59. Kedua dan Ketiga

1323 Kata
Bulir keringat turun begitu deras di pelipis Kirana. Dia terbangun karena mimpi buruk. Wajahnya pucat pasi. Tangannya bahkan sampai sakit karena tidak sengaja dia gerakan begitu kasar. Namun begitu sadar, membuka matanya, mungkin hendak mencari sang ibu, Kirana malah dikejutkan dengan keberadaan Pak Damar yang tengah duduk bersandar pemijat pelipisnya dengan kepala tertunduk. Beliau tidak sadar kalau Kirana terbangun. Sementara Kirana sendiri yang khawatir hanya berdua dengan Pak Damar langsung bergerak berupaya untuk menegakkan tubuhnya. Begitu berhasil karena mengakibatkan decitan, Pak Damar akhirnya sadar juga. Beliau langsung berhenti merenung lantas mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah Kirana. “Kenapa bangun, Na? Ada yang sakit?” tanya Pak Damar langsung saja, wajahnya jelas terkejut. Namun, jawaban Kirana begitu ketus. “Bapak kenapa di sini?” gadis itu menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari siapapun yang penting dia tidak sendirian di ruangan tertutup dengan seoarang lelaki. Kirana kalau mengingat pemuda yang ingin mecam-macam dengannya waktu itu, dia juga masih kepikiran sampai sekarang. Pak Damar langsung diam, tidak berniat menjawab pertanyaan Kirana ketika Silvi keluar dari kamar mandi. Tadi, Kirana tidak mendengar suara di kamar mandi karenanya Kirana lebih panik. Sekarang syukurlah, Kirana lebih tenang melihat Silvi tersenyum ke arahnya. “Kok bangun, Mbak?” seraya berjalan, Silvi merapikan kemeja yang dikenakan, sementara di luarnya lagi ada jaket. Kirana jadi berpikir, ini ruangan ber-AC, pasti mahal sekali. Namun yang pasti, Kirana mengingat sesuatu. “Ibuk kemana ya, Vi? Kayaknya tadi ada Ibuk, atau aku mimpi, ya?” tanya gadis itu terlihat bingung sendiri, juga terlihat gurat-gurat kesedihan di sana. Silvi tidak langsung menjawab. Dia berjalan mendekat dulu ke arah Kirana, duduk di sampingnya. “Bukan mimpi kok, Mbak. Ibuk lagi jagain Mbak Anggi. Tadi Ibuk pamit ke Mas Damar kalau mau jagain Mbak Anggi, makanya Mas Damar di sini nemenin aku jagain Mbak.” Tanpa sadar Kirana menghela napas berat. Dia tidak terkejut juga tidak marah. Bu Ghina memang sesayang itu pada Anggi. Namun, Kirana juga tahu kalau ibunya itu juga sangat menyayanginya. Kalau ibunya lebih peduli dengan Anggi, itu tandanya keadaan Anggi memang jauh membutuhkan keberadaan Bu Ghina daripada Kirana meskipun Kirana lah yang anak kandung dari Bu Ghina. Sedari dulu, Kirana memang sudah terlatih berbagi juga mengalah meskipun dia anak tunggal. Memang seperti itu cara Bu Ghina mendidik Kirana sedari dulu. Dan Kirana juga biasa saja, tidak mempermasalahkannya sama sekali. Justru dengan semua itu, Kirana bisa belajar meskipun anak tunggal biasanya diidentikkan dengan dimanja. "Mau aku panggilkan, Mbak?" Silvi kembali bertanya ketika mendapati Kirana diam saja seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat. Jujur saja Silvi juga tidak tega melihat Kirana sampai ditinggalkan sendirian sementara ibunya malah memilih bersama dengan putri dari pasangan orang tua yang lain. Kalau menjadi Kirana, Silvi pasti sudah marah dan merajuk, merasa cemburu dan tidak disayang. "Eh, ndak usah, Vi. Alhamdulillah kalau begitu, aku pikir tadi cuma mimpi, ternyata Ibuk di sini." Kata Kirana cepat-cepat ketika Silvi hendak pergi. Silvi mengangguk paham, kemudian mengambil handphone untuk mengabari temannya kalau tidak bisa ikut kelompokan besok karena Silvi ingin menunggui Kirana saja. Bukannya Silvi mementingkan urusan pribadinya, justru Silvi mengutamakan yang lebih membutuhkan bantuannya lebih dulu. Kalau besok, dia tahu kalau Pak Damar ada jadwal dan harus pergi. Kalau Silvi ikut pergi sementara Bu Ghina menunggui Anggi lagi, Kirana berarti sendirian lagi. Silvi jelas tidak tega. Kirana mungkin memang sudah lega dengan kabar ibunya. Hanya saja dia memikirkan Anggi. Dia tidak mungkin datang menjenguk sekarang, yang ada malah menciptakan keributan kalau Anggi sampai terang-terangan menunjukkan sikap tidak menerimanya. "Mikirin apa lagi, Mbak?" Silvi yang peka kembali bertanya. Dia memang jeli sekali melihat ekspresi seseorang. Dengan ringisan tak enak hati, Kirana kembali menatap Silvi dengan tatapan nanarnya. "Kamu keadaannya Anggi nggak, Vi? Kalau Ibuk sampai nungguin Anggi, pasti nggak baik-baik aja." Silvi jadi ikut berpikir. Dia sendiri juga tidak tahu keadaan Anggi karena sedari tadi dia lebih memilih menunggui Kirana. Karena di pandangan Silvi sendiri, Anggi juga agak-agak sengit kepadanya. Makanya Silvi agak malas dan tidak terlalu suka dengan Anggi yang terlihat berambisi sekali dengan kakaknya. Lihat saja Pak Damar sampai dibuat pusing. Entah hubungan apa yang sebenarnya terjadi di antara mereka semua sekarang. Silvi tidak paham, dan ingin pura-pura tidak tahu saja daripada ikut-ikutan pusung memikirkan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu dia pikirkan akan urusan percintaan orang lain. "Aku dari tadi di sini sama Mbak, Mas Damar tuh, kan yang ikut nungguin tadi." Disebut-sebut namanya, Pak Damar langsung membuang napas kasar. Kepalanya sudah pusing, sekarang malah dibuat pusing lagi. Entah kapan adik perempuan satu-satunya, yang menjadi kesayangan semua orang ini paham akan perasaan kakaknya yang sedang galau. "Masih menunggu hasil pemeriksaan besok." Ini juga, Kirana ingin mendengarkan keadaannya yang sekarang, bukan hasil pemeriksaannya besok. Kalau dosen berbicara memang berkelas ya, harus ada fakta, bukti serta data yang lengkap dulu baru bisa mengatakan yang ditanyakan, tidak bisa memberikan jawaban yang tidak pasti. "Kalau keadaannya sekarang bagaimana, Pak?" Kirana memberanikan diri untuk bertanya. Geregetan juga dia tidak tahu keadaan Anggi di sana bagaimana. Sekali lagi, Pak Damar mengebuskan napas kasar. "Tidak tahu. Badannya lemas." Nada bicara Pak Damar yang terdengar begitu tidak suka langsung membuat Kirana bungkam di tempat. Dia tidak berani bertanya ataupun menjawab lagi. Gadis itu terus diam dengan rasa yang begitu berkecamuk. Dan kalau ingin lebih tidak tahu diri sudah ditolong oleh penabraknya, Kirana ingin menyuruh Pak Damar pulang saja bersama Silvi untuk beristirhat. Kirana ingin sendirian dulu, mungkin juga ingin menangis agar tidak sampai dilihat oleh orang. Sadar wajah sedih Kirana, Silvi jadi ikut sedih. Orang halus, lemah lembut seperti Kirana pasti terkejut juga kalau saat berbicara dia menggunakan nada halus, tapi lawan bicaranya langsung ngegas. Mungkan Kirana sudah sering mengalami hal ini, hanya saja, kali ini sakit sekali dirasakannya. Rasa nyeri di tangannya saja tidak ada artinya jika dibandingkan dengan rasa sakit di dadanya sekarang. "Mas Damar kalau capek pulang aja, biar aku yang nginep si sini. Aku juga udah ngabarin temen-temen Mbak Kirana. Katanya mau nemenin Mbak Kirana juga, sekalian belajar biar Mbak Kirana nggak ketinggalan pelajaran." Ada rasa syukur yang Kirana langitkan dalam hati dengan mendengar Silvi berbicara seperti itu kepada Pak Damar. Itu artinya, Pak Damar tidak perlu datang ke dalam ruangannya lagi sehingga Kirana merasa lebih tenang meksipun Kirana sudah memakai pakaian tertutup, lengkap dengan hijab instan hitamnya yang begitu sederhana. Di sisi lain, Pak Damar memang sedikit emosi karena pembicaraannya dengan seseorang sebelum beliau masuk ke dalam ruangan Kirana. Jadi karena memendam kekesalannya, Pak Damar malah tanpa sadar kelepasan berbicara agak kasar kepada Kirana. Harusnya, Pak Damar bisa menahan dirinya lagi dari menyakiti Kirana. Tidak cukupkah dengan patah tulang yang Kirana derita sekarang? Ah, sepertinya memang belum cukup. Jadi ya sudahlah, mungkin Kirana memang harus disakiti lagi agar Kirana lebih kuat ke depannya. Karena kemungkinan mustahil seseorang bisa kuat dengan sendirinya tanpa penyebab penguat yang lain. "Saya minta maaf, Kirana." Kata Pak Damar tiba-tiba yang tentu saja kembali membuat Silvi dan Kirana kebingungan. Terutama Kirana yang sampai mengangkat kepalanya untuk melihat ke arah Pak Damar yang tengah menunduk. Entah beban macam apa yang tengah ditanggungnya sekarang. Apapun itu, Kirana malah yang jadi kasihan dengan Pak Damar. "Saya ndak papa kok, Pak. Saya yang terima kasih sekali Bapak sudah membawa Ibu saya ke sini." Meksipun Pak Damar masih menatap lantai dengan pandangan ke bawah sementara kepalanya tetap tegak, terlihat menggeleng samar di penglihatan Kirana. "Kalau begitu saya pamit dulu. Besok saya akan kembali lagi." Kirana tidak menyahut apa-apa sampai Pak Damar berdiri dan Silvi mengulurkan tangannya minta, ingin salim dengan Pak Damar. "Hati-hati, Mas." Kirana hanya mampu melihat kedekatan kakak dan adik itu tanpa bisa berbuat apa-apa. Namun yang pasti, Kirana turut senang. Dan berdoa agar keluarga Pak Damar dan Silvi juga diberikan kebahagiaan oleh Allah karena keluarga mereka baik-baik sekali, tidak memandang rendah orang miskin seperti dirinya dan juga ibunya, yang ada malah dimuliakan. "Jaga Mbak kamu." Kata Pak Damar pelan sekali, tapi masih bisa Kirana tangkap. Dan tanpa sadar, berlalunya Pak Damar setelah itu menuju pintu luar, membuat Kirana tersenyum hangat. 'Hati-hati.'
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN