelihatannya di saat salah satu pihak tidak kooperatif karena merasa paling benar.
Kirana mana tahu kalau dalam garis takdirnya akan ada takdir yang dituliskan seperti ini.
Bagi Kirana, ini bukankah takdir buruk. Sesungguhnya,tidak ada yang namanya takdir buruk. Apa yang terjadi di dunia ini adalah
takdir yang baik—takdir yang tentu saja sampai terjadi karena sudah menjadi ketetapan Allah. Karena sesungguhnya, semua yang terjadi memang untuk kebaikan.
Kalaupun ada yang berpendapat suatu kejadian yang menimpa diri seseorang dan
disebutnya sebagai takdir buruk, maka itu takdir buruk menurut pemikiran orang
itu sendiri. Dan bisa jadi, sesuatu yang buruk itu menimpa dikarenakan tersirat
petunjuk oleh Allah bagi orang-orang yang mau berpikir.
“Buk, Ibuk makan siang dulu saja. Di sini kana da Silvi yang jagain aku.”
Kalau keadaannya memungkinkan, Bu Ghina tanpa disuruh pasti langsung pamit sendiri. Karena beliau juga menyadari kalau butuh sumber tenaga untuk menjaga Kirana. Jangan sampai karena ikut kepikiran, Bu Ghina malah ikutan jatuh sakit. Kalau itu sampai terjadi, Kirana pasti sedih sekali. “Ibuk nunggu kamu dulu. Nanti kalau sudah, Ibuk mau jenguk Anggi sebentar. Sepertinya mamanya hampir sampai. Diantar sama kakaknya.
Ada embusan napas begitu berat yang tanpa sadar Kirana keluarkan. Dia tidak pernah tahu kalau hanya masalah lelaki saja bisa menghancurkan hubungan dua buah keluarga. Memang, Kirana pernah menonoton dan mendengar hal semacam ini di dunia nyata maupun hanya sinetron/series/film di TV. Namun, dia tidak pernah menyangka kalau seolah-olah dirinya mengambil salah satu peran di dalamnya seperti sekarang.
“Mbak Kirana biar aku saja yang menjaga, Buk. Aku juga sedang nggak ada kerjaan kok, Ibuk tenang saja.” Kata Silvi ikut andil. Dia sadar bahwasannya tidak ada yang baik-baik saja sejak berita kalau Anggi jatuh sakit menyebar dan sampai di telinga ibu dan anak itu.
Pada dasarnya, Bu Ghina yang sudah menganggap Anggi seperti putrinya sendiri tidak bisa tenang hanya menunggu tanpa tahu keaadaan Anggi yang sebenarnya. Karena itu, dia memutuskan untuk menitipkan Kirana sebentar pada Silvi. Bu Ghina ingin melihat Anggi sebentar. Semoga saja sudah bisa diajak untuk berkomunikasi sehingga Bu Ghina juga bisa tenang bisa mendapatkan respon dari Anggi meskipun hanya balasan salam yang saling mendoakan pun tak apa. Karena yang terpenting bagi Bu Ghina adalah putri-putrinya sehat.
Bagi Bu Ghina, tidak ada yang membedakan antara Anggi dan Kirana selain mereka lahir dari Rahim yang berbeda. Hanya saja, Bu Ghina sangat menyayangi keduanya—beliau sudah menganggap Anggi sebagai putrinya sendiri sedari dulu. Begitupun dengan Anggi yang jelas-jelas anak orang kaya, yang serba berkecukupan, yang semua keinginnanya terbiasa selalu terpenuhi, tapi tidak pernah memamerkan kebahagiaannya kepada keluarga Kirana. Gadis itu sangat rendah hati sekali.
“Ya sudah, ibuk pergi dulu, ya.” Bu Ghina melihat Kirana sekilas, lantas beralih menatap Silvi. “Ibuk pamit dulu ya, Vi.”
“Siap, Buk. Kalau belum tahu ruangannya, aku antar ya.”
“Ibuk sudah tahu, tadi dikasih tahu mamanya Mbak Anggi. Ibuk duluan, ya.”
Bersamaan dengan berlalunya Bu Ghina yang menghilang dari balik pintu, Kirana hanya bisa melepas tanpa bisa berbuat banyak. Di satu sisi dia khawatir kalau Anggi tidak menerima ibunya. Di sisi lain, Kirana masih percaya kalau Anggi tidak sekekanak-kanakan itu. Kalau Anggi bermasalah dengan Kirana, seharusnya Bu Ghina tidak ikut terkena getahnya—alias ikut diabaikan oleh Anggi seperti yang gadis itu lakukan pada Kirana.
“Mbak, Mbak Kirana jangan khawatir.” Elusan lembut yang Silvi berikan membuat Kirana yang semula memejamkan matanya kembali membuka matanya yang terasa lelah. Begini sekali kalau ada masalah hati, mau apa-apa pun, jadinya tidak tenang sama sekali.
Jujur saja, Kirana merasa kurang enak. Hanya saja, dia merasa harus bertanya tentang hal ini daripada dia juga tidak tenang. “Pak Damar tidak memberi kabar Anggi sakit apa ya, Vi?”
Melihat wajah Kirana yang dihiasi ringisan tidak enak hati, Silvi hanya bisa menggeleng pelan. “Kan aku nggak tanya, Mbak. Coba aku tanyakan ya kalau Mbak ingin tau keadaannya Mbak Anggi.”
“Maaf ya Vi, aku merepotkan sekali.”
“Nggak sama sekali kok Mbak, tenang aja kalau sama aku mah.” Gadia yang lebih muda itu tersenyum menenagkan agar Kirana juga tidak terus-terusan tak enak hati kepada dirinya sementara Silvi sebenarnya malah senang bisa bermanfaat bagi yang lain. Contohnya, dia yang sedang membantu Kirana sekarang.
Di sisi lain, Bu Ghina yang memang sudah tahu ruangan Anggi dimana dan bermodalkan bertanya kepada petugas rumah sakit yang kebetulan sedang berjaga, akhirnya Bu Ghina bisa melihat Anggi dalam diam di ruangannya. Namun yang membuat Bu Ghina terpaku di tempatnya adalah melihat bagaimana Anggi tersenyum lebar di balik wajahnya yang pucat pasi di depan seseoarng lelaki. Dan semua orang pasti siapa lelaki itu. Iya, Pak Damar Anggara. Lelaki tampan yang cerdas, baik, lagi memesona. Bu Ghina tidak heran jika banyak yang menyukai Pak Damar. Beliau saja yang baru bertemu beberapa waktu, bahkan belum terhitung hari, sudah mengacungi jempol akan tanggungjawabnya Pak Damar kepada Kirana. Juga kepada Silvi yang sangat baik juga. Rela menjaga Kirana yang jelas bukan siapa-siapanya di saat Silvi bisa menghabiskan waktu di luar dengan teman-temannya. Bu Ghina sangat bersyukur sekali karena Kirana senantiasa dikelilingi oleh orang-orang yang baik-baik. Bagi Bu Ghina, ini sudah lebih dari cukup sekali. Putrinya tidak sendirian di kota orang.
Melihat bagaimana mereka—aka Pak Damar dan Anggi berbincang di ruangan terbuka itu, yang bahkan Bu Ghina saja tidak mengerti maksudnya apa. Namun satu yang memang beliau tangkap sekaligus pahami, Anggi—putrinya itu jatuh cinta kepada wali dosen Kirana. Cara pandangnya, gaya bicaranya, Anggi seakan-akan ingin menarik perhatian Pak Damar. Tapi, memang Anggi sedang sakit, bukan pura-pura sakit hanya untuk mencari perhatian Pak Damar. Karena kalau Anggi pura-pura sakit pun, Pak Damar pasti langsung bisa menangkap basahnya. Pak Damar bukanlah orang bodoh, beliau sangat jeli sekali.
Sampai entah bagaimana bisa kebetulan sekali, mamanya Anggi datang diantar oleh kakaknya Anggi dan menyapa Bu Ghina yang masih berdiri di luar. “Lhoh, Nah? Kenapa cuma di luar? Ayo masuk to.”
“Takut mengganggu Mbak, Anggi lagi bicara sama orang.” Kata Bu Ghina lembut seperti biasa, tak berubah sama sekali.
“Yo wes to langsung masuk saja. Ayo.” Karena tangan Bu Ghina lebih dulu ditarik sehingga dia tidak memiliki waktu untuk protes, tahu-tahu, Bu Ghina sudah masuk ke dalam dan berhadapan dengan Anggi langsung.
“Lhoh, Ibuk?!” Anggi malah memekik girang melihat Bu Ghina. “Ibuk ke sini sama siapa? Siapa yang antar jemput, kenapa ndak kasih kabar sama aku?” tanya gadis yang wajahnya masih pucat itu.
“Lhah ibuk sudah menghubungi kamu tapi sulit sekali.”
Anggi langsung meringis ketika mendengar jawaban Bu Ghina. “Maaf ya, Buk. Aku nggak enak badan akhir-akhir ini, jadi jarang pegang hape. Pusing.”
“Iya, ndak papa, kok.”
Tak puas hanya bertanya tentang hal itu, Anggi kembali bertanya. “Ibuk sampai datang ke sini bukan karena tahu aku sakit, kan?”
“Bukan.” Jawab Bu Ghina jujur langsung saja. “Kirana kesrempet mobil, jari sama tangannya patah. Jadi Ibuk ke sini mau liat keadaannya Kirana. Eh, baru beberapa jam sampai, malah dapat kabar kamu sakit. Jadi sekalian Ibuk mau jenguk sebelum pulang ke Jogya.”
Anggi belum merespon apa-apa akan jawaban cukup panjang yang Bu Ghina berikan. Dia juga enggan menyebut nama Kirana dengan mulutnya sendiri. Justru, malah mamanya dan juga kakak laki-lakinya yang langsung merespon dengan khawatir.
“Lhoh, lhah terus keadaan Kirana sekarang bagaimana?” tanyanya mamanya Anggi.
“Habis operasi beberapa jam lalu, Mbak. Alhamdulillah kata dokternya ndak papa. Tapi memang nanti anaknya ndak bisa kalau bekerja berat. Tangan kanannya sudah ndak normal seperti dulu.”
Mamanya Anggi turut sedih mendengar kabar itu. “Tapi pelakunya tanggungjawab kan, Nah?” mamanya Anggi kembali bertanya memastikan. Dia tidak ingin Bu Ghina yang sudah dianggap sebagai keluarganya susah tetapi beliau tidak bisa membantu.
“Alhamdulillah.”
Pak Damar yang sebenarnya ingin menjawab bahwa dia pelakunya—langsung mengurungkan niat ketika Bu Ghina menatapnya dengan gelengan seakan melempar kode. Dan untungya, Pak Damar paham, karena itu beliau tidak jadi berbicara.
“Kita fokus saja Anggi ya, Mbak. Kirana ndak papa kok.”
Ada embusan napas lega yang dikeluarkan oleh mamanya Anggi. “Hasil pemeriksaannya besok baru keluar. Tolong bantu doa ya, Nah, Semoga ndak ada penyakit yang serius.”
“Pasti, Mbak.” Jawab Bu Ghina mantap. Bahkan tidak diminta pun, beliau akan selalu mendoakan yang terbaik untuk Anggi. Karena Anggi sudah seperti putrinya sendiri. “Cepat sembuh ya Nduk, nanti main lagi sama Kirana.”
Anggi senang saat Bu Ghina mendekat dan mengusap-usap rambutnya. Walaupun Anggi tidak mengangguk atau dengan kata lain tidak mengiyakan harapan Bu Ghina, tapi kenyataannya Anggi menyangi Bu Ghina juga. Masalahnya dengan Kirana ynang berlarut-larut sama sekarang tidak akan membuat Anggi menyeret Bu Ghina ataupun mamanya terlibat di dalamnya. Karena ini permasalahan mereka, bukan permasalahan antar kedua orang tua mereka. Apalagi sekarang Pak Damar ada di ruangannya dan tengah menungguinya, Anggi sudah bahagia sekali meskipun pada hakikatnya, Anggi juga tidak tahu yang ada di dalam hati Pak Damar itu siapa.
Namun, selagi janur kuning belum melengkung, dan tak ada ikatan di antara semua orang, Anggi akan memperjuangkan cintanya. Dia benar-benar mencintai Pak Damar dengan tulus.